Traffic

CPX

PTP

DOWNLOAD KOLEKSI FILM KAMI

Thursday, July 29, 2010

Senjata Pamungkas ‘Laksamana Cheng Ho’

Tersangka kasus Sisminbakum, Yusril Ihza Mahendra, tak juga mau menyerah. Meski bersedia memenuhi panggilan Kejagung, namun mantan pemeran utama film drama kolosal Laksamana Cheng Ho ini bertekad melawan hingga penghabisan. Sampai dimanakah perlawanan Yusril?

Naskah: Rovy Giovanie
Bak Laksamana Cheng Ho yang diperankannya dalam film kolosal yang ditayangkan televisi beberapa waktu lalu, Yusril Ihza Mahendra nampak cukup gagah saat tiba di Kejagung, Selasa (20/7). Bicaranya juga tegas dan lantang selantang Laksamana Cheng Ho kala memimpin pasukannya. Tak hanya itu, ‘sepasukan’ pendukungnya juga ikut mengiringi.
Bedanya, bila Cheng Ho nampak gagah dan tegas di medan perang, sedangkan Yusril kali ini tengah melakukan pembelaan diri atas kasus yang tengah menimpanya, yakni dugaan korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum). Begitu pun dengan massa yang mengiringinya di Kejagung, Selasa (20/7), juga bukan pasukan gagah perkasa yang siap menaklukkan lawan, melainkan para demonstran Aliansi Masyarakat Peduli Hukum (AMPUH) yang hanya bisa berteriak-teriak menuntut keadilan dari luar gerbang Kejagung.
Setelah menyandang status tersangka, Yusril memang tampil lebih ‘garang’. Dengan bekal keyakinan bahwa dirinya tak bersalah, mantan Menteri Kehakiman dan HAM era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini bertekad melakukan perlawanan hingga penghabisan.
Perlawanan pertama jelas ditujukan pada kasus yang membelitnya saat ini. Dalam tiga kali pemanggilan pemeriksaan oleh Kejagung, dia hanya dua kali memenuhinya. Itu pun hanya sekedar formalitas untuk menghormati lembaga hukum. "Hari ini saya datang ke Kejagung memenuhi anjuran banyak pihak termasuk Pak Buyung Nasution bahwa saya harus menghormati instutusi kejaksaan," ujarnya di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Selasa (20/7).
Semula Yusril memang menolak hadir, karena kehadirannya pertama dalam pemeriksaan di Kejagung, sepekan sebelumnya, Guru Besar hukum tata negara ini memang sempat bersitegang dengan aparat Kejagung, karena menolak tanda tangan BAP. Waktu itu, Yusril bahkan sempat dihadang di petugas Kejagung di pintu gerbang, meskipun akhirnya dibiarkan pergi.
Sedangkan kali ini, meski memenuhi panggilan, Yusril tetap tetap kukuh dengan pendiriannya. "Jadi pertanyaan yang diajukan kepada saya, saya jawab sama yaitu bahwa saya belum bersedia menjawab pertanyaan ini karena saya berpendapat Jaksa Agung tidak sah," jelas mantan Mensesneg era Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I ini.
Yusril lebih tertarik untuk menjawab semua pertanyaan langsung di pengadilan nanti. Jawaban di persidangan dianggap lebih objektif dibanding pertanyaan penyidik. "Biar hakim yang langsung bertanya kepada saya di pengadilan, saya akan menjawabnya langsung di sidang, tidak perlu menjawab pertanyaan selaku penyidik, jadi itu ada pertimbanganya," tandasnya.
Ketua Majelis Syuro Partai Bulan Bintang (PBB) ini memang sudah mengajukan judicial review UU 16/2004 tentang Kejaksaan RI, Kepres 187/2004, Kepres 31/2007 dan Kepres 83/2009 ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membuktikan bahwa Jaksa Agung Hendarman Supanji adalah illegal. Atas landasan ini lah Yusril semula menolak menjalani pemeriksaan Kejagung hingga keluarnya putusan dari MK.
Tentu saja tindakan politisi senior ini mengundang cercaan berbagai kalangan, tak terkecuali dari politisi Senayan. Apalagi sebelum mempersoalkan status Jaksa Agung ini Yusril juga sempat menuding adanya intervensi sejumlah anggota Dewan dibalik penetapan statusnya sebagai tersangka. "Saya tahu dari adiknya Hendarman (Jaksa Agung), Bambang Tri, kalau ada 5-6 anggota DPR yakni Bambang Soesatyo, Desmon J Mahesa, Ahmad Yani, mendatangi Kejagung," kata Yusril.
Saat itu, Yusril menjelaskan, anggota DPR asal Gerindra, Golkar, Hanura, PPP, dan PDIP itu bertemu Hendarman dan mem-fait accompli Hendarman terkait dugaan suap yang diterimanya. "Pak Hendarman dalam keadaan terjepit. Mereka meminta Kejagung menuntut Hartono Tanoe, kalau tidak dugaan kasus suap akan diledakkan di DPR dan dibuat tim panja. Daripada diisukan suap, lebih baik menetapkan tersangka," terang Yusril.
Tidak lama, Hartono Tanoe pun ditetapkan menjadi tersangka, yang akhirnya menyeret Yusril. "Adik Pak Hendarman pada sekitar 26-27 Juni kemudian menemui saya, bercerita soal itu dan mengatakan kasus ini akan selesai. Saksinya Pak Kaban dan Yusron," imbuhnya. Sebelumnya, Yusril mengungkapkan bahwa adik Hendarman memberitahunya bahwa Jaksa Agung itu menerima suap dari Hartono Tanoe sebesar US$ 3 juta untuk menghentikan kasusnya.
Celotehan Yusril ini sontak dibantah ramai-ramai. Meski mengakui adiknya dekat dengan Yusril, namun Hendarman tegas-tegas menolak tudingan menerima suap ataupun mendapat tekanan. "Dia tanya kepada saya, ya saya bantah, tidak benar itu saya terima US$3 juta. Kalau benar sudah kaya saya," ucap Hendarman di Jakarta, senin (19/7).
Menurut Hendarman, penetapan tersangka Yusril dan Hartono Tanoesudibjo dalam kasus Sisminbakum sudah berdasarkan alat bukti yang ada. Bahwa dirinya bertemu anggota DPR di kantornya, tidak dibantah. "Tapi itu tidak menekan saya," tegasnya.
Bantahan Hendarman langsung disambut Bambang Soesatyo (Bamsat) dkk. Ia tidak hanya membantah melakukan tekanan, tetapi juga menuding Yusril berusaha mempolitisasi kasusnya. “Saya lihat Yusril lebih melebarkan ke arah politik,” tegas Bamsat kepada Kabar Politik di Jakarta, Senin (19/7).
Padahal, menurut Bamsat, kalau memang Yusril yakin dirinya tidak melakukan pelanggaran dalam Sisminbakum justru seharusnya membuktikannya lewat jalur pengadilan. ”Yusril itu sudah menyimpang dari apa yang seharusnya dia lakukan. Dia sudah menyenggol sana dan sini, tembak sana tembak sini, dan, sama sekali tidak ada relevansinya dengan kasus Sisminbakum,” sambung politisi Demokrat, Ramadhan Pohan.
Beberapa waktu lalu, Yusril memang mengancam untuk menyeret nama SBY bila kesalahannya terus dicari-cari. Alasannya, menuurt Yusril, Sisminbakum adalah kebijakan pemerintah yang juga tak merugikan negara sepeserpun. Sedangkan kasus Century yang juga sama-sama kebijakan pemerintah –bahkan merugikan negara sampai Rp 6,7 triliun—ternyata ditutup. “Jadi, kalau ada yang otak-atik Sisminbakum, maka bisa membuka peluang dibukanya kasus Century. Kalau Boediono kena, maka kena juga SBY. Jadi saya bilang, kasus ini (Sisminbakum) bisa membuka kasus besar,” ancamnya.
Tak hanya itu, Yusril juga mengancam akan membongkar berbagai skandal lainnya yang diduga melibatkan pemerintah. Selain kasus Bank Century, juga kasus Hotel Hilton dan sejumlah kasus lainnya.
Namun ancaman Yusril dipandang sinis para lawan politiknya. Ketua DPP Partai Demokrat, Ruhut Sitompul, menganggap pernyataan Yusril hanyalah gertakan untuk bisa lolos dari jeratan hukum agar bisa melanjutkan karir politiknya. "Mungkin dia tidak terima menjadi tersangka, karena dirinya juga masih punya ambisi besar untuk maju 2014 mendatang. Saya geli sendiri kalau dia mengatakan kasusnya penuh muatan politik. Itu akal-akalan dia saja," jelas Ruhut di Jakarta, pekan lalu.
Bisa saja Yusril sekedar menggertak. Tetapi bukan mustahil juga politisi yang mendukung SBY pada Pilpres 2004 itu benar-benar akan melakukannya. Sebagai guru besar hukum tata negara yang disegani dan mantan Menteri Kehakiman dan HAM, Yusril tidak hanya paham hukum, tetapi sangat mungkin mengetahui banyak data tentang kasus-kasus hukum yang selama ini tak terungkap ke publik. Apalagi dengan jabatan Mensesneg yang pernah didudukinya, Yusril pasti mengetahui banyak rahasia negara. Masalahnya, apakah data-data yang dimiliki Yusril itu cukup kuat untuk melawan kekuasaan pemerintah yang sedemikian besar?
Barangkali lantaran itu, para lawan politik SBY menyambut baik langkah Yusril. Politisi PDIP, Eva Kusuma Sundari, siap mendukung Yusril membeber kembali kasus Century bila memang memiliki data-data yang kuat. “Meski timingnya tidak tepat, namun dengan jiwa kenegarawanannya kami mengharap Yusril membuka kasus Bank Century,” saran Eva.
Kabarnya, sejumlah kelompok LSM yang berada di barisan seberang SBY siap-siap menggulirkan data yang dimiliki Yusril. Sebagai langkah pemanasan, mereka kini sudah mulai menggelar demo kecil-kecilan ketika Yusril menjalani pemeriksaan. “Kami masih menunggu perkembangan. Yang jelas kami siap bergerak kapanpun,” terang sumber Kabar Politik di Jakarta, Selasa (20/7).
Ketika dikonfirmasi, Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), MS Kaban, mengakui akan terus menggulirkan kasus Century. Ia bahkan menuntut agar Boediono segera diperiksa. Bahkan, mantan Menteri Kehutanan ini membawa temuannya ke Komisi III DPR. "Yang jelas semua surat-surat sudah kita sampaikan kepada fraksi-fraksi di DPR, kita berharap ini ada perhatian karena menurut kami ini serius," tandas Kaban.
Tetapi ia membantah tegas bila langkah ini dilakukan untuk barter kasus, yakni untuk menghentikan kasus Sisminbakum. “Ini sudah menjadi komitmen kami sejak awal,” sambung Kaban.
Tetapi di mata publik, kesan pembelaan diri ataupun dendam dibalik manuver Yusril memang nampak jelas. Sadar atau tidak, kakak kandung Yusron Ihza Mahendra ini juga sejatinya mengakui. Karena perlawananan habis-habisan memang dilakukan setelah dirinya menyandang status tersangka.
Yusril memang luar biasa terpukul dengan kasus yang menimpanya saat ini. Ia tah hanya merasa diperlakukan seperti PKI, tetapi juga dibunuh jalan hidupnya. "Kalau begini lebih baik saya keluar tinggalkan Republik ini. Karena saya tidak bisa ngapain-ngapain," ujar Yusril.
Yang membuat mantan Capres PBB ini lebih geram, bahwa dirinya merasa sudah diincar sejak menjabat menteri dalam KIB I. Ia pun menuturkan pengalaman tak mengenakkan ketika menjadi Ketua Panitia Pelaksana Peringatan 50 Tahun Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 2005. "Baru dua minggu belum selesai laporan, Hendarman (saat itu Jampidus/Ketua Timtas Tipikor) bilang saya sudah mau diperiksa. Saya bilang, tunda dulu sampai laporan keuangan selesai," kisah Yusril.
Belakangan, Hendarman mengatakan kepadanya bahwa ia disuruh Sudi Silalahi (saat itu Sekretaris Kabinet). Yusril pun lantas mengkonfirmasi ke Sudi. "Katanya (Sudi) disuruh Presiden SBY," ungkap Yusril.
Dasar Yusril yang tak kenal takut, ia kemudian mengkonfirmasi langsung ke SBY. "Saya datang ke Cikeas, saya bilang, Asia afrika ini membuat nama Indonesia dan Anda harum di dunia. Saya setengah mati kerja, belum apa-apa mau di-Timtas Tipikor," ucap Yusril.
Yusril mengaku, saat itu pun ia meminta diberhentikan oleh Presiden SBY. "Saya minta berhenti sekarang juga. SBY tanya, 'kenapa?' Saya mau diperiksa. 'Lho siapa yang mau diperiksa?' Anda kan bilang ke Sudi untuk periksa Saya? 'Saya tidak pernah menyuruh'," kisah Yusril menceritakan dialognya dengan Presiden SBY. "Sejak itu saya berpikir, saya tidak aman deh," pungkas Yusril.
Perasaan kecewa, sakit hati dan teraniaya ini kiranya yang mendorong Yusril berbuat nekad. Tetapi sampai sejauh mana perlawanan ini akan menyelamatkan dirinya? Yusril tentu sadar bahwa melawan pemerintah yang sedemikian kuat tak ubahnya david melawan goliath. Apalagi kalau dia berjuang sendirian, tanpa dukungan politik dari Dewan yang kini sudah kembali dikuasai Istana.

Dr Teuku Nasrullah: Yusril Memang Terlibat

Memang benar dia (Yusril) terlibat, karena sebagai menteri dia membuat kebijakan. Itu tidak bisa dipungkiri bahwa Yusril terlibat dalam membuat kebijakan Sisminbakum. Namun harus diuji, apakah keterlibatan itu ada unsur pidana atau tidak. Terlibat itu bukan berarti sudah pasti ada perbuatan penyimpangan. Kebijakan itu sangat luar biasa bagusnya. Lalu apakah ada penyimpangan? Itu yang harus ditelusuri.

Kemudian soal langkah Yusril membawa persoalan Jaksa Agung ke Mahkamah Konstitusi itu adalah langkah cerdas dan memberikan pelajaran hukum kepada masyarakat. Terlepas Yusril benar atau salah, tetapi ketika dia melihat ada suatu persoalan dia menggunakan jalur hukum untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Itu yang saya hormati. Saya salut kepada dia. Dia tidak teriak-teriak. Tidak bicara sembarangan, tetapi dibawa ke jalur hukum.



