Traffic

CPX

PTP

DOWNLOAD KOLEKSI FILM KAMI

Thursday, February 11, 2010

Menggiring NU Keluar dari PKB

Oleh: Rovy Giovanie
Memasuki usia ke-84, Nahdlatul Ulama (NU) siap melakukan perubahan besar. Para politisinya yang tersebar di berbagai parpol ini berupaya melepas ormas Islam terbesar ini dari PKB.

Ribuan anggota Banser NU, Minggu (31/1), memadati kawasan Jalan Masjid Al-Akbar Timur, Surabaya. Setelah mengikuti apel, mereka serempak berjalan kaki mengiringi para pejabat teras Pemprov Jatim dan tokoh NU yang hadir pada acara itu, menuju kantor lama PWNU Jatim di Jl Raya Darmo, Surabaya. Nampak diantaranya Gubernur Soekarwo alias Pakde Karwo, Wagub Syaifulloh Yusuf (Gus Ipul), Wakil Rais Syuriah PW NU Jatim KH Agoes Ali Mashuri, Ketua Tanfidziyah PW NU Jatim KH Mutawakkil Alallah, dan pengurus NU lain.
Baru beberapa meter mereka melangkah, para tokoh diminta naik mobil yang disiapkan para pemuda Anshor, sementara para Banser melanjutkan jalan kaki menuju lokasi yang berjarak sekitar 300 meter. Begitu tiba di halaman kantor PWNU, Pakde Karwo didaulat memimpin sebuah seremonial sederhana. Ratusan balon yang sudah sejak lama disiapkan di halaman kantor lama PWNU itu dilepasnya ke udara. Tepuk tangan pun terdengar membahana diiringi shalawat dan takbir.
Acara sederhana namun meriah ini menandai peresmian TV9 yang sengaja diluncurkan bersamaan dengan peringatan Hari Lahir (Harlah) ke-84 NU. Ini merupakan televisi pertama milik kaum nahdliyin yang siarannya bisa menjangkau hampir seluruh wilayah pelosok Jawa Timur.
Sedianya, peresmian TV9 dilakukan November 2009 lalu, namun karena sesuatu hal akhirnya ditunda hingga peringatan Harlah. "Bagaimanapun, ke depan persaingan semakin berat. Karena itu, NU harus memanfaatkan kemajuan teknologi untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah kepada masyarakat," kata Pakde Karwo.
Sebagai media informasi audio visual, kehadiran TV9 tentu meiliki makna penting dan menandai era baru bagi kaum nahdliyin. Ini barulah salah satu saja terobosan yang dilakukan NU dalam Harlahnya kali ini. Masih ada sejumlah agenda penting akan diputuskan melalui Muktamar NU pada 21-27 Maret 2010 mendatang. Yang paling banyak diperbincangkan adalah menyangkut posisi NU dalam percaturan politik nasional selama lima tahun mendatang.
Saat ini ada dua arus besar yang saling bertolak belakang. Di satu pihak, sejumlah elit NU kini tengah berupaya mendamaikan PKB yang tengah berkonflik. Dua Rais Syuriah PBNU, KH Mustofa Bisri alias Gus Mus dan KH Muchit Muzadi, kini tengah mengupayakan islah partai bentukan para kyai NU itu. Harapannya, bila PKB bisa bersatu nantinya akan dijadikan sebagai kendaraan politik utama kaum nahdliyin untuk berperan aktif dalam perpolitikan nasional, sebagaimana cita-cita awal saat pendeklarasian PKB. Namun, sejauh ini belum ada tanda-tanda keberhasilan rekonsiliasi yang melibatkan sejumlah alumni politisi PKB ini.
Di sisi lain, para politisi NU yang selama ini berkiprah di parpol lain justru mengharapkan agar NU melepaskan diri dari politik praktis. Pilihan mereka adalah mengembalikan NU ke khittah 1926 saat awal berdiri NU. Gagasan yang pernah menemukan momentumnya saat Muktamar 1984 di Situbondo, Jawa Timur itu kini kembali mereka hembuskan.
