Traffic

CPX

PTP

DOWNLOAD KOLEKSI FILM KAMI

Friday, June 12, 2009

Ketika Islam Hanya Sebatas Komoditas!

Oleh: Rovy Giovanie/ Syarov D Imfath

Pamor Islam tak pernah redup dalam panggung politik Indonesia. Kian hari bahkan kian benderang seiring meningkatnya kesadaran demokrasi di tanah air. Hanya saja mereka cenderung puas sebatas ‘komoditas mahal’. Tak terkecuali dalam Pilpres 2009 mendatang.
Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin gerah. Gagasannya untuk membentuk Poros Tengah Jilid II beberapa waktu lalu tak bersambut. Padahal poros yang nantinya beranggotakan parpol-parpol papan tengah – semuanya parpol Islam: PKS, PPP, PAN, PKB - itu diharapkan mampu mewujudkan pemerintahan yang merepresentasikan kekuatan Islam di Indonesia.
Kekecewaan Din hanyalah representasi dari sejumlah tokoh Islam idealis lainnya. Sejak bergulirnya reformasi tahun 1998, tokoh-tokoh ideologis Islam telah menggadang-gadang keinginan akan tampilnya pemerintahan Islami. Tak harus negara Islam. Juga tetap berlandaskan Pancasila. Islam hanya akan direpresentasikan dalam figur, simbol dan tata nilai yang ada di dalamnya.
Sebuah cita-cita lama yang tak pernah menjadi nyata. Dengan jumlah penduduk Islam terbesar di dunia, sekitar 200 jutaan jiwa, sangat wajar kalau ada cita-cita sebagaimana diharapkan Dien. Apalagi ruang ‘permainan’ juga sangat terbuka lebar bagi para politisi parpol Islam setelah selama 35 tahun lebih terkekang oleh rezim Orde Baru.
Tetapi fakta ternyata berbicara lain. Parpol-parpol Islam ternyata lebih asyik dengan ideologi internal partainya sendiri-sendiri ketimbang ideologi besar Islam. Bahkan tak jarang justru terjebak pada perbedaan-perbedaan kecil yang mengantarkan pada terjadinya konflik di antara mereka.
Menurut Prof R.William Liddle, masalah besar di balik kegagalan parpol Islam sebenarnya lantaran terjadinya pergeseran orientasi pemilih Islam. Masyarakat tidak lagi memilih partai berdasarkan orientasi ideologi. Karena itu, menurutnya, politik aliran –yang direpresentasikan kedalam parpol-parpol berbasis ideologis, khususnya Islam-- sudah tidak relevan lagi diterapkan di era paska Orde Baru. Dia pun tidak percaya kalau parpol Islam mampu berjuang sendiri dalam membentuk pemerintahan – meskipun sebenarnya memiliki suara yang cukup untuk mengajukan calon presiden sendiri.
Kajian guru besar Ohio State University AS itu didasarkan pada fakta penurunan perolehan suara yang diraup oleh parpol Islam dari pemilu ke pemilu sebagaimana tersaji pada tabel yang menyertai tulisan ini. Fakta ini diperkuat dengan realitas di sejumlah negara-negara lain yang menunjukan bahwa kemajuan selalu dibarengi dengan menurunnya pertimbangan-pertimbangan ideologis.
Beberapa survei semakinkan meyakinkan Liddle. Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) beberapa waktu lalu, misalnya, menunjukkan bahwa pemilih Islam justru semakin menjauh dari parpol Islam. "Mayoritas muslim Indonesia sejak lama memang berorientasi lebih kepada keberagaman dan kebangsaan," kata Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Denny JA.
Ada tiga hal mendasar yang membuktikan bahwa umat Islam di Indonesia adalah muslim moderat. Pertama, pemerintahan Orba sudah melakukan penetrasi panjang dan kuat atas asas tunggal Pancasila, sehingga mengakar pada sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Kedua, pemihakan dua organisasi masyarakat Islam terbesar Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah atas Pancasila. Ketiga, menonjolnya figur-figur muslim moderat, seperti Gus Dur dan (alm) Nurcholish Madjid sebagai simbol ketokohan Islam.
Selain itu, kemoderatan muslim di Indonesia itu sudah terlihat sejak masa pemerintahan Presiden Soekarno – untuk tidak menyebut sejak berdirinya Republik. Lihat saja hasil-hasil Pemilu bebas yang dilaksanakan selama ini, seperti Pemilu 1955, 1999, dan 2004: Partai politik berbasiskan kebangsaan (PNI, PDIP, dan Golkar) justru menang, bukan parpol yang berasaskan Islam.
