Traffic

CPX

PTP

DOWNLOAD KOLEKSI FILM KAMI

Sunday, January 31, 2010

Boediono Sang Biang Kerok

oleh: Rovy Giovanie
Maraknya aksi pendongkelan Presiden SBY ternyata tak lepas dari eksistensi Boediono. Barisan sakit hati memilih untuk ‘berkoalisi’ dengan oposisi lantaran merasa terdepak dari lingkaran Istana gara-gara sang wapres.

Wapres Boediono nampak tak nyaman lagi menjalani aktivitas kesehariannya. Kemana pun pergi, sosok pendiam ini sekarang menjadi incaran kelompok pendemo. Tak hanya di Jakarta yang beberapa hari terakhir semakin marak berbagai demo menuntut pelengserannya bersama Menkeu Sri Mulyani Indrawati, tetapi juga di luar daerah. Ketika berkunjung ke Banjarmasin, pekan lalu misalnya, ratusan aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) menyambutnya dengan teriakan ‘maling’ uang rakyat. Sebelumnya, ketika bertandang ke Gorontalo, malah memicu bentrokan mahasiswa pendemo dengan aparat yang berusaha melindungi wapres.
Belakangan, tuntutan demo tak lagi sebatas penonaktifan Boediono dan Sri Mulyani, tetapi telah berkembang ke Presiden SBY. Bahkan demo 28 Januari 2010 untuk menyambut 100 hari kinerja pemerintah, berbagai elemen pergerakan menuntut lengsernya SBY-Boediono. Alasan pemicunya memang skandal Bank Century yang diduga kuat melibatkan SBY. Tetapi, menurut penelusuran Mimbar Politik, akar masalah yang memantik gerakan mereka ternyata paham neoliberalisme yang melekat pada sosok Boediono. Setidaknya ini bisa dilihat dari tema yang diusung kelompok-kelompok demonstran, mulai dari Gerakan Indonesia Bersih (GIB), Kelompok Petisi 28, Aliansi 30 Kampus, Front Perjuangan Rakyat hingga Jaringan Muda Penggerak, semuanya menjadikan neolib sebagai musuh bersama.
Yang menarik, bahwa mayoritas penggerak aksi ini ternyata para tokoh yang memiliki kedekatan emosional dengan SBY. Penelusuran Mimbar Politik setidaknya menemukan adanya empat kategori penggoyang pemerintahan SBY. Tiga diantaranya ternyata berasal dari kalangan yang memiliki kedekatan dengan SBY. Pertama, adalah para pejabat aktif yang merasa berjasa dalam Pilpres 2009 lalu, namun tidak mendapat posisi strategis di pemerintahan. Sumber Mimbar Politik yang kini memimpin sebuah badan milik pemerintah bahkan terang-terangan mengaku ikut membiayai Demo 28 Januari untuk mendorong Presiden melakukan reshuffle kabinet. Harapannya tentu saja sang pejabat itu bisa naik ke kursi menteri dalam perombakan kabinet nanti.
Kelompok kedua adalah para mantan Tim Sukses SBY-Boediono di luar pemerintah yang tak mendapat jatah jabatan atau malah didepak dari kursi kabinet. Termasuk dalam barisan ini adalah para mantan menteri KIB I. Sekjen DPP Partai Demokrat, Amir Syamsudin, bahkan sempat menuding Jusuf Kalla ingin menjatuhkan SBY-Boediono. Ketua DPP Partai Demokrat, Ruhut Sitompul, beberapa waktu lalu, juga membeber adanya dua mantan menteri yang ikut mendanai demo pelengseran SBY pada 9 Desember 2009 silam. Meski tak menyebut nama, namun Mimbar Politik menemukan indikasi kebenaran isu ini. Bahkan fakta di lapangan malah menunjukkan lebih dari dua mantan menteri KIB I yang ikut mendukung para demonstran, meskipun hanya berupa dukungan moral.
Sebut saja mantan Staf Khusus Presiden Budang Pertahanan, Mayjen (Purn) Irvan Edison, meski tak terang-terangan mendukung aksi, namun kafe miliknya, Doekoen Coffee, di bilangan Pancoran – Jakarta, menjadi markas kelompok anti-SBY. Pun ketika Mimbar Politik menyambangi kediaman salah seorang mantan menteri KIB I, pekan lalu, puluhan aktivis mahasiswa anti-SBY nampak memenuhi halaman. Rupanya mereka menghadap untuk ‘melamar’ sang mantan menteri itu sebagai calon presiden versi mereka untuk menggantikan SBY. “Sejak awal GMPI sudah menentang duet SBY-Boediono,” tegas Sekjen Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Indonesia (GMPI), Elias Sumardi Dabur menjawab Mimbar Politik.