Setidaknya suara tersebut terdengar dari politisi ‘berdarah’ NU yang tersebar di sejumlah partai non PKB seperti AS Hikam (Partai Hanura) Khatibul Umam Wiranu (Partai Demokrat) dan Mukhamad Misbakhun (PKS). “Para elite NU saat ini sudah overdosis dalam keterlibatan politik praktis sehingga kehilangan momentum dalam pengembangan warga nahdliyyin,” ujar Hikam di Jakarta, Minggu (31/1).
Menurut dia, semestinya, dengan tersebarnya kader NU di berbagai partai politik menjadi modal bagi NU untuk memanfaatkan para kadernya yang terlibat di politik praktis. Hanya saja, mantan Menteri Riset dan Teknologi era Presiden Abdurrahman Wahid ini mengingatkan perlu manajemen yang bagus atas situasi ini. “Ini memerlukan kapasitas manajemen yang tinggi sehingga tidak terjadi pemborosan energi dan pemihakan yang tidak produktif terhada parpol tertentu,” ujarnya.
Ia pun mengusulkan, agar dibentuknya divisi politik di struktur NU tepatnya di jajaran Syuriyah (pengawas) bukan di Tanfidziyah (pengurus pelaksana) yang bertugas mengawasi dan membuat kebijakan relasi dengan partai politik. “Dengan demikian, NU akan bisa optimal memanfaatkan warganya yang ada di parpol, dan menghindari pemanfaatan oleh pribadi-pribadi di pengurus Tanfidziyah,” kritiknya.
Sementara Khatibul Umam berharap NU menjadi lokomotif gerakan kemandirian bangsa, di tengah-tengah pertarungan pengaruh global yang sedang berebut dominasi dalam aspek sosial budaya, politik, ekonomi. “NU harus menciptakan ruang bagi gerakan ekonomi, politik, dan kebudayaan berbasis nasionalistik,” harapnya.
Misbakhum yang kini aktif sebagai politisi PKS juga befanggapan posisi netral sebagai polihan paling tepat bagi NU. “Sehingga makin memperkuat akar NU di masyarakat sebagai organisasi keagamaan yang tidak ke mana-mana tapi berada di mana-mana,” harap Misbakhun yang juga tercatat sebagai anggota Pansus Angket Century DPR ini.
Banyak kalangan menduga, arah kebijakan politik NU sangat dipengaruhi ketua umum yang akan terpilih nantinya. Pengalaman PBNU dibawah kepemimpinan Hasyim Muzadi telah menyeret NU jauh memasuki wilayah politik, meskipun sebenarnya saat ini PBNU belum pernah mencabut keputusan untuk tetap kembali ke khittah 1926. Ironisnya, kiprah politik Hasyim tidak maksimal, bahkan selalu gagal.
Sejumlah nama disebut-sebut bakal meramaikan pemilihan ketua umum dalam muktamar mendatang. Diantaranya KH Sholahudin Wahid atau Gus Sholah, Ulil Abshar Abdalla, Ahmad Bagja, KH Said Aqil Siradj, KH Masdar Farid Mashudi, KH Ali Maschan Moesa, dan Slamet Effendi Yusuf . Namun sejauh ini baru dua kandidat yang telah mendeklarasikan pencalonannya, yakni Slamet Effendi Yusuf dan Ali Machsan Moesa.
Dari nama-nama tersebut, sebagian besar diantaranya lebih dikenal sebagai tokoh yang tak begitu interest dengan politik praktis, kecuali Gus Sholah dan Ali Machsan. Gus Sholah pernah menjadi pasangan Wiranto pada Pilpres 2004, sedangkan Ali Machsan sempat mencalonkan diri sebagai Wagub pada Pilgub Jatim yang lalu.
Yang menarik, bahwa saat ini muncul wacana baru tentang pola pemilihan ketua umum, yakni Ahlul Halli Wal Aqdi, yakni penentuan Ketua Tanfidziyah NU melalui penunjukan langsung oleh Syuriah. Model ini pernah digunakan pada muktamar ke-27 di Situbondo pada tahun 1984. Tapi, saat itu sudah diadakan sosialisasi. Yaitu, dalam Munas alim ulama pada tahun 1983. Di situ para kiai memiliki wewenang untuk memilih. Sedangkan para kyai yang punya hak memilih juga telah ditentukan sebelumnya.