Arbi Sanit: Emangnya Dia Siapa?

Yusril tidak membicarakan pokok masalah, dia justru menggesernya, yaitu melakukan tuduhan kepada jaksa agung. Tujuan Yusril sendiri untuk mengalihkan kasus korupsi Sisminbakhum ke masalah jabatan jaksa agung. Ketika Yusril membelokkan sebuah kasus perkara, sudah pasti dia inging mengaburkan semua pemberitaan yang mengarah kepada dirinya mengenai perkara korupsi ini. Takutnya nanti masyarakat kita akan terjebak.
Begitu juga soal ancaman membongkar kasus-kasus lain dengan prinsip mati satu mati semua, itu hanya gertakan. Ya mana bisa? Emang dia siapa ? Jadi, misi dia cuma satu dalam masalah ini, yaitu menyelamatkan diri. Tidak ada misi politik ataupun misi lainnya kecuali menyelamatkan diri dan mengaburkan masalah yang timbul.



Dr Irman Putra Sidin: Hak Yusril Peroalkan Jagung

Hak setiap warga negara untuk mempersoalkan legalitas sebuah jabatan negara yang dipegang oleh seseorang. Misalnya ketika kita diperiksa polisi di tengah jalan, Anda punya hak menanyakan apakah anda polisi itu sedang bertugas atau polisi gadungan. Begitupun dengan Yusril. Sah-sah saja dia mempersoalkan legalitas Jaksa Agung (Jagung). Tidak ada masalah. Adapun kasus Sisminbakhum kan masih praduga tak bersalah. Yusril juga kan belum tentu seorang koruptor. Bahwa kasusnya adalah kasus korupsi itu benar, tapi tidak boleh distigmakan begitu. Jadi, tidak masalah dan tidak ada pengalihan isu. Seorang terdakwa sekalipun, narapidana sekalipun mempunyai hak, dan dijamin oleh UU sifatnya sudah universal. Jadi, posisi Hendarman sah tapi dia juga harus menghormati hak konstitusionalnya Yusril.


Bambang Soesatyo: Ancaman Yusril Itu Angin Segar

Bagi kami sebagai tim pengawas kasus Bank Century, ketika ada ancaman untuk membongkar kasus ini merupakan angin segar. Artinya kami berharap ada fakta dan data terbaru yang bisa diungkap Yusril untuk memperjelas dengan terang benderang apa yang terjadi dalam skandal Bank Century ini. Yusril juga pernah mengatakan, bahwa presiden pernah berkonsultasi kepadanya, apakah dirinya (SBY) dapat dilantik menjadi presiden RI kalau wakilnya Boediono ternyata dinyatakan bersalah dalam kasus BanK Century. Melihat statmen ini, presiden sangat paham betul dan mengetahui sekali bahwa kasus Bank Century ini sangat melibatkan Boediono dan Sri Mulyani. Justru dengan fakta-fakta baru inilah yang kami tunggu-tunggu dan tidak menutup kemungkinan, saya sebagai pengawas untuk mengundang Yusril dan meminta keterangan untuk membeberkan apa yang diketahuinya.
Mengenai kasus Sisminbakum, saya kira forum yang tepat bagi Yusril untuk membuktikan dirinya bersih adalah pengadilan, sehingga ada kejelasan yang sebenarnya. Jika sisminbakum ini bukan kasus pidana, maka pejabat-pejabat yang sudah divonis inikan harus dipulihkan nama baiknya.



Ramadhan Pohan: Keluarkan Kartu Truf di Pengadilan

Yusril itu kan orang yg mengerti hukum. Bahkan beliau itu seorang profesor hukum yang mengerti apa yang namanya pemanggilan dalam proses hukum. Kalau bukan kalangan seperti Yusril yang taat hukum, siapa lagi yang mentaati hukum? Artinya, Yusril harus menjadi contoh sebagai warga negara yang taat hukum. Dan jagan khawatir, seperti kebakaran jenggot saja. Toh orang di dalam pengadilan belum tentu divonis bersalah kan? Justru dengan pengadilan sebagai sebuah media yang dapat membuktikan seseorang itu bersalah atau tidak. Sebab, yang berbicara itu kan fakta-fakta hukum. Jadi tidak usah ditarik ke wacana politik dong. Tidak usah dipolitisasi. Kalaupun dia punya kartu truf, artinya dia sudah berpolitik. Trufnya itu sebaiknya dikeluarkan di pengadilan jika memang dirinya tidak bersalah. Begitu juga disertai fakta-fakta hukum yang dia punya. Itu lebih gentle dan fair, lebih rasional dan logis.

Yuzril Ihza Mahendra: Kasus Sisminbakum Bisa Buka Kasus Besar

Tersangka kasus Sisminbakum, Prof Dr Yusril Ihza Mahendra, bergeming dengan upaya Kejagung untuk menyeretnya ke meja hijau. Mantan Menteri Hukum dan Ham ini tetap berkeyakinan bahwa dirinya tak beralah. Ia pun siap melakukan perlawanan sampai penghabisan. Kepada Mimbar Politik, mantan Mensesneg ini menceritakan panjang lebar bagaimana kasus Sisminbakum hingga berkembang melebar saat ini. Berikut petikan wawancara yang dilakukan reporter Kabar Politik, Edy Hamad, Aris Ikhwanto, Petrus Dabu, dan fotografer Sony Eko, di kantornya, Graha Citra Grand, kawasan Gatot Subroto, Jakarta, Kamis (15/7).

Kasus yang menimpa Anda saat ini begitu menghebohkan. Apa sebenarnya yang terjadi?
Ya, ini sebenarnya nggak ada kasus. Kalau ada kasus kan berarti sejak awal sudah ada penyelidikan dan penyidikan. Pernah tahun 2006 ada orang melaporkan Sisminbakum ke KPK. Entah siapa, saya gak tahu. Terus KPK melanjutkan penyelidikan, tapi tidak dilanjutkan ke penyidikan karena BPK dan BPKP menyatakan tidak ada kerugian negara. Jadi kasus ini ditutup. Tapi pada 2008, ada lagi orang melaporkan kasus ini ke Kejaksaan Agung. Dan waktu itu Kejagung sedang terpuruk oleh berbagai kasus. Antusias lah mereka mengangkat hal ini. Ada beberapa kawan yang dipanggil waktu itu. Lalu saya katakan kenapa ini kasus diangkat lagi, lalu mereka katakan ini untuk memperbaiki citra Kejagung. Kalau memang begitu, ya kita mau apa lagi.

Bukankah memang ada muatan korupsi dalam kasus Sisminbakum?
Yah nggak ada. Karena memang ini adalah satu kebijakan negara untuk mengatasi krisis ekonomi awal tahun 2000. Waktu itu memang tidak ada di pos APBN, karena Presiden Gus Dur menggunakan pos APBN Presiden sebelumnya, yakni Habibie. Ekonomi kita sudah hancur, dan kita bekerja sama dengan IMF untuk memulihkan ekonomi. Tapi IMF mengkritik pemerintah Indonesia, gimana ekonomi bisa dipulihkan kalau perusahaan-perusahaan tidak bisa berdiri. Kan tidak mungkin orang investasi per orangan, dan untuk mengesahkan perusahaan tersebut. adalah tanggungjawab Departemen Kehakiman. Kita harus mengubah sistem pelayanan kita dari tradisional menjadi sistem elektronis, karena kan notaris berada di seluruh Indonesia .

Bagaimana sebenarnya Sisminbakum itu?
Sisminbakum itu asumsi. Kalau pada waktu itu kabinet Gus Dur ada duit untuk membangun Sisminbakum kan nggak perlu gandeng swasta. Bukan berarti negara ini nggak punya duit, masa Rp 60 miliar saja nggak ada. Anggaran ini kan ada dalam APBN, tiap kementerian itu ada anggarannya per tahun. Pada waktu itu Rp 318 miliar untuk Depkumham. Tahu persis saya. Dan itu kan item demi item sudah dibicarakan dengan DPR. Tiba-tiba ada yang namanya Letter of Intent (LOI) dengan IMF. Sisminbakum harus segera dibangun. Tanpa itu, tidak ada recovery ekonomi. Kan dana untuk bangun Sisminbakum nggak ada dalam pos anggaran. Kalau saya switch anggaran untuk pembangunan penjara untuk Sisminbakum, maka saya melakukan penyimpangan dan disalahkan BPK. Yang gini-gini nih orang kita nggak ngerti.

Tapi kabarnya kasus ini merugikan negara karena tidak setor ke PNBP?
Nah latar belakang ini harus dipahami. Proyek Sisminbakum ini dengan tujuan untuk mempercepat recovery ekonomi kita. Dan untuk membangun itu kita tidak ada anggaran waktu itu, sehingga mengundang swasta untuk investasi. Jadi swasta murni tanamkan investasi disitu, tidak sepeser pun uang pemerintah dipakai. Tapi kesepakatan perjanjiannya BOT, setelah 10 tahun kemudian semua peralatan, gedung dan fasilitas lainnya diserahkan kepada negara. Jadi, pendapatan negara itu kan ada pajak dan bukan pajak, kan cuma dua itu. Kalau sesuatu itu sudah dikenakan pajak, maka tidak bisa diambil nilai pajaknya. Kalau sudah diambil nilai pajaknya, maka tidak bisa dikenakan pajaknya lagi. Jadi kalau ini swasta yang invest dengan BOT sepuluh tahun, ya maka pendapatan dari biaya akses Sisminbakum itu memang tidak bisa dijadikan PNBP, kecuali negara disuruh jadi perampok.

Jadi Anda tidak merugikan negara atau menikmati dana Sisminbakum?
Tidak sepeser pun. Di Pengadilan Yohannes Waworuntu bawa kwitansi bahwa saya pakai uang Sisminbakum. Tapi kan itu semua terbantahkan, itu semua rekaysa. Ya sudahlah. Saya nggak kenal mereka itu. Kasus ini kuat sekali rekayasanya. Saya dijadikan sasaran obok-obok kesana kemari.

Jadi Anda tidak percaya kesaksian Yohannes Waworuntu?
Saya nggak mau komentar banyak soal Waworuntu itu. Saya pernah baca di koran katanya si Yusril biaya kawin lagi pake uang Sisminbakum. Saya ketawa saja. Sudah kelewatan. Itu kan urusan dia sama Hartono. Kenapa dia koar-koar ke publik bahwa dia tidak makan uang sepeser pun, tapi dipenjara. Kalau dulu dia tidak happy menjadi Dirut PT SRD, kenapa tidak mengundurkan diri sejak awal. Itu kan urusan internal perusahaan dia kok.

Tadi Anda bilang kasus ini untuk memperbaiki kinerja Kejagung, apa alasannya?
Ya kita melawan Kejagung. Waktu itu kan Prof Natabaya diperiksa. Natabaya tanya kepada orang Kejagung, kenapa saya diperiksa, jawabannya ‘ya bapak maklum saja Kejagung sedang terpuruk’. Nah kalau Yusril kan diangkat pasti meledak dong, Kejagung citranya naik lagi. Kan Anda lihat sekaranag, ketika Bachtiar Hamzah (Mantan Mensos) disidik termasuk juga Ahmad Sujudi (mantan Menkes), kemudian, mantan Menteri Perikanan dan Kelautan Rokhmin Dahuri, meledak kan? Nah ketika saya disidik saya lawan dan bisa menenggelamkan kasus Century. Itu target mereka juga.

Anda pernah mengancam membongkar kasus-kasus lain kalau terus ditekan. Apa benar begitu?
Sebenarnya saya fokus pada masalah saya sendiri. Bukan saya tidak tahu yang lain-lain. Saya katakan kenapa masalah Sisminbakum mau dipidanakan terus, dengan rekayasa alat bukti, dengan apa segala macam. Nah sementara ketika kasus Bank Century ditanyakan kepada Hendarman, lalu dia bilang dalam Bank Century Boediono tidak bisa diadili karena itu kebijakan. Saya katakan, Sisminbkum ini juga kebijakan pemerintah. Kalau sama-sama kebijakan, tapi kenapa yang satu ditutup lalu lainnya tidak? Sisminbakum tidak menggunakan uang negara. Tidak merugikan negara sepeser pun. Malah menguntungkan. Tanpa Sisminbakum tidak mungkin ada recovery ekonomi. Tapi bailout Bank Century kan pakai uang negara dan rugi Rp 6,7 triliun. Jadi, kalau ada yang otak-atik Sisminbakum, maka bisa membuka peluang dibukanya kasus Century. Kalau Boediono kena, maka kena juga SBY. Jadi saya bilang, kasus ini (Sisminbakum) bisa membuka kasus besar.

Jadi benar, Anda akan membongkar kasus besar?
Saya nggak mau jadi permainan orang lain. Jadi saya tidak mau dilarikan ke mana-mana. Kalau DPR mau ya kita buka lagi sidang Sisminbakum, dan memang sudah pernah tahun 2003 kan? Waktu itu Komisi III DPR menanyakan dan kita sudah jawab tuntas. Dan pada waktu itu DPR katakan tidak masalah dan jalan terus. Dan supaya Anda ingat juga, pada tahun 2006 ketika saya bukan lagi Menkumham, Sisminbakum itu masuk dalam UU PT yang baru. Dikatakan dalam UU itu bahwa segala pengesahan dan perubahan akte perseroan dilakukan oleh Sisminbakum. Itu bukan saya menterinya. Itu Hamid Awaludin. Dan Presidennya SBY. Jadi DPR dan SBY menyatakan Sisminbakum ini baik dan masuk dalam UU. Jadi saya bingung melihat semua itu sekarang ini.

Bagaimana kira-kira ujung kasus ini?
Biarin saja. Kalau saya merasa benar, maka sampai mati pun akan saya lawan. Saya tidak akan mau kalah. Kalau saya nggak mau melawan dari kemarin juga saya sudah habis.

Anda sudah tiga kali dipanggil Kejagung tapi tidak pernah datang?
Ya biarin saja. Saya katakan surat panggilan itu tidak sah. Dan kalau pun saya dimintai keterangan, maka akan saya katakan di BAP saya dan jawab saya, bahwa ‘saya tidak bersedia menjawab karena saya anggap Anda tidak sah’. Mau seribu pertanyaan pun, maka jawaban saya adalah ‘Anda tidak sah’. Dalam hukum acara pidana, orang yang dijadikan saksi kan berhak tidak menjawab. Dan itu hak saya untuk tidak menjawab.

