Traffic

CPX

PTP

DOWNLOAD KOLEKSI FILM KAMI

Friday, May 29, 2009

Beber Bobrok Pemerintah, JK Telanjangi Diri Sendiri

Oleh:
Rovy Giovanie
Maksud hati menarik simpati publik, tapi apa daya rakyat justru makin antipati. Kira-kira demikian yang bisa menimpa Capres Partai Golkar dan Hanura, Jusuf Kalla.
Sejak mendeklarasikan diri sebagai pasangan capres - cawapres bersama Wiranto, JK yang masih duduk sebagai wakil presiden itu tak henti-hentinya secara sadar mengumbar wacana yang secara transparan membeber bobrok pemerintah.
Manuver ini diawali dalam sambutannya di depan kader Partai Golkar Makassar beberapa wakatu lalu. Saat itu dia mengaku kalau selama hanya dijadikan bemper pemerinta. Meskipun beberapa saat sebelumnya juga telah melontarkan pernyataan senada, namun kali ini dinyatakan secara lebih transparan dan terbuka.
Sepereti telah diduga oleh banyak kalangan sebelumnya, lntaran wacana tersebut ternyata by design. Tak lama setelah itu meluncur iklan di berbagai media dengan sejumlah format. Pesan utamanya tak beda, menciptakan image bahwa JK lah yang sebenarnya lebih banyak berbuat dalam pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu. Tokoh yang pertama kali melontarkan predikat ‘JK The Real Presiden’, Syafi’i Ma’arif pun menjadi bintang iklannya.
Tak berhenti disitu. Dalam safari politik yang belakangan digencarkan ke sejumlah daerah juga mengusung pesan sama. Semua prestasi pemerintah yang melibatkan dirinya sebagai pelaksana langsung di lapangan, tak henti-hentinya diulang sebagai bukti kemampuannya yang selama ini ‘tertutup’ oleh nama besar Presiden SBY.
Sebagai bentuk komunikasi politik di tengah persaingan yang ketat, khususnya dengan ‘atasan’ yang juga maju sebagai capres, memang bisa dianggap wajar. Pengalaman Pemilu Legislatif (Pileg) yang lalu rupanya benar-benar dijadikan pelajaran berharga, terutama ketika Partai Demokrat sejak pagi-pagi sudah melakukan klaim-klaim atas keberhasilan pemerintah, mulai dari penurunan harga BBM, swasembada pangan hingga Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Dalam Pilpres kali ini, JK seolah ingin ‘balas dendam’, mencuri start dengan terlebih dulu mengklaim atas keberhasilan sejumlah pemerintah. Tak hanya itu. Masih dibumbui pula dengan ‘serangan-serangan’ atas kebijakan pemerintah yang dinilai tak berpihak kepada rakyat kecil. Harapannya, apalagi kalau bukan untuk ‘merebut’ kembali hati rakyat yang dalam Pileg lalu sudah terlanjur menganggap SBY lah yang paling berjasa dalam pemerintah selama ini.
Tetapi kalau dicermati dengan seksama, apa yang dilakukan JK ini terlalu kebablasan. Kalau sekedar klaim keberhasilan pemerintah masih bisa dimaklumi, karena bagaimanapun dia memang sebagai wapres. Sekecil apapun perannya, dia pasti memberi kontribusi atas keberhasilan yang diraihnya. Apalagi upaya-upaya untuk memunculkan ‘eksistensinya’ sebenarnya sudah kelihatan sejak jauh hari sebelum ‘musim’ Pemilu meskipun masih malu-malu, atau terkadang juga meminjam mulut orang lain.
Tetapi yang menjadi kebablasan adalah ketika klaim-klaim yang dilakukan terlalu berlebihan, bahkan cenderung membongkar bobrok pemerintah sendiri. Pernyataannya dalam penyampaian visi-misi bidang ekonomi dalam forum yang digelar Kamar Dagang dan Industri (Kadin) beberapa hari lalu, misalnya, JK terlalu emosional dalam ‘mengangkat’ dirinya. Ia seolah lepas tangan dari kebijakan ekonomi pemerintah yang selama ini masih menggantungkan diri kepada luar negeri. Lebih parah lagi, dia membeber bagaimana konfliknya dengan para menteri bidang perekonomian yang kerap tidak sejalan dengan dirinya, sehingga dia mengaku mengambil tugas alih atau pasang badan –mengambil alih tanggung jawab— dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. Meskipun hanya menyinggungnya sekilas, namun sungguh tak sepantasnya JK yang masih menjabat sebagai wapres mengungkapkan hal semacam itu. Dampak psikologisnya akan buruk bagi jalannya pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu yang masih menjabat hingga November mendatang.
Bila diperhatikan secara seksama, belakangan JK memang seolah-olah sudah tidak lagi memposisikan diri sebagai wapres. Nyaris semua pernyataannya bertabrakan dengan kebijakan atau pernyataan resmi pemerintah. Yang paling gres adalah ucapan JK dalam menanggapi soal kecelakaan pesawat Hercules milik TNI-AU di Magetan yang menewaskan 100 orang lebih. Di hadapan wartawan dia menyalahkan pemerintah yang saat ini tidak memberikan anggaran cukup buat perlengkapan pertahanan. Sebaliknya dia ‘berkampanye’ akan memperjuangkan untuk meningkatkan anggaran pertahanan.
Terlepas dari benar atau tidaknya soal minimnya anggaran TNI, tetapi pernyataan yang mengaitkan kecelakaan pesawat tersebut dengan kekurangan anggaran sama sekali tidak pantas meluncur dari mulut seorang wapres, apalagi di tengah penderitaan seratus lebih korban tewas dan luka berat.
Bila model komunikasi konfrontatif yang cenderung tak terkendali ini dilanjutkan, kiranya bukan simpati atau image positip yang diraih JK, sebaliknya justru bisa membunuh dirinya sendiri. Ingat, bahwa rakyat Indonesia saat ini sudah semakin cerdas. Sehebat apapun JK berusaha memunculkan prestasi-prestasinya selama menjabat wapres, dia tetap tak mungkin bisa menghilangkan SBY. Apalagi dengan pendekatan dan strategiya yang cenderung ambigue atau mendua kental dengan nyansa akal-akalan. Di satu sisi mengklaim sejumlah keberhasilan, tetapi disisi lain menolak mengakui atau bahkan ‘cuci tangan’ atas sejumlah kegagalan dan program yang tidak pro rakyat.
Kelemahan lain pendekatan komuniaksi politik JK yang masih menjabat wapres ini adalah ekspose yang terlalu besar terhadap kegiatan safari politiknya di saat musim kampanye belum dimulai belakangan ini. Sementara itu pada saat bersamaan, SBY justru selalu terekspose dalam menjalankan tugas kenegaraan. JK mungkin tidak menyadari bahwa hal ini mampu melahirkan image tersendiri di mata publik tentang siapa yang bekerja dengan baik dan siapa yang mangkir untuk kepentingan politik.
Jadi, di tengah kesibukannya membangun pengakuan atas prestasi-prestasinya, tanpa disadari bahwa hal itu justru bisa memperlemah diri sendiri. Pun demikian dengan pernyataan-pernyataannya yang membeber bobrok pemerintah sama saja dengan menelanjangi diri sendiri. (*)