Dalam Pemilu Presiden 2009 lalu, SBY-Boediono banyak mendapat dukungan dari berbagai kalangan dengan membentuk sayap organisasi pendukung. Namun dari sekian banyaknya organisasi pendukung SBY-Boediono, sedikitnya hanya empat orang saja yang dilibatkan dalam Kabinet Indonesia Bersatu II. Mereka adalah Menko Polhukam Djoko Suyanto (Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional SBY-Boediono), Kepala BIN Sutanto (sempat tercatat sebagai Tim Relawan SBY-Boediono), Mendagri Gawaman Fauzi (Tim Sukses SBY-Boediono), dan Mensesneg Sudi Silalahi (Tim Sukses SBY-Boediono). Belakangan ada lagi anggota tim sukses yang terakomodasi, yakni Andi Arif sebagai Staf Khusus Presiden. Dan pekan lalu mantan Menko Polhukam Widodo AS, mantan Menkes Siti Fadilah Supari bersama mantan Menlu Hasan Wirayudha dan mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta juga diberi tempat sebagai anggota Wantimpres.
Sedangkan puluhan bahkan ratusan lainnya tak terakomodasi. Inilah yang membuat Ketua DPP PDIP, Panda Nababan, menjelang pembentukan KIB II yang lalu, berkeyakinan bahwa akan bermunculan barisan sakit hati dari para mantan pendukung SBY-Boediono. "Sangat ditentukan formasi kabinet yang dibentuk SBY. Kok saya yakin kalau ada yang berkoalisi sekarang akan lari balik ke kita karena kecewa. Itu bisa saja terjadi," ujar Panda, kala itu.
Kekuatan ketiga penggoyang SBY adalah para politisi anggota koalisi pendukung pemerintah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa parpol-parpol anggota koalisi memiki agenda terselubung. Setidaknya hal ini nampak dari agresivitas Golkar dan PKS menelanjangi kesalahan Boediono dan Sri Mulyani dalam Pansus Angket Century. Sejumlah pakar politik pun menilai tindakan kedua parpol itu bukan semata-mata untuk mengungkap kebenaran, melainkan demi meningkatkan posisi tawar di hadapan SBY. “Mereka ingin meningkatkan jatah kursi menteri,” ujar pakar ekonomi politik, Sukardi Rinakit, kepada Mimbar Politik, beberapa waktu lalu.
Meski para petinggi PKS dan Golkar membantah tudingan itu, namun publik sudah terlanjur curiga. Apalagi sejumlah sumber menyebut skandal Century sengaja diangkat sebagai pintu masuk untuk menggoyang pemerintahan SBY-Boediono. “Kami sengaja mendorong agar skandal Century dibongkar seterang-terangnya, apalagi Pak SBY sudah mengatakan tidak terlibat,” ujar mantan tokoh Tim Sukses SBY-Boediono yang tak mendapat jabatan di pemerintah.
Sedangkan kelompok terakhir penggoyang SBY adalah musuh politik SBY yang kalah dalam Pilpres 2009 lalu. Masuk dalam barisan ini adalah para mantan Tim Sukses SBY-JK pada Pilpres 2004 yang kini sudah merapat ke parpol lain, seperti Letjen (Purn) M Jasin yang kini menjadi think tank di Partai Gerindra dan beberapa lainnya. Mereka tak hanya bergerak di parlemen, khususnya melalui Pansus Angket Century, melainkan juga melakukan gerilya di lapangan. Ada yang dilakukan langsung oleh para politisi parpol-parpol non koalisi itu, tetapi ada juga yang melalui organisasi underbow. Misalnya saja Group Diskusi Aktivis 77/78 yang menjadi wadah sejumlah kader PDIP. Lembaga ini gencar melakukan sosialisasi gerakan people power ke berbagai daerah untuk melengserkan SBY-Boediono. Belum lagi dengan gerakan LSM Merah yang afiliasinya jelas ke parpol non koalisi, khususnya PDIP, juga memasang target untuk mengganti SBY-Boediono secepatnya.