Ada kesan pihak penguasa mulai ketakutan dengan tindakan nekad Anda. Mengapa?
Saya nggak tau, kenapa mereka takut sama saya. Saya kan tidak mau ganggu-ganggu orang. Tapi orang juga jangan ganggu-ganggu saya dong. Kalau dalam perang itu ‘Anda membunuh atau Anda dibunuh. Saya tidak mau mati kalau saya tidak bersalah. Orang mau bunuh saya. maksa saya bunuh dia duluan. Saya akan tetap lawan. Kasus ini sesuatu saat akan terungkap kebenaran.

Apa karena kasus ini memang politis seperti Anda katakana berkali-kali?
Bisa jadi kental dan bisa jadi tidak kental juga. Tidak kentalnya kalau orang menyelidiki permainan dibalik semua ini. Ini kan konflik antar keluarga Soeharto dan keluarga Tanoesoedibjo. Mulai dari masalah TPI, RCTI, Bimantara, dan ini kan perseteruan sejak lama. Dan saja juga mempelajari keluarga Tanoesoedibjo ini, mereka sangat solid, satu diganggu maka semua akan melawan. Sebenarnya perseteruan ini kan dengan Harry Tanoesoedibjo. Tapi karena Hartono yang pemegang saham di PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD) yang mengoperasikan Sisminbakum, kalau ini diangkat, maka saya pun kena imbasnya juga. Kalau mau disederhanakan tidak ada bau politiknya. Tapi ini bisa juga jadi politik.

Apa kira-kira motif politiknya?
Kalau dari sisi saya kan kasus Sisminbakum ini diungkap tidak lama setelah saya maju dalam pencalonan Presiden pada waktu pemilu 2009 kemarin. Dan sejak itu saya habis tenaga dan pikiran untuk menghadapi semua ini. Bukan hanya politik, ekonomi saya juga hancur. Saya menangani kantor hukum, dan klien pada kabur. Bagaiman minta backup hukum pada saya kalau saya juga dijadikan tersangka. Banyak yang katakan bahwa saya tiap bulan nikmati setoran Sisminbakum. Saya katakan ini kasus mau dilarikan kemana lagi. Kalau dia mau cari ini soal kebijakan dan soal aturan-aturan hukum, saya kira dalam tiga kasus yang sudah diajukan di Pengadilan itu semua kita patahkan. Tapi kalau yang satu ini memang bisa jadi bidikan semua orang. Saya belajar hukum, dan bukan tidak tahu bagaimana menggunakan hukum untuk melakukan kejahatan. Kalau sudah nggak ketemu sana sini, maka bisa cara kotor. Makanya saya katakan hukum ini kotor. Seperti Pak Romli Atmasasmita kan sudah berkali-kali gelar perkara. Pak Romli itu dituduh 4 lapis. Pertama memperkaya diri sendiri dan orang lain dengan merugikan keuangan negara. Hal itu tidak terbukti. Kedua melakukan pungutan paksa kepada masyakat dan tidak terbukti, ketiga menerima suap dan gratifikasi juga tidak terbukti. Yang terbukti membagi uang koperasi Dirjen AHU Kementerian Kehakiman dengan satu perjanjian dan perjanjiannya itu pun direkayasa dan dipalsukan di Kejagung. Dan orangnya sekarang sudah ditangkap sama polisi. Jadi kalau sudah seperti ini, orang kan tanya kepada saya, Pak Yusril itu kan cuma mengalih-alihkan persoalan saja. Kenapa nggak hadapi saja pengadilan? Kalau pengadian seperti ini, gimana saya pernah takut sama pengadilan? Pernah saya diadili gara-gara SIM. Karena oleh polisi katakan saya salah jalan, saya katakan tidak. Perkara SIM itu saya lanjutkan ke Mahkamah Agung (MA). Akhirnya saya menang pada tingkat kasasinya. Orang bilang pada saya, ‘loe gila. Kalau loe datang ke sidang denda loe kasih 50 ribu, maka selesai.’ Anda habis jutaan rupiah untuk bela kasus ini sampai MA. Tapi saya lakukan demi tegaknya hukum. Jadi bukan saya takut Pengadilan, tapi Anda tahu lah pengadilan sekarang ini seperti apa.

Anda merasa dijadikan target melalui kasus Sisminbakum ini?
Iya, orang seperti saya ini bisa dijadikan target. Dan mungkin Anda susah percaya. Bahwa kekuatan asing itu ingin menghabisi saya, karena saya dikenal anti Barat dan saya juga orang yang committed terhadap prinsip-prinsip Islam, tapi saya moderat. Dan hal ini tidak pernah disenangi Amerika. Singapura saja dari dulu kalau berhadapan dengan saya paling jengkel. Karena saya paling keras menhadapi Singapura. Pernah sekali saya debat dengan Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yeuw di Istana Bogor tentang perjanjian ekstradisi antara kita dengan Singapura. Saya katakan bahwa apakah Anda mau dibilang bawa negara anda menjadi kaya karena menjadi tempat pelarian koruptor-koruptor dari Indonesia ? Lalu peta kekuatan politik dalam negeri antara Jawa dan luar Jawa. Islam dan non Islam. Lalu posisi saya ada di mana. Saya ini punya pendirian tegas. Saya juga menjadi target dalam negeri . Orang mulai hitung pemilu 2014 sudah dekat. SBY pasti sudah selesai kekuasaanya. Tokoh-tokoh bangsa dan politik sudah pada tua semua. Di kalangan analis politik merek katakan, bila Yusril maju di pemilu Pilpres 2014 tidak punya lawan yang berat.

Jadi, apa sebenarnya motif kekuasan saat ini menyerang Anda ?
Saya tidak tau. Orang seperti saya ini kan nggak mau ganggu-ganggu orang. Saya bukan tipe orang tegaan. Dan saya tidak penah mencari-cari kesalahan orang lain. Saya pikir kita tidak pernah menjadi orang hebat dengan cara menunjukkan kesalahan orang lain. Lebih baik saya bekerja dengan prestasi yang baik. Dan kalau Anda lihat, UU yang sekarang ini UU MK, KPK, termasuk UU Jaksa, itu saya yang ajukan ke DPR dulu. Makanya, saya bilang jaksa-jaksa ini janganlah menggurui saya dengan UU Jaksa. Janganlah kalian menjadi merasa hebat gede kepala begitu.

Anda merasa kasus ini untuk menghabisi karir politik Anda?
Saya pikir bisa jadi. Anda lihat di sidang MPR tahun 1999. Kalau pada waktu itu saya tidak mundur, apa Anda yakin Gus Dur bisa jadi Presiden? Belum tentu. Kalau saya paksa pada waktu itu, maka Gus Dur kalah sama saya. Lalu saya berhadapan dengan Megawati, dan belum tentu juga Mega bisa menang sama saya. Tapi begitu kuat desakan dan tekanan itu sampai tubuh saya dihempas-hempaskan tembok supaya saya mundur, dengan alasan saya masih muda dan belum berpengalaman. Kalau soal urusan negara, saya pengalamann, karena saya pernah jadi Menteri Sekertaris Negara. Begitu juga soal ilmu mengatur negara saya juga tidak kalah.

Heru Lelono:Kalau Yusril Punya Kartu Truf, Keluarkan Saja

Kasus Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) sudah melebar kemana-mana. Salah seorang tersangka kasus ini, Yusril Ihza Mahendra, bahkan mengancam untuk menyeret Presiden SBY ke dalam kasus yang sudah memasuki ranah politik ini. Lantas, bagaimanakah tanggapan pihak Istana? Staf Khusus Presiden bidang Informasi dan Public Relations, Heru Lelono, justru mempersilakan Yusril mengeluarkan semua ‘kartu truf’ yang dimilikinya. “Kalau memang ada berarti membantu negara menegakkan hukum. Malah itu hebat yang penting jangan fitnah saja,” ujar orang kepercayaan Presiden SBY ini dalam wawancaranya dengan Kabar Politik di Jakarta, Senin (19/7). Berikut wawancara lengkapnya. *

Kabarnya Presiden mulai kendor dalam menghadapi ancaman Yusril untuk membongkar kasus besar. Bahkan kabarnya Yusril akhirnya akan diloloskan. Apa benar demikian?
Tidak ada pembedaan yang dilakukan oleh Presiden secara hukum terkait kasus apapun. Begitu juga dengan kasus Sisiminbakum, orang nyolong ayam atau korupsi di bidang lainnya. Siapapun di mata hukum itu sama. Artinya, jika hukum itu ditegakkan dengan benar, dengan sendirinya bisa terkena akibat kasus yang dialaminya. Misalnya, ketika saya diminta bicara disebuah Universitas di Bandung, saat itu dalam sebuah forum itu ada Teten Masduki dan lainnya, saya ditanya mahasiswa kenapa Presiden membiarkan seseorang yang terbukti bersalah dan dilepaskan oleh hakim. Terkait itu, kenapa semuanya itu dikaitkan Presiden. Jika semua bisa ditentukan Presiden berarti presiden itu ‘goblok’. Artinya, presiden bisa saja melakukan korupsi dong.

Jadi, Presiden tidak akan intervensi dalam kasus Yusril?
Hukum harus ditegakkan dengan sebenarnya oleh siapapun. Kasus Sisminbakum ini kebetulan yang terkena itu adalah seorang Yusril yang pernah menjabat menteri. Artinya, Yusril sendiri sebenarnya mengetahui tentang wilayah hukum itu. Jikalau memang dia tidak bersalah harus dijelaskan di pengadilan. Jika fakta menunjukkan tidak ada keterlibatan, bisa saja Yusril bebas. Sebab, mana mungkin Kejaksaan Agung dalam memutuskan sesuatu tanpa dasar hukum yang jelas. Dan yang pasti ini bukan karena seorang Yusril, karena banyak pejabat-pejabat lain yang juga terkena kasus seperti ini.

Belakangan ada kesan bahwa kasus ini mulai dipolitisir. Menurut Anda?
Sangat tidak setuju dan tidak baik kalau kasus itu diarahkan ke politik. Jika seorang Yusril bilang punya bukti akan kasus lain, itu malah bukan politis, tapi lebih kepada menegakkan hukum. Sama seperti masyarakat lainnya jika ingin melaporkan adanya korupsi ke KPK itu harus sesuai dengan fakta dan data. Artinya, tidak ada fitnah di sana.

Tapi Yusril mengaku punya kartu truf untuk membongkar kasus-kasus besar kalau dia ditekan terus?
Kartu truf apa, mana ada. Tetapi itu terserah saja. Kalau karutnya domino mana ada kartu trufnya. Tetapi silahkan saja dikeluarkan jika memang benar Yusril punya kartu truf. Kalau memang ada berarti membantu negara menegakkan hukum. Malah itu hebat. Yang penting jangan fitnah saja, tetapi benar-benar kartu truf.

Apa harapan Istana dalam kasus ini?
Semua diharapkan tidak boleh mundur. Seperti ketika ada anggapan kalau Presiden itu menjual muka saat bertemu dengan Tama (aktivis ICW korban penganiayaan). Tetapi, disana kan ada message yang jelas disampaikan Presiden SBY, bahwa kalau korupsi itu harus diungkap. Dan siapa saja yang mengungkapnya itu harus berani dan jangan takut.

Pertarungan Trah Cendana vs Tanoesoedibjo

Pada era Orde Baru, tak pernah terbayangkan orang sekaliber Hary Tanoesoedibjo berani 'melawan' anggota keluarga Cendana. Jangankan melawan, memperlakukan tak sopan saja tidak mungkin berani.