Wednesday, May 20, 2009

Meragukan Kualitas Legislator Hasil Pemilu 2009

Oleh: Rovy Giovanie

Perhatian media massa belakangan cenderung terfokus pada isu koalisi partai yang memang sedang memanas. Padahal sebenarnya cukup banyak isu seputar hajat Pemilu yang tidak kalah pentingnya bagi kepentingan bangsa.

Salah satu diantaranya adalah produk Pemilu Legislatif (Pileg) yang sudah saatnya dikritisi. Bukan hanya soal Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan pelanggaran-pelanggaran Pemilu yang telah banyak terekspose, melainkan produk Pileg itu sendiri, yakni kualitas calon legislator terpilih. Meskipun proses penghitungan suara oleh KPU sedang berlangsung, namun prediksi siapa-siapa yang bakal duduk di kursi legislative sudah bisa diketahui.

Mengapa harus mengkritisi kualitas caleg terpilih? Karena mereka itulah yang selama lima tahun ke depan akan menentukan jalannya pembangunan bersama-sama pemerintah. Ironisnya, kecenderungan yang terlihat saat ini adalah kuatnya indikasi akan merosotnya kualitas legislator, baik di tingkat DPR, DPRD Privinsi maupun DPRD Kabupaten/ Kota. Wacana ini telah mengemuka sejak jauh hari sebelum pelaksanaan pencontrengan. Saat itu banyak kalangan mengkritisi tampilnya wajah-wajah baru dalam bursa caleg yang bukan hanya tidak memiliki latarbelakang sebagai politisi, melainkan kapabilitasnya juga sangat diragukan.