Yang menarik, dari empat kelompok penggoyang SBY itu, kesemuanya ternyata bertemu dalam satu isu pokok, yakni perlawanan terhadap neolib. Bahkan wacana neolib ini justru lebih gencar disuarakan oleh kelompok kecewa dan barisan sakit hati yang masih berada di sekitar pemerintahan SBY saat ini. Ini artinya, target utama mereka sebenarnya adalah Wapres Boediono yang selama ini diidentikkan sebagai pengusung neoliberalisme dalam KIB II. Kecuali kelompok non pemerintah dan non koalisi yang juga memasang target pemakzulan SBY-Boediono.
Tapi apa hubungannya Boediono dan neoliberalisme itu dengan kelompok kecewa dan sakit hati dalam pemerintahan SBY? Pernyataan mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari kiranya bisa menjadi gambaran. Tokoh yang semula dikenal sebagai loyalis SBY ini mengaku terdepak dari kabinet gara-gara Boediono. “Sejak SBY memilih Boediono, dimana masyarakat menyebut dia sebagai orang yang neolib, saya sudah tahu bahwa saya pasti didepak dari kabinet, karena program-program kesehatan yang saya canangkan waktu itu memang melawan arus,” ujar Siti Fadilah kepada Mimbar Politik di Jakarta, Sabtu (23/1).
Belakangan, Fadilah mengetahui bahwa dirinya tidak jadi disertakan dalam tes calon menteri itu lantaran penolakan dari luar negeri. “Belakangan saya diminta untuk ketemu Hatta Rajasa yang disuruh resmi oleh SBY. Katanya presiden sudah berusaha keras untuk mempertahankan saya menjadi Menkes tetapi resistensi sangat kuat. Resistensi dari luar negeri,” tandasnya.
Bila memang demikian, tak salah bila para menteri KIB I yang terdepak lainnya juga berpikiran sama dengan Siti Fadilah, bahwa Boediono sebagai biang keroknya. Tak salah bila para mantan menteri itu belakangan lebih lekat dengan mantan Wapres Jusuf Kalla. Pada saat peresmian Wisma Kalla di Makassar, Senin (18/1), sepuluh mantan menteri KIB berkumpul di Makassar. Mereka antara lain Meutia Hatta (Menteri Pemberdayaan Perempuan), Siti Fadilah Supari (Menteri Kesehatan), Jusman Syafei Djamal (Menteri Perhubungan), Bachtiar Chamzah (Menteri Sosial), Widodo AS (Menkopolkam), Fahmi Idris (Menteri Perindustrian dan Perdagangan), Hasan Wirayudha (Menteri Luar Negeri), Andi Mattalatta (Menkum HAM), Anton Apriantono (Menteri Pertanian) serta mantan Kepala Badan Intelejen Negera (BIN) Syamsir Siregar.
Meski menurut Kalla, pertemuan itu hanya silaturrahmi biasa, namun kesan adanya pembahasan khusus juga tak bisa dipungkiri. Apalagi pertemuan itu dilakukan pada saat suhu politik sedang memanas.
Kesamaan target terhadap Boediono inilah yang konon memperkencang gerakan kelompok kecewa dan barisan sakit hati ini mendesak agar Pansus Century melakukan pengusutan tuntas skandal dana talangan senilai Rp 6,7 triliun itu. Para pengusung agenda tersebunyi dalam Pansus Century pun kian leluasa menjalankan misinya tanpa khawatir dicurigai. “Tentu saja mereka tidak terjun langsung, tetapi ada penghubungnya,” ujar sumber Mimbar Politik.
Faktanya, nyaris seluruh demo yang marak belakangan ini, termasuk Demo 28 Januari 2009, juga menjadikan neolib sebagai isu utama. Bagi mereka, neolib sebagai biang kesengsaraan rakyat, karena program-program pemerintah cenderung mengutamakan kepentingan kapitalis asing ketimbang kesejahteraan rakyat. “Korupsi memang buah dari rezim neolib. Karena itu, sampai kapan pun korupsi akan tetap subur di Indonesia bila rezim pendukungnya tidak diganti,” tegas Sekjen GMPI, Elias Sumardi Dabur.
Mampukah mereka menjatuhkan Boediono? Ataukah gerakan perlawanan bakal terhenti setelah para elit yang sakit hati dan kecewa itu mendapat kompensasi jabatan? Kita lihat saja.