Naskah: Rovy Giovanie
Kala itu semua anggota keluarga Cendana memiliki ‘kesaktian’ luar biasa. Tidak hanya dihormati, tetapi segala keinginannya pasti akan bisa terpenuhi dengan mudah.
Sementara Hary Tanoe yang keberhasilannya sebagai pengusaha terjadi pasca-Soeharto, tidak melihat Tutut sebagai sosok yang harus terus menerus dihormati. Apalagi trah Tanoesoedibjo kini masuk dalam jajaran papan atas. Meskipun tergolong orang kaya baru (OKB), namun kelasnya sudah sejajar dengan keluarga Cendana yang sedang terpuruk.
Sekarang, dalam menghadapi sengketa kepemilikan TPI, kedua pihak menempuh jalur hukum. Artinya mereka ingin dilihat sebagai warga negara yang taat hukum.Tetapi kalau ditanya apa yang ada di lubuk hati mereka berdua yang paling dalam, selain jalur hukum dua-duanya sebetulnya sudah siap menempuh jalur apa saja.
Sebetulnya jalan damai, penyelesaian secara kekelurgaan, kata orang bijak, merupakan resep yang paling patut. Tetapi yang menjadi pertanyaan, siapa yang bisa mengajak Tutut dan Hary Tanoe untuk berdamai?
Juru damai yang dipilih Tutut belum tentu diterima Hary Tanoe. Begitu sebaliknya. Soalnya Tutut dan Hary Tanoe sama-sama punya banyak teman dan banyak musuh. Sulit membedakan siapa kawan ataupun musuh sejati mereka. Ini jelas nampak dari orang-orang penting yang mengitari keduanya. Meski keduanya sudah membuat garis demarkasi, tapi sejatinya demarkasi itu tidak ada, tidak eksis. Soalnya satu sama lain saling terkait, pernah terkait dalam ikatan kepentingan. Di kubu Hary Tanoe, ada Letjen (Purn) Suwisma, yang ketika ayah Tutut menjabat Presiden, putera asal Bali ini sempat menjadi seorang Pangdam. Ia pun sempat disebut-sebut memiliki kedekatan dengan keluarga Cendana.
Di kubu Tutut juga ada mantan Kepala BAIS, Letjen (Purn) Syamsir Siregar. Bagaimana mungkin memisahkan Siregar dan Suwisma –dua jenderal yang sama-sama berasal dari satu korps TNI (Angkatan Darat).
Hal yang tidak disadari Tutut dan Hary Tanoe dalam sengketa kepemilikan TPI ini adalah siapapun yang akan menjadi pemilik sah, akan tetap menghadapi kesulitan membuat TPI sebagai stasiun unggulan. Kenapa? Karena media merupakan bisnis sensitif.
TPI yang seharusnya memberi ‘pendidikan’ kepada audiensnya pada akhirnya berdusta pada dirinya. Komunitas bisnis, pemasang iklan khususnya akan berpikir seribu kali untuk menjadikan TPI sebagai medium pilihan promosinya. Jika sudah begitu, target menjadikan TPI sebagai ‘ATM’ tidak akan tercapai. Akhirnya dalam sisi bisnis, yang kalah dan menang dalam sengketa ini sama-sama tidak bisa memetik keuntungan.
Lantas mengapa pertarungan keduanya begitu menghebohkan? Bahkan menyeret sejumlah nama pejabat dan tokoh penting? Bahkan kakak kandung Hary, Hartono Tanoesoedibjo, sudah berstatus tersangka, dan siap-siap menghuni sel berterali besi.
Konon pertarungan dua trah keluarga berpengaruh ini terjadi lantaran dendam keluarga Cendana. Sejak jatuhnya Soeharto, bisnis keluarga Cendana memang terpuruk. Konglomerasi bisnis yang semula dibangun putra-putri Cendana, satu per satu lepas. Termasuk diantaranya PT Bimantara Citra milik Bambang Trihatmojo, yang kala itu terbilang paling bersinar diantara perusahaan milik Cendana. Pun demikian dengan lima stasiun televisi swasta yang kala itu dibangun untuk membentengi kepentingan Cendana, juga lepas satu per satu. Padahal kala itu melalui Media Nusantara Citra dari Bimantara Citra Tbk., Cendana berniat memperkukuh cengkeramannya di dunia media.
Bimantara sendiri didirikan di Jakarta pada 1981 dengan motor trio Bambang Triatmodjo, beserta dua rekan sekolahnya, Rosano Barack dan M. Tachril Sapi'ie. Namun seiring lengsernya Soeharto, pelahan kepemilikan saham Bambang Tri tergerus. Sampai tahun 2001, Bambang Tri masih jadi pemegang saham mayoritas dengan 31,49 persen. Dia masuk lewat PT Asriland. Namun, pada tahun 2002, Hary Tanoe masuk dan langsung menggerus saham milik Bambang Tri. Bos MNC ini langsung kuasai 24,94 persen lewat Bhakti Investama. Saham Asriland susut tinggal 12,37 persen.
Harry memang dikenal piawai main saham. Harga saham Bimantara di lantai bursa pun terus bergairah merangkak naik sejak saat itu. Tahun-tahun berikutnya ditandai pasang-surut. Asriland sempat menambah pundit-pundi sahamnya jadi 14,20 persen, dan Bhakti Investama bertambah jadi 37,33 persen. Pada 2004, Bhakti Investama jadi 39,60 persen, dan Asriland mengalami antiklimaks. Turun jadi 11,39 persen. Sisanya dimiliki oleh Almington Asset Limited (10,89 persen), Astroria Development Limited (5,59 persen), PT Sinarmas Sekuritas (5,41 persen), PT Rizki Bukit Abadi (4,15 persen), dan PT Matra Teguh Abadi (0,78 persen). Selebihnya dimiliki masyarakat dan koperasi sebesar 22,19 persen.
Menurut rumor, keluarga Cendana tidak legowo dengan Hary Tanoe yang merasa memanfaatkan kelemahannya kala itu. Apalagi ‘keserakahan’ Hary ini dipertontonkan lagi dalam kasus TPI. Hal inilah, menurut sumber Mimbar Politik, yang mengakibatkan Tutut dan saudara-saudaranya bertekad melakukan perlawanan. Kebetulan momentumnya juga tepat, ketika publik sudah melupakan dosa-dosa Soeharto, dan bahkan peran politik keluarga Cendana juga mulai terbuka lagi.
Tapi Hary Tanoe dengan kekuatan uangnya juga tak bisa disepelekan. Dalam kondisi Indonesia yang masih carut marut seperti sekarang, kekuatan uang sangat luar biasa. Buktinya deretan nama-nama kuat kini juga berada di sekitar Hary Tanoe. Sebut saja misalnya Agum Gumelar yang duduk sebagai Honorary Chairman MNC. Dan tentu saja masih banyak nama-nama lain. Mungkin juga termasuk Yusril yang kini ikut terseret-seret namanya gara-gara ‘ulah’ Tutut.
Dengan karakter keluarga Cendana yang cenderung nekad, terbuka lebar peluang berkembangnya konflik ini kemana-mana. Apalagi kalau sudah ditunggangi kepentingan politik, bisa saja pertarungan ini dibelokkan kemana saja, termasuk ke dalam isu SARA. Kebetulan Hary Tanoe memang keturunan Tionghoa, meskipun berpendidikan Barat. Sedangkan semasa berkuasa, rejim Orde Baru dikenal piawai bermain dengan isu SARA.
Tetapi, lagi-lagi, Hari Tanoe tidak sendirian. Bukan hanya karena berada di barisan yang sama dengan Yusril yang dikenal nekad, tetapi juga kabarnya memiliki kedekatan dengan Istana. Dalam politik segalanya bisa saja terjadi kalau sudah menyangkut kepentingan dan kekuasaan.

Politik dan Bisnis Skandal Sisminbakum

Skandal Sisminbakum kian rumit dan tak berujung. Tak hanya kepentingan politik yang bermain, tetapi juga persaingan bisnis dimunculkan. Apa sebenarnya yang terjadi?


Naskah: Rovy Giovanie
Tersangka kasus Sisminbakum, Yusril Ihza Mahendra, mengamini ucapan bos Media Nusantara Citra (MNC), Hary Tanoesoedibjo, bahwa kasus yang tengah menimpanya adalah imbas konflik antara Siti Hardianti Rukmana (Tutut) dengan Hary. "Kalau Hartono Tanoesoedibjo (Sisminbakum) diotak-atik, menteri, dirjen, dan segala macam kena juga," ujar Yusril kepada Mimbar Politik di Jakarta, Kamis (15/7).
Jauh hari sebelumnya, Hary Tanoe lebih dulu mengatakan hal senada. "Semua ini, termasuk soal Sisminbakum, cuma permainan yang tujuannya satu, yaitu merebut TPI," tegas Hary Tanoe di kantornya, Menara Kebon Sirih, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Pernyataan kedua orang itu semakin klop ketika pihak Tutut justru menuding Harry Tanoe lah yang merebut TPI melalui Sisminbakum. Menurut pengacara Tutut, Harry Pontoh, Hary Tanoe ‘mencuri TPI dengan menggunakan fasilitas Sisminbakum. "Notaris kami ketika coba mengakses ke dalam sistem itu selalu tidak bisa," katanya di Jakarta, pekan lalu.
Sabtu (17/7) pekan lalu, Ketua Tim Kajian Kemenkumham untuk kasus TPI, Rizaldi Limpas, kian mengukuhkan kebenaran adanya benang merah skandal Sisminbakum dengan konflik antara keluarga Cendana dengan keluarga Tanoedoedibjo itu. Dari hasil kajian tim selama lima bulan, kata Rizaldi, akhirnya Kemenkumham mendapatkan alat bukti dan saksi yang cukup kuat untuk membatalkan kepemilikan saham TPI yang dikuasai bos MNC, Harry Tanoesudibjo, berdasar penerbitan surat keputusan 8 Juni 2010.
Bukti0bukti itu menunjukkan bahwa hasil rapat yang digelar Hary Tanoe dan didaftarkan melalui Sisminbakum itu menyalahi prosedur. Karena proses registrasi dilakukan bukan oleh pejabat berwenang, yakni pejabat Ditjen Adminitrasi Hukum Umum (AHU), melainkan oleh Yohanes Wowuruntu, Dirut PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD), perusahaan yang mengelola Sisminbakum sejak 2001. Komisarisnya PT SRD adalah kakak tertua Harry Tanoe, Hartono Tanoesoedibjo, yang juga pemilik saham PT Bhakti Investama.
Namun, temuan Kemenkumham ini bukan jaminan tuntasnya skandal Sisminbakum. Yohanes Waworuntu yang merasa dijadikan korban akhirnya membongkar kemana aliran dana Sisminbakum. Katanya, sekitar Rp 420 miliar mengalir ke MNC. Yusril juga disebut pernah menerima aliran dana sekitar US$ 150.000.
Tentu saja semua tertuduh membantah mentah-mentah. “Saya tidak terima sepeser pun. Itu semua rekaysa. Sudah kelewatan. Itu kan urusan dia sama Hartono. Kenapa dia koar-koar ke publik bahwa dia tidak makan uang sepeser pun, tapi kok dipenjara,” kilah Yusril.
Pun demikian dengan Hary Tanoe menganggap pernyataan Yohanes fitnah. "Kami memiliki data-data mengenai aset MNC, buktikan kalau uang Sisminbakum itu mengalir ke perusahaan kami," ujarnya.
Entah pernyataan siapa yang benar, pengadilan akan membuktikannya. Penyelidikan pihak Kejagung sendiri sekarang belum mengarah ke aliran dana. "Sampai hari ini belum, kalau memang ada aliran ke sana (PT MNC) mungkin agar saya perintahkan supaya bisa dibantu oleh PPATK," ujar Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) M Amari, di Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (19/7).
Itu baru soal aliran dana, belum lagi dengan pelanggaran-pelanggaran lainnya. Ini masih diperparah lagi dengan manuver-manuver perlawanan yang dilakukan Yusril. Mantan Menteri Khakiman dan Ham itu menuding Jaksa Agung Hendarman Supandji illegal karena sudah habis masa jabatannya. Kini Yusril telah mengajukan gugatan mengenai hal ini ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sejumlah kartu truf lain konon juga telah dikantongi guru besar hukum tata negara itu yang ujungnya bisa menyeret nama SBY. Lantas kemana kasus ini akan mengarah? Hanya waktu yang akan mebuktikan.

Faried Harianto: Salah Kalau Saya Dikatakan Provokator

Salah satu nama yang disebut Yusril Ihza Mahendra terlibat dalam permainan untuk menjadikan dirinya tersangka kasus Sisminbakum adalah Faried Harianto yang kini menjabat Direktur Penuntutan Kejaksaan Agung. Konon, menurut Yusril, Faried sempat menggebrak meja untuk memaksakan peningkatan statusnya dan Hartono Tanoesoedibjo sebagai tersangka. Bagaimanakah tanggapan Faried atas tuduhan itu? Berikut wawancara Kabar Politik dengan Faried Harianto di ruang kerjanya, lantai empat Gedung Kejagung Jakarta, Rabu(14/7). Berikut petikannya.

Anda dituduh Yusril terlibat konspirasi dalam kasus Sisminbakum. Bagaimana sebenarnya?
Saya dahulu itu kan yang menyidik tahun 2008. Setiap mengolah data menjadi penyelidikan kemudian naik menjadi penyidikan dan terkahir adalah penuntutan. Itu harus melalui tahap yang ketat. Apalagi, ini kasus yang besar. Kami pernah mengundang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan mereka juga mengatakan ini sebagai perkara korupsi. Artinya, penentu ini sebagai perkara korupsi atau tidak bukanlah pendapat pribadi. Ada tim dan gelar perkara di depan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus). Waktu itu pengerjannya selama tiga bulan karena harus digelar secara cepat. Dan sekarang perkara ini sudah disidangkan di Pengadilan Negeri yang terbuka untuk umum, di Mahkamah Agung juga sudah diputus ini sudah perkara korupsi. Nah kalau saya dituduh merekayasa, kalau ini bukan perkara korupsi tapi saya paksakan jadi perkara korupsi, itu tidaklah benar. Karena MA sendiri menilai ini perkara korupsi. Tapi masalah pelakunya siapa itu yang dikembangkan.

Jadi tudingan itu menurut Anda tidak benar?
Saya katakan lagi, perkara itu naik pada tiap tahapan itu ada pengawasan ketat. Jadi tak mungkin ada rekayasa. Karena pada dasarnya saya tak punya untung apakah orang tersebut jadi tersangka atau tidak. Apalagi kalau saya memaksa orang yang bukan tersangka menjadi tersangka, maka itu adalah perbuatan dosa. Ini dosa besar. Jadi, tak mungkin saya melakukan itu.

Kan bisa saja melakukan rekayasa kalau misalnya Anda punya kepentingan?
Tak mungkin juga ada kepentingan. Walaupun misalnya ada kepentingan, bagaimana saya bisa memaksukkan, karena tiap tahap digelar. Kalau tak bisa dikatakan naik, maka pastinya perkara itu tidak naik. Jadi bukan pendapat pribadi, tapi pendapat tim dan yang ikut seluruhnya.

Sekarang kasus Sisminbakum sudah melebar kemana-mana. Apa sebenarnya di balik kasus ini?
Saya hanya menjalankan tugas sebagai jaksa. Salah satu tugasnya adalah memberantas korupsi. Dulu, saya menjabat sebagai Ketua Tim Kasus Tindak Pidana Korupsi. Jadi kalau ada indikasi korupsi, maka kami akan mengolahnya dengan litdik dengan tahapan ketat dan pendapat bersama. Kalau pribadi saya bilang korupsi sementara floor bilang tidak, maka itu tak bisa menjadi perkara korupsi.

Jadi, Anda tidak berwenang dalam kasus ini, termasuk penetapan status tersangka terhadap Harianto Tanoesoedibjo?
Saya tak ikut-ikut, sebab bukan domain saya menentukan siapa yang menjadi tersangka. Tugas saya dulu memang melakukan penyelidikan, kemudian pindah ke NTB dan kembali ke Kejaksaan Agung sebagai Direktur Penuntutan saat ini. Jadi, tentang itu bukan domain saya lagi.

Bisa Anda ceritakan sedikit bagaimana hasil penyelidikan yang Anda lakukan dulu?
Ini sebenarnya bukan wewenang saya lagi. Tapi singkatnya, ada swasta menggunakan sarana negara untuk mengambil uang, tapi untuk kepentingan swasta tersebut. Ini tidaklah boleh. Sebab, di dalam UUD ’45 pasal 23 ayat 5 disebutkan, bahwa segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat seperti pajak dan lain-lainya harus ditetapkan undang-undang, yaitu dengan persetujuan DPR. Oleh karena itu, penguatan yang membebani masyarakat yang menempatkan beban kepada masyarakat juga harus didasarkan pada undang-undang. Nah ini kan bukan undang-undang. Dia mengambil uang dari rakyat terus menggunakan fasilitas negara, termasuk regulasi, namun uangnya diambil swasta. Jelas ini melanggar.

Ketentuan apa lagi yang dilanggar dalam kasus ini?
Ada pula berdasarkan Keppres No.8 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Instansi Pemerintah, dalam pasal 3 ayat 5 berbunyi, bahwa pengadaan barang dan jasa dilakukan di instansi pemerintah wajib dilaksanakan dengan prinsip tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak tertentu dengan cara atau alasan apapun. Nah yang terjadi itu adalah menguntungkan pihak tertentu.
Lalu, dalam pasal 7 ayat 4 berbunyi, bahwa kepala kantor satuan kerja atau pejabat yang disamakan atau yang dituju dilarang mengadakan ikatan apabila belum ada anggaran. Nah kalau alasannya tidak ada anggaran, maka tak bisa ada ikatan.
Ada pula Keppres No.7 tahun 1998. Dikatakan, bahwa kerjasama pemerintah dan badan usaha swasta dalam pembangunan atau pengelolaan infrastruktur dilakukan secara limitatif dalam bidang apa saja yang boleh dilakukan dikerjasamakan dengan badan usaha swasta. Nah sisminbakum ini tidak termasuk. Lebih lanjut dikatakandalam Keppres tersebut, bahwa kerjasama yang dilakukan dengan badan usaha swasta harus diajukan terlebih dahulu kepada Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional atau Ketua Bappenas. Tapi yang terjadi dalam kasus ini tak meminta izin. Jadi, sudah banyak kesalahan seperti adanya pembagian uang.