Bagaimana tidak. Cukup banyak, atau bahkan mungkin malah sebagian besar, caleg di seluruh tanah air yang tampil dengan modal nekad dan coba-coba. Apalagi setelah keluarnya keputusan MK yang menentukan pemenang Pemilu adalah caleg peraih suara terbanyak, dan bukannya nomor urut caleg. Keputusan MK ini secara terbuka dan transparan menegaskan bahwa seluruh caleg memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk merebut kursi DPR/DPRD. Keputusan ini berdampak sangat signifikan bagi pandangan masyarakat terhadap kursi legislatif. Pandangan yang semula mengangap kursi legislatif sebagai jabatan eksklusif yang hanya bisa diraih oleh para elit politik atau politisi karir, kini berubah bahwa kursi legislatif adalah jabatan terbuka yang bisa diduduki siapa saja yang memiliki dukungan suaradari rakyat.

Tak heran bila kemudian bermunculan caleg-caleg di luar elit politik dan politisi karir. Mereka umumnya adalah masyarakat yang ‘merasa’ tokoh di lingkungannya, misalnya saja keluarga kiai yang memiliki ribuan santri, pemilik usaha dengan ribuan karyawan, dan sebagainya. Ada juga yang bermodal popularitas, seperti artis atau public figure lainnya. Tak sedikit juga yang bermodal nekad, dengan mengandalkan kemampuan meraih suara melalui cara-cara politik uang (money politics), mencari simpati, dan sebagainya.

Singkatnya, titik penekanan dalam peraihan kursi legislatif seolah-olah bergeser dengan menafikan kualitas dan kapabilitas caleg. Yang penting hanyalah kemampuan meraih dukungan suara sebanyak-banyaknya. Kondisi ini diperparah dengan realitas pada sebagian besar parpol yang ternyata kekurangan kader untuk didudukkan sebagai caleg. Akibatnya mereka mengisinya dengan sembarangan caleg sekedar untuk memenuhi kuota yang ditetapkan oleh KPU.

Fenomena inilah yang sempat mencemaskan sejumlah pemerhati politik tanah air beberapa waktu sebelum pelaksanaan pencoblosan. Dan kini, setelah hasil Pemilu telah diketahui, kekhawatiran itu ternyata semakin besar dan bahkan bisa jadi mendekati kenyataan. Beberapa indikasi pasca pelaksanaan Pemilu Legislatif menunjukkan potret semacam itu. Tetapi setidaknya ada dua hal menonjol yang patut disimak.

Pertama, kondisi psikologis dan kebatinan pasca pemilihan legislatif (Pileg) secara kasat mata menunjukkan betapa rendahnya moralitas para caleg. Banyaknya kasus-kasus menggelikan yang dilakukan atau menimpa para caleg gagal adalah contoh yang tak terbantahkan. Bayangkan, banyak caleg gagal yang meminta kembali sumbangannya yang telah diberikan kepada majlis ta’lim, rumah ibadah dan sebagainya. Tak sedikit juga diantaranya yang menebar teror dan melakukan pengrusakan akibat minimnya suara yang didapat. Bahkan yang cukup ramai dipublikasikan adalah tingginya angka gangguan jiwa menimpa para caleg gagal. Hal ini jelas-jelas menunjukkan betapa naifnya niat dan motovasi mereka yang semata-mata berburu kursi legislatif untuk tujuan materi. Bisa dibayangkan, apa jadinya lembaga wakil rakyat yang terhormat itu ketika sebagian besar anggotanya hanya sibuk memikirkan pendapatan.

Kedua, tampilnya wajah-wajah baru yang kemungkinan akan mendominasi komposisi legislatif mendatang, baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/ kota. Meskipun hasil resmi belum diumumkan oleh KPU, namun gambaran umum di berbagai daerah menunjukkan bahwa popularitas dan ketokohan lebih mendominasi pemenang Pileg. Di tingkat pusat, misalnya, deretan nama artis kabarnya berhasil memenuhi angka BPP untuk duduk sebagai legislator. Sedangkan di tingkat daerah, para tokoh-tokoh tradisional atau mungkin juga keluarganya –mulai dari kiai, tokoh adat, dan sebagainya-- yang berhasil menyingkirkan caleg berkualitas. Singkatnya, mereka yang pada era Orde Baru dulu hanya diwakili beberapa wakil saja dalam Fraksi Utusan Golongan, kini ramai-ramai tampil. Bahkan bisa dibilan cukup mendominasi di sejumlah daerah. Tanpa bermaksud merendahkan mereka, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa mereka memiliki keterbatasan kemampuan dan keahlian dalam menjalankan fungsi-fungsi DPR.

