Traffic

CPX

PTP

DOWNLOAD KOLEKSI FILM KAMI

Sunday, June 7, 2009

Tak Ada Malaikat untuk Jadi Cawapres

Oleh: Anas Urbaningrum
Boediono untuk dipasangkan menjadi cawapres (mendampingi) SBY, beberapa politisi dari partai-partai yang bersepakat membangun koalisi mendukung SBY mendadak sontak memberikan reaksi. Semua sisi “lemah” dari Boediono diangkat dan kemudian disimpulkan tidak layak untuk mendampingi SBY. Sisi keunggulan Gubernur BI ini sama sekali tenggelam oleh hiruk-pikuk pembicaraan tentang masa depan koalisi.

Inilah realitas politik yang menjadi konsekuensi lanjutan dari sistem pemerintahan Presidensial dan bertemu dengan sistem kepartaian majemuk ekstrem. Koalisi untuk three in one (pemenangan, di kabinet dan dukungan mayoritas di parlemen) tidak gampang dibangun. Mempertemukan banyak partai dalam satu ikatan koalisi, dengan ideologi, sejarah, karakter, basis konstituen dan kepentingan yang beragam, tidaklah gampang. Jangankan banyak partai, antara dua partai pun terjadi tarik-menarik panjang untuk menentukan siapa yang menjadi capres dan cawapres.
Meskipun awalnya semua partai, di dalam pembicaraan dan perundingan koalisi maupun pernyataan kepada publik, selalu menyatakan basis koalisi adalah platform dan agenda kerja, serta bukan kepentingan politik untuk mendapatkan “jatah” di dalam pemerintahan, tetapi realitas politik ternyata tetap berlangsung pada kodratnya. Bahwa kepentingan untuk mengambil kesempatan kekuasaan tetap berada di depan, atau minimal berdiri sejajar dengan spirit “idealisme” berkoalisi: demi kepentingan bangsa.
Argumentasi menyoal nama Boediono memang menarik dan manis. Tetapi intinya tetap satu bahwa posisi cawapres (jika berhasil kemudian menjadi wapres) lebih dianggap sebagai bagian dari “jatah” dalam power sharing. Karena itu, musti dirundingkan dan disetujui oleh partai-partai yang berkoalisi. Memang tidak keliru cara pandang itu. Tetapi untuk membangun pemerintahan presidensial yang bisa berjalan lebih mantap, koalisi perlu mendukung gagasan bahwa Presiden dan Wakil Presiden adalah “satu kotak”, sehingga Wakil Presiden benar-benar bekerja untuk “membantu secara khusus” kerja-kerja Presidennya. Jika para menteri diangkat dan bekerja membantu Presiden, maka Wakil Presiden dipilih dalam satu paket pasangan dan “membentu secara khusus” tugas-tugas Presiden. Inilah cara pandang yang meletakkan posisi wapres sebagai “posisi kerja”, dan bukan “jatah politik”.
Sebagai Presiden, SBY sudah mempunyai pengalaman menjalankan tugas-tugas pemerintahan dengan Wakil Presiden JK. Sebagaimana ditegaskan sendiri oleh SBY, bahwa kenangan indah, kenangan manis, masa-masa indah bersama, dalam menjalankan pemerintahan bersama JK tidak mungkin dilupakan. Hasilnya pun diakui oleh rakyat. Pemilu legislatif yang menempatkan Partai Demokrat dan Partai Golkar sebagai juara dan runner up adalah tanda pengakuan rakyat. Memang sejarah tidak menjodohkan SBY-JK untuk periode yang kedua.
Karena itu, sangat masuk akal jika SBY ingin membangun formasi baru Presiden dan Wakil Presiden. Jika rakyat memberikan kepercayaan untuk melanjutkan tugas 5 tahun lagi, formasi, hubungan kerja dan produktifitas Presiden dan Wakil Presiden musti makin baik dan presidensial. Apakah dalam konteks itu cawapres musti dari kalangan non-partai? Tentu saja tidak. Tetapi kompleksitas realitas politik sekarang dan perspektif perjalanan pemerintahan 5 tahun ke depan memberikan pilihan “tepat” dan “terbaik” kepada sosok non-partai yang dinilai mempunyai integritas, kapasitas, kapabilitas, loyalitas, dan akseptabilitas. Apakah tokoh non-partai itu sempurna indeksnya? Tentu saja tidak. Tidak tersedia malaikat untuk menjadi cawapres.
Memang reaksi beberapa kalangan politisi itu wajar saja. Kesalahpahaman bisa muncul sewaktu-waktu. Kadangkala oleh persepsi yang kurang pas dan distorsi infomasi. Karena itulah dibutuhkan penjelasan dan tersampaikannya informasi secara utuh. Lazimnya, penjelasan dan aliran informasi yang lengkap akan sanggup menjernihkan kesalahpahaman itu. Apalagi jika benar-benar semangat berkoalisi dituntun oleh akal sehat, niat baik dan komitmen bersama untuk membangun pemerintahan presidensial yang kuat dan mampu makin mantap melayani rakyat. Tampaknya, partai-partai pendukung SBY sudah bisa menerima penjelasan itu.
Yang biasanya sukar dijernihkan adalah jika “pahamnya salah”. Yakni ketika pandangan posisi wapres musti tetap ditempatkan sebagai “jatah politik” dan bukan “posisi kerja” untuk membantu tugas-tugas Presiden. Sejarah akan mencatat sikap setiap partai dalam memandang perkara ini. Toh, setiap partai berhak menentukan sikap dan takdir politiknya sendiri. Wallahu alam.
* Anas Urbaningrum adalah Ketua bidang Politik Partai Demokrat. Mantan anggota Komisi Pemilihan Umum ini juga duduk di Tim Sembilan Demokrat, tim lobi membangun koalisi mengusung Susilo Bambang Yudhoyono sebagai calon presiden. Tulisan ini dapat ditemui di www.bunganas.com.