Jadi Anda sangat yakin bahwa pelanggarannya sangat kuat?
Secara prinsip, MA sudah menyatakan ini sebagai perkara korupsi. Sudah menjadi keputusan tetap atau sudah inkraag. Jadi kalau mempertanyakan lagi ini kasus korupsi atau bukan, saya kira itu tak relevan lagi.

Lantas adakah kemungkinan politisasi dalam kasus ini?
Saya tidak tahu karena saya sekarang sebagai Direktur Penuntutan. Tapi sewaktu dulu sebagai Ketua Tim Penyidik, karena saya ingin menjadi jaksa yang baik dan memberantas korupsi. Tetapi tentunya dalam perjalanan, ini ada tantangan. Tapi saya tak mau mundur. Yang penting, itu berdasarkan data.

Anda tidak takut apabila nanti ada upaya balas dendam?
Ini kan risiko. Dan kalau ini masih resiko kecil dibandingkan tentara yang berperang. Saya tetap yakin selama bekerja di jalur yang benar dan tak berniat jahat, maka Tuhan akan melindungi saya.

Kabarnya Komisi III akan memanggil Anda?
Saya dengar begitu. Saya akan datang menjelaskan apa pun yang diminta dijelaskan. Sebagai wakil rakyat yang berfungsi mengawasi lembaga-lembaga penegak hukum, itu merupakan hal baik. Kalau tak ada yang mengawasi, maka bisa jadi masalah. Menurut saya, itu tak ada masalah.

Apa itu karena Anda dituduh terlibat dalam menetapkan Yusril sebagai tersangka?
Memang ada anggapan Yusril sebagai tersangka karena saya. Padahal itu tak ada urusannya dengan tugas saya saat ini. Tak ada untungnya buat saya. Ada yang bilang waktu saya pindah kasus ini adem ayem, tapi waktu saya kembali ke Kejagung ini jadi heboh lagi. Itu salah. Tak ada urusan dengan saya, karena kebetulan saja saya kembali ke Kejagung. Kepindahan itu karena atasan yang meminta. Kebetulan pula Yohanes Waworuntu yang saya dengar sudah kemana-mana. Dan, keputusan MA baru saja diputus sehingga bertepatan. Padahal tak ada kaitan dengan saya. Bagaimana mungkin saya bisa menyetir semua orang. Tak mungkin saya bisa menyetir Jampidsus atau Direktur Penyidikan yang posisinya sama dengan saya. Persepsi yang salah kalau dikatakan saya sebagai provokator.

Friday, July 16, 2010

Konflik Partai Demokrat Tunggu Pemantik

Meski baru diresmikan, kepengurusan baru Partai Demokrat menyimpan potensi konflik cukup besar. Kubu sakit hati kabarnya telah berancang-ancang melancarkan serangan.

Di sebuah kafe di bilangan Kemang, Jakarta Selatan, Sabtu (3/7), sejumlah politisi Partai Demokrat asyik bercengkerama. Di tengah lantunan sentimental senandung instrumen Kenny G bertajuk Song Bird, terdengar teriakan keras salah seorang diantaranya. “Kita sudah bertahun-tahun mengabdi, ternyata dikalahkan oleh orang yang sama sekali tak berkeringat. Ini tidak bisa dibiarkan,” teriak sang politisi itu berapi-api.
Mereka nampaknya tengah membicarakan susunan pengurus baru Partai Demokrat yang segera menjalani pelantikan. Meski semuanya nampak kecewa, namun reaksinya beraneka ragam. Ada yang emosional, ada juga yang menanggapinya dengan kepala dingin.
Sejatinya acara nongkrong di kafe itu semata-mata untuk melepas penat. Tetapi mungkin karena senasib sepenanggungan, perbincangan akhirnya mengarah ke soal susunan pengurus partainya. Kebetulan susunan pengurus yang sudah diumumkan Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Anas Urbaningrum (AU), 17 Juni 2010 lalu memang segera menjalani pelantikan.
Dari penelusuran Kabar Politik, tingkat kekecewaan sejumlah tokoh Partai Demokrat terhadap susunan pengurus baru memang cukup mendalam. Kekecewaan ini terutama datang dari kubu yang kalah dalam Kongres Partai Demokrat di Bandung, 21-23 Mei 2010 lalu. Mereka adalah kubu Marzuki Alie (MA) dan kubu Andi Mallarangeng (AM). Di luar itu masih ada kubu lainnya, yakni kelompok mereka yang merasa dekat dengan keluarga Cikeas, diantaranya Andi Arief. Belum lagi dengan kubu keluarga Cikeas sendiri yang merasa lebih berhak atas partai yang didirikan SBY itu.
“Memang cukup banyak orang (kader) yang kecewa. Tetapi saya tetap positif thinking saja dan siap mendukung kepengurusan. Bagi kami, yang merasa kecewa tidak harus melakukan perlawanan,” ujar mantan Tim Sukses MA, Achsanul Qosasih kepada Kabar Politik di Jakarta, Senin (5/7).
Pantas kalau Achsanul kecewa berat. Menjelang penyusunan pengurus, beberapa waktu lalu, namanya masuk dalam usulan kubu MA yang diajukan ke Anas, yakni sebagai calon Sekjen. Namun kenyataannya sangat jauh dari harapan. Dalam struktur baru, orang kepercayaan Ketua DPR RI ini hanya menjadi Sekretaris Departemen Perbankan.
Kekecewaan lebih berat sudah pasti dirasakan Marzuki Alie. Sebagai pemenang kedua –dengan perbedaan suara tipis—dalam kongres yang lalu, kubu mantan Sekjen DPP Partai Demokrat ini sepantasnya mendapat porsi jabatan terbesar kedua setelah kubu Anas Urbaningrum. Tetapi realitasnya, kubu Marzuki justru mendapat jatah paling sedikit dan posisi-posisi yang kurang strategis. Hanya Max Sopacua yang menduduki jabatan Wakil Ketua Umum.
Sementara kubu Andi Mallarangeng (AM) yang perolehan suaranya jauh dibawah Maezuki justru mendapat jatah lebih banyak. Diantaranya Sekjen Edhie Baskoro Yudhoyono dan Wakil Sekjen IV Ramadhan Pohan.
Barangkali karena alasan ini, Marzuki yang selama ini dikenal lembut tiba-tiba ‘menyerang’ secara terbuka kebijakan Anas mengangkat Andi Nurpati sebagai pengurus Partai Demokrat. "Saya tidak mengerti, atas pertimbangan apa DPP Demokrat merekrut Andi Nurpati sebagai pengurus DPP PD periode 2010-2015. Sepertinya, pengurus PD tidak taat aturan dan UU. Saya tidak tahu alasannya, saya tidak mengerti pertimbangannya apa," sentil Marzuki.
Konon, Marzuki kecewa berat dengan susunan pengurus baru DPP. Meski dirinya sendiri mendapat posisi strategis sebagai Wakil Ketua Majelis Tinggi, namun orang-orang kepercayaannya banyak yang mendapat tempat. Marzuki kabarnya sampai pusing menghadapi keluhan para mantan Tim Suksesnya. Apalagi sebagian diantaranya ada yang sempat emosional dan mengancam melakukan serangan ke arah kubu Anas. Untungnya Marzuki berhasil meredam.
Meski demikian, tidak ada jaminan para kelompok sakit hati ini akan tinggal diam selamanya. Bisa saja mereka masih menunggu waktu untuk melakukan perlawanan. Apalagi pelantikan pengurus juga baru dilaksanakan.
Sikap seperti ini nampaknya akan dilakukan kubu Andi Arief. Menurut sumber Mimbar Politik, Staf Khusus Presiden bidang Bencana Alam ini tidak hanya sakit hati dengan Anas, tetapi juga merasa dilecehkan. Pasalnya, tak seorang pun yang diusulkan masuk dalam jajaran pengurus ternyata tidak muncul saat pengumuman yang lalu. “Yang paling menyakitkan bagi Andi adalah tidak masuknya orang dekat Andi yang sebenarnya berjasa besar terhadap eksistensi Anas di Partai Demokrat,” jelas sumber tadi.
Orang yang dimaksudkan sang sumber adalah putra pengusaha kaya asal Lampung yang dulunya menjembatani Anas dengan Andi Arief untuk bisa masuk dalam kepengurusan Partai Demokrat. “Waktu itu Anas baru keluar dari KPU dan minta tolong agar bisa menjadi pengurus Partai Demokrat. Dia lah yang membantu melalui Andi Arief yang kebetulan punya akses baik dengan SBY,” ujarnya.
Yang lebih menyakitkan bagi Andi, kata sumber tadi, Anas semula berjanji memenuhi permintaan tolong itu dalam pertemuan di sebuah tempat di Jakarta ketika penyusunan pengurus sedang berlangsung. “Jadi dalam pandangan Andi, Anas itu orang yang tidak tahu terimakasih, lupa akan jasa-jasa orang lain. Ini tidak bisa dibiarkan, bisa membahayakan Partai Demokrat,” tandasnya.
Kabarnya Andi kini sudah ancang-ancang melancarkan serangan terhadap orang-orang Anas di DPP Partai Demokrat. Salah satunya yang akan dijadikan target adalah Bendahara Umum, M Nazaruddin. Tokoh penggalang dana Tim Suksapes Anas Urbanungrum itu disebutnya tersangkut sejumlah kasus korupsi di Depertemen Kesehatan. “Kalau Andi kumat gilanya dia kan ngumpulin data. Jadi bukan asal ngomong,” ujar sumber tadi.
Entah benar atau tidak, sumber tadi malah menyebut bahwa Nazaruddin sendiri sudah ketar-ketir dengan ancaman ini. Apalagi kabar ‘cacatnya’ Nazaruddin telah menyebar lewat SMS di kalangan tertentu. Bahkan resistensi semacam ini lah yang menyebabkan tertunda-tundanya pelantikan pengurus.
Namun tuduhan ini dibantah tegas kubu Anas. Menurut mantan Juru Bicara Tim Sukses Anas Urbaningrum, Saan Mustofa, semua pernyataan sumber itu tidak benar. “Tidak ada kubu-kubuan di Demokrat. Yang ada hanya Partai Demokrat saja,” tegasnya kepada Kabar Politik di Jakarta, Rabu (7/7).
Dan kalaupun kabar sakit hatinya Andi terhadap Ana situ benar, menurut Saan, dirinya tidak tahu apa penyebabnya. Sepengetahuannya, hubungan kedua mantan tokoh aktivis ini baik-baik saja. “Meski saya tidak mengetahui dengan jelas hubungan keduanya, namun keduanya berkawan dengan baik. Tidak ada persoalan yang mendasari sehingga ada kesan Anas meninggalkan Andi Arief dan akhirnya timbul dendam pribadi seperti yang dikabarkan,” ucapnya.
Mubarok juga membantah adanya hutang budi Anas terhadap Andi. Menurut mantan Ketua Tim Sukses Anas ini, bergabungnya mantan Ketua Umum PBHMI itu ke Demokrat justru atas permintaan SBY yang kala itu meminta dicarikan kader-kader muda potensial untuk kelanjutan kaderisasi di Partai Demokrat yang waktu itu masih miskin kader. “Omongan itu sama sekali tidak benar,” tegasnya kepada Mimbar Politik.
Apapun bantahan Saan dan Mubarok, yang jelas konflik terbuka sempat terjadi antara kubu Anas dengan Andi Arief menjelang pelaksanaan kongres di Bandung yang lalu. Saat itu Andi yang mendukung Andi Mallarangeng mewacanakan soal bahaya HMI Connection bila Anas terpilih sebagai ketua umum. Tak hanya itu. Melalui organisasinya, Jaringan Nusantara, juga bergerilya menggembosi suara Anas di daerah-daerah. Bahkan ketika Andi Mallarangeng kalah dalam putaran pertama pemilihan ketua umum, Andi disebut-sebut sebagai pihak yang mengarahkan suara dukungan AM ke Marzuki Alie.
Inilah yang menimbulkan kebencian kubu pendukung Anas, terutama dari HMI Connection, terhadap Andi. Bahkan orang-orang Anas di markas Tim Sukses AU kala itu menyebut permusuhan Andi dengan Anas sebagai permusuhan lama yang tak mungkin dipersatukan.
Kiranya alasan inilah yang membuat kubu Anas enggan mengakomodasi orang-orang titipan Andi dalam kepengurusan DPP. Apalagi masih banyak titipan dari kubu lain yang juga tidak bisa mendapat tempat di DPP. “Kalau ada yang kecewa itu wajar, karena tidak mungkin bisa menyenangkan semua orang. Tetapi tidak sampai menjadi faksi-faksi seperti partai lain. Saya yakin Demokrat akan tetap solid,” ujar Mubarok.
Namun, rasanya Mubarok juga tak bisa memungkiri bahwa potensi ancaman perpecahan itu terbuka lebar. Apalagi sejumlah pengurus DPP juga tengah terlibat kasus. Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Jhony Allen Marbun tengah tersangkut kasus dana stimulus pembangunan dermada dan bandara di kawasan Indonesia Timur yang kini tengah menjalani pemeriksaan di KPK. Sedangkan Ketua Departemen Komunikasi dan Politik Andi Nurpati tengah menjadi sorotan public karena posisinya sebagai anggota KPU. Meskipun dia sudah mundur, namun potensi untuk dipermasalahkan cukup besar.
Kedua kasus ini bisa saja dimanfaatkan para lawan politik Anas. Sumber di lingkaran Cikeas malah menyebut kemungkinan besar SBY akan mengorbankan Jhony Allen Marbun. Selain karena kasusnya yang sudah semakin mengarah ke keterlibatannya, juga bertendensi mengurangi orang-orang Anas di posisi strategis kepengurusan DPP. “Sekarang SBY saja sudah tidak mau menyapa (Jhony Allen),” ujarnya.
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Ibrahim Fahmi Badoh, memperkirakan kepengurusan Anas akan terganggu oleh kasus Jhony Allen bila tetap dipertahankan di jajaran pengurus. Pakar politik UI, Wawan Ichwanuddin, malah memperkirakan perseteruan antar faksi itu akan semakin tajam setelah lengsernya SBY nanti. “Selama SBY masih ada, konflik itu masih diredam, karena pengaruh SBY sebagai pendiri partai sangat besar,” ujar Wawan kepada Mimbar Politik di Jakarta, pekan lalu.
Meski demikian, kiranya Anas harus bersiap-siap menghadapi goyangan dari geng sakit hati yang nekad. Bila tidak, maka bisa jadi waktunya hanya habis untuk menghadapi ancaman-ancaman internal partai dan lingkaran SBY.