Soal kejujuran dan kesungguhannya dalam melakukan fungsi pengawasan serta perjuangan terhadap aspirasi rakyat mungkin bisa diandalkan. Tetapi untuk dua fungsi lainnya, yakni legislasi dan budgeting, takcukup hanya mengandalkan kejujuran dan kesungguhan. Lebih dari itu yang dibutuhkan adalah keahlian. Memang, kerap terdengar pembelaan di berbagai media massa, bahwa keahlian itu bisa dipelajari. Tetapi berapa waktu yang terbuang sekedar untuk belajar, padahal pekerjaan legislator sudah menunggu. Selain itu, apa yang bisa diharapkan dari sebuah kursus kilat?

Selain dua hal diatas, kiranya masih banyak indikator-indikator lain tentang betapa meragukannya kualitas legialator hasil Pemilu 2009 ini, mulai soal moralitas dan mentalitas hingga komitmen kebangsaan. Tetapi yang pasti, realitas ini sangat kontradiktif dengan tantangan kedepan yang membutuhkan sosok-sosok legislator berkualitas.

Tidak berlebihan bila banyak kalangan meragukan kinerja legislatif periode mendatang. Jangankan meningkat dari legislatif periode 2004-2009 yang sebenarnya sangat rendah, menyamai saja sudah bagus. (*)

Koalisi Besar Mestinya Berjiwa Besar

Oleh: Rovy Giovanie

Koalisi Besar mendadak menjadi isu utama sejumlah media massa beberapa hari terakhir. Enam partai politik yang lolos parlementary threshold, yakni PDIP, Golkar, Gerindra, Hanura, PPP dan PAN dikabarkan tengah mempersiapkan koalisi bersama untuk menghadapi Pilpres bulan Juli mendatang.

Banyak pengamat meragukan terwujudnya koalisi ideal sebagai lawan tanding Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam Pilpres nanti, mengingat besarnya perbedaan. Namun sejumlah elit parpol calon anggota koalisi pimpinan PDIP itu meyakini koalisi segera terwujud. Alasannya sangat normatif, yakni kesamaan platform dan demi kepentingan bangsa.

Segala kemungkinan memang bisa terjadi. Politik merupakan the art of possibility. Apa yang tidak mungkin dalam nalar normal menjadi mungkin ketika bertemu pada satu titik kesamaan kepentingan.

Realitas politik pasca Pemilu Legislatif (Pileg) 2009 memang membuka peluang cukup lebar. Selain karena tuntutan persyaratan pencapresan, yakni 20 persen suara atau 25 persen perolehan kursi DPR, beragam kepentingan juga melatarbelakangi langkah-langkah koalisi parpol.

Untuk itu, ada beberapa perspektif yang cukup menarik untuk melihat apa yang terjadi dibalik rencana pembentukan Koalisi Besar. Pertama, perspektif konstelasi kekuatan suara. Sementara ini koalisi parpol pengusung SBY sudah lebih dari aman. Dari tiga parpol yang positip bergabung, yakni Partai Demokrat sekitar 20 persen, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sekitar 8 persen, dan PKB 5 persen, telah terkumpul 33 persen suara. Ditambah lagi dengan suara dari parpol-parpol non parlementary threshold yang menurut PD telah mencapai sekitar 13 persen, sehingga total 46 persen. Ini belum termasuk PPP (5%) dan PAN (7%) yang kemungkinan ikut bergabung.

Dari perspektif ini, koalisi pengusung SBY jelas tak terkejar bila kandidat capres lain berjalan sendiri-sendiri. Total jenderal suara yang tersisa hanya 54 persen, termasuk suara dari parpol non threshold. Itu pun masih ada kemungkinan berkurang bila PAN dan PPP akhirnya memilih gabung dengan koalisi pengusung SBY.

Realitas ini secara otomatis memaksa parpol-parpol non pendukung SBY untuk bersatu bila menghendaki pertarungan yang seimbang dalam Pilpres mendatang.