Kesadaran semacam ini sebenarnya sudah muncul di kalangan politisi Islam sejak jauh hari. Kelahiran PKS adalah bukti nyatanya. Meskipun saat pertama kelahirannya –bernama Partai Keadilan-- mengusung nilai-nilai Islam dengan sangat ketat, namun kegagalannya pada Pemilu 1999 mengarahkannya menjadi partai terbuka. “Era politik aliran sudah berakhir. Itu masa lalu,” kata Sekjen PKS Anis Matta kepada Mimbar Politik.
Sebelumnya juga sudah ada PKB dan PAN. Dibandingkan PK, ketiga partai ini memang relatif mampu menangguk suara dibandingkan parpol Islam ideologis. Hanya saja, angka perolehannya tak pernah beranjak jauh dari kisaran 10 persen, bahkan pada Pemilu 2009 malah tidak ada yang mampu mencapai 10 persen.
Kesadaran ini pula yang kemudian menjadikan parpol Islam lebih pragmatis dalam menghadapi Pilpres 2009. Lemahnya basis fanatik serta ketiadaan tokoh sentral yang laku dijual ini menjadikan parpol Islam lebih tertarik merapat ke kubu nasionalis ketimbang membangun poros sendiri. Sejumlah tokohnya, seperti Ketua Umum PKS Tiffatul Sembring, Ketua Majelis Pertimbangan PAN Amien Rais, dan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, bahkan sudah sejak jauh hari mengisyaratkan dukungannya terhadap capres Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Peluang ini tak disia-siakan Demokrat. Partai yang kini banyak dijejali politisi berbasis Islam ini bahkan melakukan tindakan yang sangat berani. Tradisi penggabungan capres-cawapres nasionalis-agamis yang terbentuk pasca reformasi itu tak diindahkan. Tanpa ragu sedikitpun, SBY menetapkan tokoh yang sama sekali jauh dari simbol keislaman, Boediono, sebagai cawapresnya. Protes keras tentu saja berhunjaman, toh SBY tak bergeming.
Banyak pengamat menilai bahwa pilihan SBY ini terlalu berani dan tentunya bisa berdampak pada kekalahan pada Pilpres nanti. Bila dilihat dari perspektif politik aliran, keberanian SBY memilih Boediono bukanlah semata-mata karena keyakinannya akan popularitas dirinya dibandingkan capres lain. Tetapi lebih karena keyakinannya bahwa pemilih tidak lagi melihat faktor ideologis keislaman.
Inilah yang menurut sumber orang dekat SBY menaikan daya tawar Demokrat terhadap parpol-parpol Islam. “SBY sangat paham kalau ketokohan agama tidak lagi menjadi faktor penentu yang dominan bagi pemilih dalam menentukan pilihannya. Yang penting adalah bagaimana track record sang cawapres ,” ujar sumber tersebut kepada Mimbar Politik.
Kabarnya alasan ini yang menyebabkan PKS dan parpol Islam lainnya tak berkutik. Pakar politik dari LIPI, Syamsudin Haris juga memandang PKS tak punya pilihan lain selain menerima tawaran SBY. “Partai-partai tersebut tidak memilki figur untuk dijadikan presiden kecuali SBY, padahal mereka cukup kuat untuk membuat suatu koalisi, terlebih di parlemen mereka telah memiliki 148 kursi. Sementara untuk bergabung dengan Prabowo sangat tidak mungkin, karena dia memiliki rekam jejak buruk dalam kasus pelanggaran HAM," tandas Syamsudin.
Konstelasi ini melahirkan kekuatan-kekuatan yang cenderung menjadikan basis massa Islam sebatas komoditas dalam Pilpres. Bukan hanya parpol Islam yang bermain, melainkan juga organisasi dan bahkan tokoh yang mengklaim diri memiliki basis Islam.
Tak heran bila belakangan banyak tokoh dan ormas Islam mengambil langkah berbeda dengan parpol-parpol Islam. Sebut saja misalnya Ketua PBNU Hasyim Muzadi, KAHMI, PUI (Persatuan Umat Islam), Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT), dan masih banyak lagi lainya. Sebuah langkah yang berbeda dengan parpol Islam yang nyaris semua merapat ke kubu SBY-Boediono. Anehnya, mereka semua sama-sama mengklaim memiliki basis massa yang kuat. Kalau memang begini, lantas apalagi sebutannya kalau bukan sekedar menjadikan pemilih Islam sebagai sebuah komoditas. Ironis! (*)



PEROLEHAN SUARA PARPOL ISLAM PEMILU 1999 - 2009
PARPOL SUARA/
KURSI 1999 SUARA/
KURSI 2004 SUARA/
KURSI 2009
PKS 1.436.565/ 7 8.325.020 /45 8.206.955 / 59
PAN 7.528.956/ 34 7.303.324 / 53 6.254.580 / 42
PPP 11.329.905/ 58 9.248.764 / 58 5.533.214/ 39
PKB 13.336.982/ 51 11.989.564 / 52 5.146.122 / 26
PBR - 2.764.998/ 14 0
PBB 2.049.708/13 2.970.487 / 11 1.864.752 / 0
PPNU 679.179/ 5 895.610/ 0 -
Jumlah kursi parpol Islam 168 233 166
Jumlah kursi total 458 550 560
Persentase kursi parpol Islam 36,7 42,4 29,6