Pertarungan Jelang Lengsernya Presiden

Faksionalisasi di tubuh Partai Demokrat sebenarnya sudah terjadi sejak kongres pertama 2005 silam. Tetapi pertarungan pasca kongres 2010 lalu diperkirakan jauh lebih tajam. Mengapa?

Naskah: Rovy Giovanie
Kantor DPP Partai Demokrat di bilangan Jl Pemuda, Jakarta Timur, belakangan nampak selalu ramai. Hampir setiap hari para elit parpol yang belum lama ini mengumumkan susunan pengurus baru hasil kongres di Bandung, 21-23 Mei 2010, itu menggelar rapat.
Entah rapat apa yang mereka bahas. Para petinggi partai bintang mercy yang dijumpai di kantor itu kompak tutup mulut. Kalaupun ada yang mau bicara, selalu dialihkan ke masalah lain yang tidak esensial.
Padahal rapat estafet yang dipimpin langsung oleh ketua umum, Anas Urbaningrum (AU), itu kabarnya berkaitan erat dengan resistensi susunan pengurus baru yang telah diumumkan 17 Juni 2010 lalu. Ironisnya, karena resistensi itu pula Ketua Dewan Pembina, SBY, mengulur-ulur waktu pelantikan.
Menurut sumber Mimbar Politik, tingkat resistensi terhadap ‘Kabinet Anas’ memang sangat tinggi, tidak hanya di mata publik, tetapi juga di internal Demokrat sendiri. Bahkan ada sebagian kelompok sakit hati yang mengancam melakukan aksi perlawanan.
Jadi, kalaupun kemudian para pengurus yang dilantik tidak mengalami perubahan, itu sama sekali bukan berarti semua faksi mau menerima. “Ini dilakukan hanya untuk menjaga nama SBY. Karena bagaimanapun nama-nama itu sudah terlanjur diumumkan, sedangkan SBY sebagai Ketua Dewan Pembina sudah menyetujuinya,” ujar sumber tadi di Jakarta, Selasa (6/7).
Toh soal penggantian mereka yang dianggap bermasalah itu bisa dilakukan belakangan, ketika perhatian publik tak lagi mengarah ke Demokrat. Tetapi bila langkah ini dilakukan, maka sama dengan membuka peluang membesarnya konflik internal. Pasalnya persaingan antar faksi pasca kongres kedua kali ini jauh lebih terbuka ketimbang periode sebelumnya.
Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Survey Indonesia (LSI), Burhanuddin Muhtadi, kongres II di Bandung jauh lebih kuat karena Demokrat telah menjelma menjadi partai pemenang Pemilu. Selain itu SBY sudah tidak bisa mencalonkan lagi menjadi presiden untuk yang ketiga kalinya. “Jadi betul-betul memiliki kedigdayaan politik yang jauh lebih kuat ketimbang hasil kongres pertama,” jelasnya kepada Mimbar Politik, Rabu (7/7).
Akibatnya pertarungan kandidat di kongres II jauh lebih keras ketimbang kongres sebelumnya. Pada saat yang sama, sebagai partai besar, Demokrat mulai membuka pintu buat lahirnya generasi kedua, yakni mereka yang tidak ikut dari awal proses berdirinya partai. “Jadi potensi konfliknya jauh lebih terbuka,” jelasnya.
Faksionalisasi yang akan terjadi juga kemungkinan besar tak hanya melibatkan tiga kubu yang bersaing dalam kongres di Bandung, yakni kubu Anas Urbaningrum (AU), Marzuki Alie (MA) dan Andi Mallarangeng (AM). Faksi-faksi kecil yang semula bergabung dengan ketiga faksi itu diperkirakan bakal kembali berjalan sendiri-sendiri.
Tak terkecuali dengan keluarga Ciekas. Bila semula berada di belakang Andi Mallarangeng, maka pasca kongres kali ini akan bermai sendiri. Sementara keluarga Cikeas sendiri juga tidak satu. Ada kubu yang berasal dari keluarga inti SBY, kubu non keluarga tetapi memiliki kedekatan secara emosional dengan SBY, dan kubu keluarga Cikeas yang tersisih dari keluarga inti sang presiden.
Meski demikian, pakar politik Universitas Indonesia, Wawan Ichwanuddin, meyakini konflik ini tidak akan mengarah pada perpecahan selama SBY masih berkuasa. “Faktor SBY masih menjadi pemersatu,” tegasnya.
Itulah sebabnya faksionalisasi yang terjadi saat ini lebih tepat dikatakan sebagai persiapan menghadapi persaingan terbuka menyusul lengsernya SBY nanti. Meski tak sampai menimbulkan perpecahan, tetapi bukan berarti faksi-faksi yang ada akan cenderung diam seperti periode lalu. Apalagi kepemimpinan Anas Urbaningrum kali ini berusaha mewujudkan cita-cita menjadi partai modern, yang benar-benar mampu eksis tanpa harus menggantungkan diri pada sosok SBY. “Ini tantangan yang harus diwujudkan oleh Anas,” ujar Burhanuddin.
Tentu saja bukan pekerjaan mudah. Masalahnya bukan hanya pada kemampuan untuk menciptakan sistem dan nilai-nilai yang mampu mempersatukan semua unsure partai, tertapi juga harus berhadapan dengan keluarga Cikeas yang belum sepenuhnya legowo melepas Demokrat.
Kesan ketidaklegowoan Cikeas ini nampak nyata sejak menjelang kongres lalu. Meski SBY tidak memberi dukungan secara terbuka, namun istrinya, Ani Yudhoyono, begitu telanjang mencalonkan Andi Mallarangeng. Bahkan putranya, Edhie Baskoro (Ibas), tak sungkan-sungkan menyebut bapaknya juga menginginkan Meneg Pemuda dan Olahraga itu sebagai pemegang tampuk kekuasaan Partai Demokrat. Pun demikian dengan Ani sendiri, mengerahkan para personal Staf Khusus Presiden untuk memback up penuh Andi.
Sebaliknya, terhadap Anas, Ani justru menolaknya terang-terangan. SMS berisi kecaman Ani terhadap para pendukung Anas yang bersurat kepada SBY –untuk menuntut netralitas sikap Ketua Dewan Pembina—sempat beredar di kalangan terbatas. Kejadian ini kabarnya kian menambah kebencian Ani kepada Anas. Mantan ketua umum PB HMI itu dianggap bisa membahayakan kans politik Cikeas.
Pilihan terhadap Andi tentu bukan tanpa alasan. Selain karena Andi memiliki kedekatan emosional dengan keluarga Cikeas, mantan Juru Bicara Kepresidenan ini juga tak memiliki basis massa, sehingga lebih mudah diarahkan. Dalam kampanyenya kalai itu, kubu Andi begitu gencar menolak gagasan Anas yang hendak menyapih Demokrat dari SBY.
Dari situ nampak jelas betapa besar ambisi Cikeas untuk melanjutkan karir politik SBY. Pasalnya selepas SBY turun tahta, tidak ada jaminan keamanan bagi kelanjutan kekuasaan Cikeas. Karena alasan itulah kemudian Ibas ‘dipaksakan’ duduk di kursi Sekjen. Harapannya tentu agar sang Putra Mahkota itu bisa lebih cepat siap menggantikan sang ayah.
Tetapi banyak pengamat menyangsikan kemampuan Ibas mengambil posisi itu. Bahkan Ani Yudhono –yang selama ini digadang-gadang sebagai capres mendatang-- saja gagal menarik dukungan pada saat kongres yang lalu. Realitas politik inilah yang kabarnya mendorong Cikeas mengubah strategi. Konon, SBY sendiri kali ini turun langsung menata barisan Cikeas di Demokrat. Intervensi ini pula yang menyebabkan begitu banyak posisi strategis di DPP ditempati kader setia Cikeas --meskipun sejatinya pengaruh SBY masih sangat dominan di Dewan Pembina dan Majelis Tinggi.
Dalam konteks saat ini, ketika SBY masih menjabat, memang kecil kemungkinannya ada yang berani melakukan perlawanan frontal, tak terkecuali dengan Anas yang seolah tersandera. Tetapi sangat terbuka kemungkinan perlawanan itu akan terjadi secara terbuka setelah SBY lengser dari jabatan nanti. Terlepas dari berhasil atau tidaknya perlawanan itu menggeser dominasi Cikeas, yang jelas Partai Demokrat nantinya akan ramai konflik. Kasus PDIP adalah contoh nyatanya. Aksi perlawanan terhadap Megawati tak ada habisnya dari masa ke massa. Selain selalu berakhir dengan hengkangnya kader-kader potensial, juga mengkerdilkan partai karena selalu disibukkan dengan konflik internal.

Burhanudin Muhtadi: Faksi di Demokrat Sudah Ada Sejak Kongres Pertama

Faksionalisasi di tubuh Partai Demokrat sebenarnya bukan hal baru. Meski para petinggi partai itu selalu membantah, namun faktanya faksi di Demokrat sudah ada sejak kongres pertama partai ini digelar pada 2004. Saat itu sejumlah politisi Demokrat yang merasa kecewa dan sakit hati kemudian memilih keluar. Begitu pun yang terjadi pasca kongres kedua di Bandung, 21-23 Mei 2010 lalu, faksionalisasi juga tak terhindarkan. Bagaimanakah peta faksionalisasi di Partai Demokrat saat ini? Direktur Eksekutif Lembaga Survey Indonesia (LSI), Burhanuddin Muhtadi, memaparkan analisisnya secara tajam dan panjang lebar kepada wartawan Kabar Politik, Alfonsus Takota. Berikut wawancara lengkap yang dilangsungkan di sebuah rumah makan di kawasan Ciputat, Banten, Rabu (7/7).

Kongres Partai Demokrat yang lalu rupanya menyisakan faksionalisasi yang kian terbuka. Bagaimana menurut Anda?
Faksionalisasi di tubuh partai politik sebenarnya sesuatu yang wajar dan lumrah. Faksi-faksi ini biasanya didasarkan patronase politik dan siapa yang menjadi partron besarnya dan ada gerbong yang mengikuti sang patron. Nah sebelum bicara lebih khusus ke dalam Partai Demokrat, faksi-faksi ini bisa berfungsi positif dalam pengertian dapat menjadi pendinamisir partai. Tetapi faksi juga bisa menjadi potensi negatif. Berpotensi positif jika faksi-faksi ini dapat menciptakan iklim kompetisi yang sehat di internal partai dan ada mekanisme penyelesaian secara terbuka bisa disetujui semua faksi. Jadi kalau dalam istilah teknisnya ada sistemness, atau ada kesisteman di internal partai dimana faksi-faksi tadi berpegang pada rule of the game yang sama atau konstitusi partai atau ADRT partai. Tetapi ketika ADRT atau sistemnes itu belum terbentuk di internal partai, maka sering kali faksi-faksi tadi tidak menyelesaikan perbedaan-perbedaan maupun conflict of interest di antara mereka melalui mekanisme yang bisa di share bersama. Tetapi justru malahan mereka sering menggunakan mekanisme lain. Nah jika itu yang terjadi, maka itu bisa negatif.

Lantas bagaimana yang terjadi di Demokrat?
Kecenderungan di Partai Demokrat sistemness itu belum terbentuk. Jadi sistemnes itu persilangan antara internal dan struktural. Sistemness dalam partai politik ada dua mekanisme. Satu mekanisme internal-eksternal, kedua, mekanisme struktural-kultural. Nah persilangan antara mekanisme internal-struktural akan melahirkan systemness. Yaitu seberapa jauh partai memiliki satu konstitusi atau satu plat form atau manifesto atau ADRT yang bisa menjadi pegangan bersama bagi setiap faksi yang berkompetisi di dalam sebuah partai.

Mengapa begitu?
Ini terjadi karena kuatnya simbol SBY. Jadi SBY memiliki satu kesejarahan berbeda. Saya sebut SBY memiliki peran yang sangat sentral di Demokrat. Pertama, dari faktor kesejarahan, Demokrat berdiri waktu itu semata-mata untuk menciptakan kendaraan politik bagi SBY agar terpilih menjadi presiden pada 2004. Kedua, factor electoral, Demokrat ini sangat bergantung pada electoral SBY. Jika electoral SBY naik, maka Democrat akan naik, jika electoral SBY turun maka Demokrat juga akan turun. Bahkan elektabilitas Demokrat hanya sepertiga dari elektabilitas SBY.

Mengenai faksi-faksi tadi bagaimana di Demokrat?
Faksi-faksi dalam Demokrat memang ada. Faksi-faksi itu sebenarnya justru muncul sejak kongres pertama di Bali lima tahun yang lalu.

Kira-kira pemetaannya bagaimana, bisa dijelaskan?
Waktu itu ada banyak calon yang maju untuk menggantikan posisi Pak Subur, Ketua Umum Demokrat pertama, dan pak Subur sendiri sangat berminat untuk menjadi Ketum yang kedua kalinya. Dari calon yang maju waktu itu, misalnya Pak Taufik Effendi, dan beberapa nama lainnya termasuk Pak Surato Siswodihardjo. Surato konon mendapat dukungan SBY, tetapi Pak Subur yang merasa cenderung tidak mendapat dukungan SBY ini masih ingin maju. Subur berpikir dialah yang telah banyak berbuat, sehingga SBY menjadi presiden. Dia akhirnya kecewa. Dan anehnya detik-detik terakhir SBY melepas dukungannya, seperti kasus kongres yang kedua di Bandung. Jadi Pak Surato dibiarkan lepas. Ini disebabkan mertua SBY mendukung Hadi Utomo. Nah, Pak Surato kecewa lagi karena dia merasa sudah mendapat dukungan dari SBY tetapi tiba-tiba dilepas dalam kongres yang pertama itu. Tapi melepaskan segalanya, setidaknya membuktikan telah muncul faksional di internal Demokrat. Itu pertama kali muncul faksi-faksi yang merasa kecewa dengan SBY, dan dipelopori Pak Subur.