Kedua, perspektif popularitas vs mesin politik. Semua survey belakangan ini menyebutkan bahwa popularitas SBY jauh melesat di di depan meninggalkan para capres lain. Megawati yang berada di urutan kedua saja tidak mencapai separoh dari score popularitas SBY. Padahal popularitas figur memegang peranan utama dalam sebuah pemilihan secara langsung.

Sekali lagi, hal ini menjadi alasan tak terelakkan untuk mengaggas koalisi besar. Keunggulan SBY hanya bisa dilawan dengan gabungan mesin-mesin politik besar yang bekerja maksimal. Sebagai parpol lama dan besar, kekuatan mesin politik Partai Golkar dan PDIP cukup bisa diandalkan. Kehebatan Golkar di luar Jawa sangat klop bila digabungkan dengan PDIP yang cukup mengakar di Jawa-Bali. Belum lagi ditambah mesin politik parpol pendukung lainnya.

Masalahnya, mampukah mereka menjalankan mesin politik secara maksimal. Sedangkan sejumlah parpol calon anggota koalisi besar tengah dilanda konflik laten. Partai Golkar dalam beberapa hari terakhir telah mempertontonkan konflik mereka secara terbuka. Meskipun para elitnya menepis adanya perpecahan, namun ancaman pembelotan merupakan kekuatan yang sangat laten. Pasalnya aksi penentangan terhadap koalisi besar justru berasal dari mesin politik tingkat bawah (baca: DPD II) yang bersentuhan langsung dengan pemilih.

Pun dengan PPP dan PAN yang juga tengah menghadapi konflik internal cukup fundamental. Bahkan konflik PPP sempat diwarnai aksi pendudukan kantor DPP, sedangkan PAN melalui Ketua Majelis Pertimbangan, Amien Rais, secara terbuka menggelar pertemuan dengan mayoritas DPW untuk mendukung SBY. Praktis hanya PDIP dan dua parpol baru pendukungnya, Gerindra dan Hanura yang relatif utuh.

Ketiga, perspektif psikologis. Kondisi prikologis memberi kontribusi terbesar, bahkan bisa dikatakan sebagai pemicu, lahirnya gagasan koalisi besar. Cukup banyak elemen psikologis yang mempersatukan mereka kedalam situasi senasib sepenanggungan. Mulai dari kekecewaan terhadap Daftar Pemilih Tetap (DPT), kemerosotan perolehan suara, hingga masalah-masalah yang sebenarnya lebih bersifat personal.

Namun, yang paling menarik dicermati, bahwa munculnya gagasan koalisi besar bersamaan dengan lontaran Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla (JK) tentang adanya upaya sistematis dalam pemecahbelahan tiga parpol. Ucapan itu disampaikan JK tak lama setelah menerima surat pernyataan sekitar 24 DPD I Golkar yang menghendaki agar kembali berkoalisi dengan Demokrat. Tak lama kemudian, setelah JK bertemu para petinggi PDIP, lahirlah gagasan koalisi besar tersebut.

Dari sini memunculkan kesan yang sangat kuat bahwa koalisi besar tak lebih dari ekspresi atas kekecewaan terhadap poros SBY. Bahkan banyak kalangan menyebutnya sebagai kekuatan ABS (Asal Bukan SBY). Bila dirunut kebelakang, hampir semua ketua umum parpol calon anggota koalisi besar adalah penentang SBY, terutama PDIP, Gerindra dan Hanura. Sedangkan Golkar, dalam hal ini JK, akhirnya juga memposisikan diri sebagai korban SBY menyusul gagalnya upaya koalisi dengan Demokrat. Bahkan JK terkesan merasa dipermalukan akibat penolakan dirinya sebagai cawapres tunggal dalam upaya koalisi dengan Demokrat.

Tak jauh berbeda dengan Ketua Umum PPP Surya Darma Ali. Meskipun dia masih menjabat sebagai Menkop dalam kabinet pemerintahan SBY, namun dia merasa diperlakukan tak adil dibandingkan dengan seteru internalnya, Ketua Majelis Pertimbangan Partai PPP Bachtiar Chamzah. Bahkan muncul kesan seolah-olah SBY berada dibelakang Bachtiar Chamzah dalam persaingan kepemimpinan PPP.