Perkembangan selanjutnya bagaimana?
Kemudian generasi awal Demokrat seperti SyS NS yang membentuk Partai NKRI, dia kecewa karena tidak mendapatkan balas budi yang layak. Dia memiliki andil membesarkan Demokrat yang akhirnya membuat SBY menjadi presiden. Dan saat itu pula orang seperti Pak Jasin, mulai melihat, meskipun dia bukan orang Demokrat tapi di sekitar SBY ada poros Demokrat, ada poros militer, poros sipil biasanya para intelektual yang dekat dengan SBY, seperti ama Denny JA yang merasa punya keringat. Poros sipil ini yang secara bersama-sama menggolkan SBY menjadi presiden. Sebagian di tarik untuk mendapatkan kue (menteri) atau jabatan-jabatan struktural di pemerintahan, seperti ketua BPN dsb. Di poros militer juga di tarik juga seperti Pak Sudi dan Muhamad Ma’ruf (Mendagri) yang kemudian mengundurkan diri karena sakit. Ketika Ma’ruf mengundurkan diri, SBY justru mengangkat Mardianto menjadi Mendagri, padahal Mardianto adalah pendukung Megawati, sehingga Pak Yasin yang telah merasa bekerja keras untuk SBY kecewa, lalu mendirikan partai Pakar Pangan. Jadi mulai muncul faksionalisasi yang sejak awal, karena mereka tidak mempunyai akses ke SBY yang ujung-ujung mendapatkan kue kekuasaan dari perjuangan mereka untuk menyukseskan SBY menjadi presiden pada 2004. Pak Subur sendiri tidak sampai keluar dari partai, tetapi setidaknya dia mempunyai gerbong yang merasa senasib dan seperjuangan.

Bagaimana dengan faksi-faksi yang muncul pasca kongres Bandung?
Faksionalisasi pasca kongres Bandung jauh lebih tampil ke permukaan jika dibandingkan dengan yang terjadi pasca kongres Bali. Kongres pertama, Demokrat masih sebatas partai menengah dan hanya mendapatkan 7,4%, hanya sekadar bisa mencalonkan SBY menjadi presiden. Ketua Umum hasil kongres Bali juga tidak sekuat ketua umum partai pada umumnya. Karena masih dibawa bayang-bayang SBY yang masih bisa mencalonkan menjadi presiden di 2009. Tetapi kongres II di Bandung, jauh lebih kuat, karena Demokrat telah menjelma menjadi partai pemenang Pemilu. Kedua, SBY sudah tidak bisa mencalonkan lagi menjadi presiden untuk yang ketiga kalinya. Jadi betul-betul memiliki kedigdayaan politik yang jauh lebih kuat ketimbang hasil kongres pertama. Akibatnya pertarungan kandidat di kongres II jauh lebih keras ketimbang kongres sebelumnya karena posisi politik Demokrat yang jauh lebih tinggi. Pada saat yang sama, sebagai partai besar, Demokrat mulai membuka pintu buat lahirnya generasi kedua, yakni mereka yang tidak ikut dari awal proses berdirinya partai. Orang seperti Anas Urbaningrum, Andi Malarangeng dan Ibas adalah generasi kedua. Sedangkan Marzuki itu generasi pertama.

Jadi nuansa konflik yang terjadi antara Anas, Marzuki dan Andi ini memang karena faksi?
Itu justru akibat dari kongres II. Pengkubuan itu sebenarnya sudah dimulai sejak beberapa bulan sebelum kongres. Jadi makin menguat usaha untuk menjadi orang nomor satu di Demokrat. Tetapi karena Partai Demokrat systemness-nya belum kuat, maka masing-masing calon mencoba mencari restu dari SBY. Dan itu dimungkinkan karena SBY adalah pemegang saham terbesar di Demokrat. Setidaknya kalau dilihat, faksionalisasi berdasarkan siapa calon yang maju menjadi Ketum Demokrat maka memang ada tiga faksi. Tetapi sebenarnya ada faksi lain diluar ketiga faksi itu yang siap bertarung. Karena mereka sadar, karena kemungkinan untuk terpilih kecil karena itu mereka ikut dalam salah satu gerbong ng dari tiga faksi itu. Yakni ke kelompoknya Andi. Menurut saya kubu di Andi ini lebih cair. Karena kubuh Andi ikut mengakomodasi faksi-faksi di luar tiga calon yang maju.
Jadi mereka semuanya mempunyai gerbong panjang. Orang seperti Radityo Gambiro, Ketua DPP periode Pak Hadi Utomo, Agus Hermanto itu kuat sekali, orang-orang Cikeas (keluarganya bu Ani). Tapi mereka ini sebenarnya mempunyai Gerbong sendiri. Namun karena menjelang kongres, SBY memberi dukungan ke Andi, maka mereka merapat ke Andi. Dan ketika Andi kalah, tidak menutup kemungkinan mereka akan menjaga jarak dengan ketiga kubu ini. Kubu Andi sangat cair, karena ikatannya lunak. Ikatan yang membuat mereka lebih memilih Andi karena SBY yang sebelumnya memberi sign dukungan kepada Andi.

Bagaimana dengan kubu Anas?
Setelah hasil kongres menunjukan kemenangan Anas, memang Anas berada pada posisi sulit. Karena dia tidak sendirian memutuskan kepengurusan di DPP. Dia bukan formatur tunggal. Sebagai pemenang kongres, Anas dihadapkan pada pilihan dimana formaturnya ada banyak pihak. Pertama, SBY sendiri sebagai ketua Dewan Pembina, kemudian ada Hadi Utomo sebagai mantan Ketum, ada Ibas sebagai ketua SC (steering committe) kongres Bandung, lima orang peserta kongres sebagai perwakilan dari lima zona wilayah di seluruh Indonesia. Tetapi dari semua orang itu yang menentukan adalah SBY sendiri. Jadi prinsip akomodasi dari faksi-faksi yang bertarung dalam kongres menjadi prioritas utama dalam penyusunan kepengurusan. Sementara prinsip representasi dan meritokrasi politik yang menekankan pada kemampuan, prinsip the right men on the right place justru menjadi prioritas kesekian setelah akomodasi tadi.
Jadi kalau kita lihat dari kepengurusan Anas sekarang, ya praktis dominasi akomodasi kubu-kubuan jadi lebih kental. Kalau kita lihat nama Andi Nurpati, Ulil Absar Abdalla, Ramadhan Pohan, Rachlan Nasidik, itu jelas kubu dari Andi Malarangen. Dari kubu Anas sendiri ada, Angelina Sondakh, Adji Masaid, Jhony Allen Marbun. Sementara di kubu Marzuki Ali ada, Max Sopacua, Sofatilla. Disini terlihat sekali prinsip akomodasi sangat kuat. Dalam penyusunan kepengurusan ini secara sekilas sangat menunjukan kebesaran hati Anas untuk mengakomodasi faksi-faksi yang ada di Demokrat. Tapi bukan berarti setelah itu, faksi-faksi ini selesai. Tidak. Faksi-faksi itu masih ada dan belum selesai.

Dari pengalaman di partai lain, faksi bisa menimbulkan perpecahan?
Bagi saya, sejauh masih ada SBY, saya pikir itu tidak akan terjadi. Karena faktor SBY sebagai pemersatu tadi. Memang pasca kongres ada pihak-pihak yang sakit hati. Tapi itu wajar saja. Tetapi tidak akan menjurus pada perpecahan partai yang serius.

Kabarnya tertunda-tundanya waktu pelantikan pengurus baru Demokrat karena konflik antar faksi itu?
Saya tidak tau persis. Anas yang lebih tahu hal itu. Tapi ada banyak pertanyaan di benak publik, mengapa Demokrat terlalu lama launching kepengurusan. Dan terus terang ini agak mengurangi kepercayaan publik. Tidak ada partai yang kepengurusannya ditunggu-tunggu publik kecuali Demokrat. Itu terkait dengan ekspektasi yang begitu besar dari public kepada Anas sebagai ketua umum termuda. Dari kepengurusan yang telah ditunjuk beberapa waktu lalu sebenarnya ekspektasi publik itu sudah mulai berkurang. Karena kepengurusan yang ada sekarang telah banyak menimbulkan beberapa pertanyaan. Pertama dari sisi timing agak lama, kedua dari beberapa nama yang menurut saya termasuk orang yang kurang layak untuk ditampilkan di posisi puncak kepengurusan. Jonny Allen Marbun misalnya sedang tersandung kasus korupsi, Andi Nurpati, Jufry mantan Wali Kota Bukitinggi adalah tersangka kasus korupsi. Disisi lain Anas juga mengambil kepengurusan dari luar partai. Ini memang ada baiknya karena soal kualitas, tetapi sarat konflik internal. Karena kader partai yang merasa layak akan kecewa.

Bagiamana dengan pengaruh HMI Connection dalam kepengurusan Anas?
Saya pikir hal yang wajar jika Anas dekat dengan HMI. Apalagi dia dibesarkan dari sana. Anas juga dekat dengan tokoh-tokoh dari organisasi atau aktivis lain. Orang-orang dibelakang Anas beragam. Misalnya disana ada Beny K Harman, Ruhut Sitompul dan sebagainya. Yang dekat dengan HMI tidak hanya Anas, tetapi Andi Mallarangeng juga mantan HMI. Saya pikir itu tidak ada masalah.



Wawan Ichwanuddin: Peta Faksi di Demokrat Sangat Dinamis

Faksionalisasi dalam sebuah partai politik sulit untuk dihindarkan. Meski para elit Partai Demokrat selalu membantah adanya faksi, namun kenyataannya persaingan antar kubu cukup kuat. Hanya saja, menurut pakar politik LIPI, Wawan Ichwanuddin, faksi-faksi di Demokrat tidak separah di partai lain. Berikut pandangan staf pengajar FISIP Universitas Indonesia ini ketika diwawancarai Mimbar Politik di kantor LIPI Jakarta, Jumat (2/7).

Pasca kongres di Bandung, faksionalisasi di Demokrat nampaknya makin besar. Bagaimana menurut Anda?
Kalau dari saya yang paling penting adalah melihat konteks faksionalisasi di dalam Demokrtat itu agak berbeda dengan partai lain.

Perbedaan bagaimana yang Anda maksudkan?
Kita harus ketahui sejarah pembentukan Demokrat itu tujuannya apa. Tujuannya adalah menjadikan SBY sebagai presiden pada 2004. SBY sebagai lokomotif utama partai Demokrat. Padahal kita ketahui Partai Demokrat itu tidak memiliki basis sistem oraganisasi kepartaian yang kuat. Demokrat hidup karena ketokohan yang dimiliki oleh SBY. Kalau boleh dibilang SBY adalah pemegang saham utama di Partai Demokrat. Itu konteksnya. Sehingga apabila muncul faksi-faksi dalam Demokrat, maka faksi-faksi itu adalah kekuatan-kekuatan yang lebih ingin mendekatkan diri atau merapat ke pemegang saham utama tadi yakni SBY. Inilah yang membedakan dengan partai-partai lain. Kalau di Golkar saya pikir tidak seperti itu.

Jadi, faksi itu benar-benar ada?
Iya, saya pikir faksi-faksi dalam Demokrat itu ada, tetapi dalam konteks mengamankan posisi untuk kepentingan Pemilu 2014, dimana pada saat itu SBY sudah tidak maju lagi menjadi Presiden. Dan hal itu harus sudah mulai dibangun sejak sekarang. Karena semua kader di Demokrat memiliki kans sama.

Bisa Anda jelaskan faksi-faksi apa saja itu?
Saya pikir petanya akan dinamis. Hanya saja kita bisa melihat ada tiga kekuatan yang memang sedang berkecamuk, meskipun keluar orang Demokrat selalu mengatakan tidak ada. Sebenarnya ada kekuatan Andi Malarangen, Anas Urbaningrum, dan Marzuki Alie. Tetapi dengan seiring jalannya waktu, saya pikir peta kekuatan ini tidak akan konstan. Tiga kekuatan ini bisa jadi akan menyusut menjadi dua besar atau mungkin tambah banyak, tergantung bagaiman mereka menangani konflik internal diantara mereka.

Bagaimana dengan keluarga Cikeas pasca lengsernya SBY nanti, apa mungkin jadi faksi tersendiri?
Bisa jadi. Akan ada faksi dari keluarga Bu Ani atau SBY, tetapi dari segi pengenalan ke publik itu kan masih kalah jauh jika dibandingkan dengan AU, AM atau MA. Nah, persoalan sekarang kan kita masih menunggu ke depan ini seperti apa. Faksi di Demokrat memang ada. Tetapi selama semua anggota Demokrat masih loyal kepada SBY, maka faksi ini tidak akan pernah muncul ke permukaan, sebagaimananya yang terjadi di partai-partai lain. Misalkan ada orang yang kecewa dengan Demokrat, kalau keluar dan membuat partai lain, tidak ada yang seperti itu. Kita lihat saja pada pemilu 2004, ada yang disingkirkan dari Demokrat, lalu keluar tetapi mereka tidak bisa membuat partai baru seperti yang terjadi di PDIP atau Golkar.

Apa karena mereka tidak punya basis massa?
Kalau dibandingkan dengan partai Golkar atau PDIP misalnya, Partai Demokrat ini baru yang akarnya belum kuat. Begitu pula ketokohan para pemimpinnya, kesejangannya masih sangat jauh dengan ketokohan seorang SBY. Beda dengan di Gokar misalnya, antara Prabowo dengan Wiranto atau dengan Yusuf Kala, mereka itu setara. Kalau di Demokrat, antara SBY dengan Marzuki Ali, atau Anas misalnya itu bedanya sangat jauh. Sehingga sulit bagi para kader Demokrat untuk keluar dan membentuk partai baru.




Mubarok: Anas Tidak Punya Potensi Konflik’

Meski indikasi konflik semakin nampak di internal Partai Demokrat pas ca kongres di Bandung, namun tak satu pun elit partai bentukan SBY ini mengakui adanya faksi. Mantan Ketua Tim Sukses Anas Urbaningrum, Prof Dr Ahmad Mubarok MA, bahkan memastikan partainya akan solid. Berikut petikan wawancara Mimbar Politik dengan politisi senior Demokrat itu di Jakarta, Selasa (6/7).

Bagaimana kondisi internal Partai Demokrat pasca pengumuman pengurus baru Dewan Pengurus Pusat (DPP)?
Iya baik-baik saja. Saat ini kami sedang bersiap-siap untuk meresmikan jajaran Dewan Pembina (DP) yang berjumlah 31 orang dan 9 orang dalam jajaran Majelis Tinggi (MT) Partai Demokrat.