Yang agak unik hanya PAN. Secara mengejutkan, Ketua Majelis Pertimbangan PAN Amien Rais yang selama ini tampil mengkritisi SBY ternyata justru memilih berkoalisi dengan Demokrat. Sedangkan sang ketua, Sutrisno Bachir, yang kubunya kurang terakomodasi dalam cabinet SBY memang sejak lama memberi sinyal untuk berseberangan dengan partai penguasa.

Keempat, perspektif ideologis dan kepentingan. Dalam pernyataan formal, alasan koalisi besar memang untuk kepentinga bangsa dan negara. Lebih kongkritnya adalah untuk membentuk pemerintahan yang kuat dengan dukungan parlemen yang kuat. Tetapi realitas politik ternyata memperlihatkan indikasi yang jauh dari itu. Yang menonjol justru kepentingan-kepentingan sesaat masing-masing parpol.

Alotnya negosiasi pembentukan koalisi besar merupakan indikasi kuat. Masing-masing parpol, terutama Golkar dan PDIP, kukuh dengan pendiriannya untuk sama-sama tetap maju sebagai capres. Alasannya klasik, bahwa hal itu telah menjadi keputusan forum tertinggi partai.

Posisi JK memang sulit. Rapimnassus mengamanatkan dirinya maju sendiri sebagai capres. Kalau sampai dia bersedia menjadi cawapresnya Mega tentu akan menimbulkan masalah internal partai. Karena kalau sekedar posisi wapres, mayoritas elit Golkar masih menghendaki untuk kembali bersama SBY. Apalagi perolehan suara Golkar lebih besar dari PDIP. Sementara Mega memang sudah menjadi semacam harga mati bagi PDIP untuk terus maju sebagai capres.

Barangkali karena itu lantas muncul wacana untuk memecah koalisi besar menjadi dua, yakni pasangan Golkar-Hanura dan PDIP-Gerindra. Sedangkan PPP dan PAN masih menunggu keputusan resmi partai. Dengan harapan, mereka bisa bersatu kembali pada putaran kedua Pilpres. Dengan demikian, gagasan baru ini bisa dibaca sebagai upaya untuk menentukan siapa sebenarnya yang lebih berhak menjadi capres.

Bila ini benar terjadi, tentunya terdengar agak naif dan tidak menampakkan jiwa besar seorang negarawan. Kalau memang tujuannya benar-benar membangun koalisi besar demi rakyat, kenapa harus mengorbankan rakyat. Hanya untuk menentukan ego siapa yang akan menang saja dilakukan melalui Pemilu dua putaran yang tentunya menguras uang rakyat dua kali lipat.

Tetapi itulah politik. Ungkapan-ungkapan demi rakyat, bangsa dan negara selalu mengemuka. Tetapi dalam praktiknya jauh api dari panggang. Tak salah kalau banyak pengamat pesimis akan soliditas koalisi besar itu nantinya bila terwujud. Perbedaannya jauh lebih besar dibandingkan dengan persamaan yang ada, terutama antara Golkar dan PDIP, baik yang bersifat ideologis maupun kepentingan.

Sebagaimana dipaparkan diatas, perekat koalisi hanyalah elemen-elemen yang cenderung bersifat kepentingan temporal. Kekecewaan dan semangat ABS kiranya terlalu bersifat elitis untuk dijadikan sebagai pemersatu, terlebih dalam upaya memenangkan Pilpres. Rakyat akan sulit tertarik kedalam arus tersebut. Rakyat sudah semakin cerdas dan telah memiliki pilihannya sendiri.

Bahkan bila tontonan tentang tarik-menarik kepentingan dalam koalisi besar terus dilanjutkan, tidak tertutup kemungkinan rakyat justru semakin menjauh. Biarpun hasil koalisi besar sukses mengumpulkan suara dukungan lebih besar dari poros SBY, hal itu sama sekali tak berbanding lurus dengan peluang untuk menang. Apalagi yang dihadapi adalah capres incumbent yang tidak hanya bicara tentang janji, melainkan telah menunjukkannya melalui karya dan pembangunan selama ini.

Oleh karena itu, kiranya kalau sampai koalisi besar benar-benar diwujudkan mestinya berjiwa besar. Kesampingkan ego dan kepentingan kelembagaan, serta lenyapkan sentimen personal, sebaliknya kedepankan kepentingan rakyat. Tanpa itu, koalisi besar hanya sebatas nama tanpa makna. (*)