Kapan DP dan MT ini akan dilantik?
Mungkin dalam minggu ini akan segera diresmikan

Siapa saja yang masuk dalam Majelis Tinggi?
Iya, jajaran MT itu terdiri dari Ketua Dewan Pembina dan wakilnya yakni bapak SBY dan bapak Marzuki Alie, Ketua Umum mas Anas Urbaningrum, Sekertaris Jenderal (Sekjen) Edi Baskoro, Dua Wakil Ketua Umum (Waketum) pak Jhony Allen dan Pak Max Sopacua, Direktur Eksekutif Pak Toto Riyanto dan dua Wakil Sekjen. Sementara untuk orang-orang di Dewan Pembina, saya belum tahu.

Rumor diluar menyebutkan adanya faksi yang mulai mengkristal pasca kongres lalu?
Tidak ada itu faksi-faksian. Kami sekarang sudah menjadi keluarga besar Partai Demokrat. Dan memang dari dulu tidak ada faksi-faksian. Itu kan hanya bahasa media saja. Kami di dalam baik-baik saja. Semua orang-orang dari kubu Andi, Marzuki dan Anas sebelum konggres sudah masuk jajaran DPP. Jadi tidak ada lagi faksi Andi, Marzuki dan Anas. Semua sudah bersatu untuk membangun Demokrat yang jaya dan besar

Kritik keras Marzuki soal Andi Nurpati beberapa waktu lalu katanya juga karena kekecewaan terhadap Anas?
Tidak ada yang kecewa. Semua sudah terakomodasi dalam jajaran DPP yang baru diresmikan.

Tapi potensi konflik itu nampaknya cukup terbuka?
Saya katakan tidak ada pertentangan. Anas tidak punya potensi konflik. Kami sekarang makin solid, sehingga potensi gontok-gontokan itu pasti tidak akan terjadi

Dalam politik kan selalu ada intrik?
Kalaupun ada, saya pastikan kami pasti tidak akan terprovokasi, karena kami solid. Kalau kami solid, lalu pihak luar itu mau apa.

Bagaimana dengan pengurus DPP yang terindikasi korupsi seperti Jhony Allen, bukankah ini juga bisa dimanfaatkan sebagai intrik politik?
Begini kita harus menghormati azas praduga tak bersalah. Ini kan pengaruh komentar para pengamat yang telah memojokkan beberapa pengurus DPP Demokrat dan seolah-seolah sudah bersalah.

Ini kan bisa berdampak pada citra kepemimpinan Anas?
Pada intinya Partai Demokrat terdepan dalam pemberantasan korupsi. Kita harus hormati azas praduga tak bersalah. Kalau memang nanti sudah terbukti, kader Partai Demokrat itu bersalah di depan hukum, Partai Demokrat pasti tidak akan melindungi. Tapi kalau belum terbukti, ya jangan dihujat dulu dong.

Ibas: Tidak Ada Faksi-Faksian

Siapa yang tahu posisi Edhie Baskoro dalam kongres Partai Demokrat di Bandung, beberapa waktu lalu. Putra Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu terang-terangan mendukung pencalonan Andi Mallarangeng (AM). Dalam ‘kampanyenya’ kalai itu, politisi muda ini tak jarang menyebut ayahnya juga menginginkan Meneg Pemuda dan Olahraga itu memimpin Partai Demokrat. Bahkan lelaki yang akrab dipanggil Ibas ini juga tak sungkan-sungkan memanggil DPC agar mendukung AM.

Toh akhirnya AM terpental dalam pemilihan putaran pertama. Namun, dalam kepengurusan baru, Ibas ternyata mendapat jatah kedudukan prestisius dalam sebuah partai, yakni Sekjen. Ini tentunya tak lepas dari darah Ibas yang tak lain adalah putra SBY, sang ‘pemilik’ Demokrat. Padahal posisi ini sudah diincar kubu Marzuki Alie yang merasa lebih berhak, karena sebagai pemenang kedua dalam kongres lalu. Hal ini, kabarnya, ikut memberi andil bagi melebarnya perpecahan di tubuh Partai Demokrat.
Dalam wawancara singkatnya dengan Mimbar Politik di Jakarta, Senin (5/7), Ibas membantah tegas berbagai kabar miring itu, seperti berikut ini.

Naskah: Edy Hamad

Bagaimana tanggapan Anda tentang kabar perpecahan di Demokrat?
Saat ini sudah tidak ada faksi-faksian lagi. Kemarin itu sudah ada pengumuman struktur kepengurusan yang baru. Konggres sudah selesai dan sudah tidak ada lagi faksi-faksian, kubu-kubuan. Semua sudah bersatu yakni keluarga besar partai Demokrat.

Dalam kongres lalu Anda mendukung Andi, tetapi sekarang menduduki kursi Sekjen. Bagaimana perasaan Anda?
Ya tentunya saya bersyukur. Saya berusaha untuk menjadikan Partai Demokrat menjadi partai besar, modern dan bisa merangkul semua elemen.

Andi Mallarangeng: Kami Tak Menginginkan Kubu

Dalam kongres Partai Demokrat di Bandung, beberapa waktu lalu, Andi Mallarangeng merupakan kandidat yang jelas-jelas mendapat dukungan keluarga Cikeas. Konon, kekalahannya dalam kongres itu menyisakan sakit hati yang mendalam dari Menteri Pemuda dan Olahraga ini. Namun dalam wawancara singkatnya dengan Mimbar Politik di Jakarta, Senin (5/7), mantan Jubir Kepresidenan ini membantah. Berikut kutipannya.


Faktanya banyak kader yang kecewa karena tak terakomodir dalam kepengurusan?
Ya biasalah yang namanya dalam demokrasi, semua orang boleh berpendapat bagaimana menjalankan roda organisasi dengan baik. Ada orang baru yang masuk karena kita ingin lebih besar, ingin orang yang masih berada di luar partai agar masuk ke dalam Demokrat. Kita ingin semua menyatu dengan baik. Tugas ketua umum adalah bagaimana menyatukan semua aspirasi yang berkembanag di dalam partai.

Bukankah mereka yang kecewa itu berpotensi menjadi kubu-kubu?
Saya pikir kita tidak menginginkan kubu semacam itu. Kita ingin semuanya menyatu dengan baik. Saya sendri posisinya di Sekretaris Dewan Pembina. Tentunya punya fungsi masing-masing. Silakan mejalankan fungsinya masing-masing. Kasih kesempatan kepada ketua umum baru untuk bekerja.

Achsanul: Cukup Banyak Kader Yang Kecewa

Marzuki Alie (MA) merupakan tokoh senior Partai Demokrat yang dikabarkan memendam kekecewaan besar terhadap Ketua Umum DPP, Anas Urbaningrum, lantaran minimnya jatah posisi orang-orangnya di kepengurusan DPP. Kritikan pedasnya terhadap Anas tentang perekrutan Andi Nurpati dalam kepengurusan DPP, beberapa waktu lalu, kabarnya tak lepas dari kekecewaan itu. Benarkah politisi berdarah Palembang ini memiliki faksi tersendiri dalam Demokrat? Berikut wawancara Mimbar Politik dengan mantan Tim Sukses MA, Achsanul Qosasih di Jakarta, Senin (5/7).


Pasca kongres Bandung yang lalu, konflik di Demokrat tampaknya semakin besar. Apa benar demikian?
Kalau bicara kongres, kita tidak bisa pungkiri, itu sangat demokratis. Tetapi prosesnya itu kan ada proses, yang dilakukan ketua umum, tim formatur. Ini memang tidak bisa dikatakan optimal, karena ada sejumlah orang-orang yang memiliki kapasitas tidak masuk dalam kepengurusan. Tapi kita hormati pilihan ketua umum dan formatur. Itulah hasil yang terbaik menurut versi mereka. Kekecewan-kekecewaan yang terjadi dari sejumlah kader itu biasa, tidak mungkin bisa memuaskan semua pihak.

Jadi benar ada kader yang kecewa?
Kekecewaan itu pasti ada. Itu dialami sejumlah kader. Di Demokrat ini ada orang yang bekerja kemudian menjadi pengurus, ada juga yang menjadi pengurus dulu baru menjadi anggota. Kita hanya berharap kepada pengurus-pengurus baru yang belum menjadi anggota agar memiliki kemampuan berkomunikasi dan merekrut anggota baru. Karena Demokrat adalah partai modern dan tidak hanya bergantung dengan satu figur Pak SBY. Jadi kongres 2010 adalah menambah pengurus yang memiliki kemampuan merekrut dan santun dalam berpolitik

Salah satu kekecewaan itu karena masuknya orang baru di jajaran pengurus?
Ya itulah yang sangat disayangkan, seolah-olah ada balas budi dengan Andi Nurpati. Dia yang tidak tahu diri. Seharusnya ketika dia menjadi pengurus kan langsung mundur dan jangan diundur-undur. Mereka (yang tak masuk struktur) juga harus sadar diri kenapa tidak dipilih. Saya juga intropeksi ketika saya tidak dipilih sebagai pengurus PD. Saya harus tetap di parlemen, karena saya sebagai wakil rakyat.

Kalau benar ada yang kecewa, ini kan berpotensi terjadinya faksi-faksi?
Kita belum mengadakan rapat pleno, dan kita belum mengetahui adanya kubu-kubu karena kita sendiri belum dilantik.

Anda sendiri semula dikabarkan akan menjadi Sekjen mewakili kubu MA, tetapi kenyataannya tidak. Anda sakit hati?
Tidak, kecintaan saya terhadap partai demokrat mengalahkan segalanya, termasuk jabatan, Cuma yang menjadi catatan besar kita adalah bahwa partai modern disini adalah lebih berat dengan mengandalkan seorang figur. Ketegasan dalam bersikap, ketegasan dalam menjalankan aturan itu jauh lebih penting untuk menjalankan segalanya. Apakah ini gerombolan dari Andi, Anas ataupun Marzuki harus dihilangkan terlebih dahulu.

Seberapa banyak kader yang kecewa dengan kepengurusan Anas?
Ya, cukup banyak orang (kader) yang kecewa. Saya tetap positif thingking saja dan siap mendukung kepengurusan. Nah inilah tugas seorang pemimpin untuk merangkul semua baik yang memilih dan yang tidak memilih dia. Tetapi, kami (yang kecewa) tidak harus melakukan perlawanan dengan membuat partai baru. Saya kira tidak ada gerakan radikal seperti itu.

Anda yakin Anas mampu bersikap adil terhadap kubu diluar pendukungnya?
Mestinya dia bisa. Kalau sampai sekarang belum kelihatan, karena belum ada agenda yang dijalankan. Nantilah kalau sudah berjalan baru bisa kita lihat, dan mestinya dia bisa. Dengan pengalaman organisasi yang sudah matang, di HMI dan KPU, dia mampu mengakomodir perbedaan menjadi satu kekuatan.

Thursday, July 8, 2010

Pertarungan Jelang Lengsernya Presiden

Faksionalisasi di tubuh Partai Demokrat sebenarnya sudah terjadi sejak kongres pertama 2005 silam. Tetapi pertarungan pasca kongres 2010 lalu diperkirakan jauh lebih tajam. Mengapa?

by: Rovy Giovanie
Kantor DPP Partai Demokrat di bilangan Jl Pemuda, Jakarta Timur, belakangan nampak selalu ramai. Hampir setiap hari para elit parpol yang belum lama ini mengumumkan susunan pengurus baru hasil kongres di Bandung, 21-23 Mei 2010, itu menggelar rapat.
Entah rapat apa yang mereka bahas. Para petinggi partai bintang mercy yang dijumpai di kantor itu kompak tutup mulut. Kalaupun ada yang mau bicara, selalu dialihkan ke masalah lain yang tidak esensial.
Padahal rapat estafet yang dipimpin langsung oleh ketua umum, Anas Urbaningrum (AU), itu kabarnya berkaitan erat dengan resistensi susunan pengurus baru yang telah diumumkan 17 Juni 2010 lalu. Ironisnya, karena resistensi itu pula Ketua Dewan Pembina, SBY, mengulur-ulur waktu pelantikan.
Menurut sumber Mimbar Politik, tingkat resistensi terhadap ‘Kabinet Anas’ memang sangat tinggi, tidak hanya di mata publik, tetapi juga di internal Demokrat sendiri. Bahkan ada sebagian kelompok sakit hati yang mengancam melakukan aksi perlawanan.
Jadi, kalaupun kemudian para pengurus yang dilantik tidak mengalami perubahan, itu sama sekali bukan berarti semua faksi mau menerima. “Ini dilakukan hanya untuk menjaga nama SBY. Karena bagaimanapun nama-nama itu sudah terlanjur diumumkan, sedangkan SBY sebagai Ketua Dewan Pembina sudah menyetujuinya,” ujar sumber tadi di Jakarta, Selasa (6/7).
Toh soal penggantian mereka yang dianggap bermasalah itu bisa dilakukan belakangan, ketika perhatian publik tak lagi mengarah ke Demokrat. Tetapi bila langkah ini dilakukan, maka sama dengan membuka peluang membesarnya konflik internal. Pasalnya persaingan antar faksi pasca kongres kedua kali ini jauh lebih terbuka ketimbang periode sebelumnya.
Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Survey Indonesia (LSI), Burhanuddin Muhtadi, kongres II di Bandung jauh lebih kuat karena Demokrat telah menjelma menjadi partai pemenang Pemilu. Selain itu SBY sudah tidak bisa mencalonkan lagi menjadi presiden untuk yang ketiga kalinya. “Jadi betul-betul memiliki kedigdayaan politik yang jauh lebih kuat ketimbang hasil kongres pertama,” jelasnya kepada Mimbar Politik, Rabu (7/7).
Akibatnya pertarungan kandidat di kongres II jauh lebih keras ketimbang kongres sebelumnya. Pada saat yang sama, sebagai partai besar, Demokrat mulai membuka pintu buat lahirnya generasi kedua, yakni mereka yang tidak ikut dari awal proses berdirinya partai. “Jadi potensi konfliknya jauh lebih terbuka,” jelasnya.
Faksionalisasi yang akan terjadi juga kemungkinan besar tak hanya melibatkan tiga kubu yang bersaing dalam kongres di Bandung, yakni kubu Anas Urbaningrum (AU), Marzuki Alie (MA) dan Andi Mallarangeng (AM). Faksi-faksi kecil yang semula bergabung dengan ketiga faksi itu diperkirakan bakal kembali berjalan sendiri-sendiri.
Tak terkecuali dengan keluarga Ciekas. Bila semula berada di belakang Andi Mallarangeng, maka pasca kongres kali ini akan bermai sendiri. Sementara keluarga Cikeas sendiri juga tidak satu. Ada kubu yang berasal dari keluarga inti SBY, kubu non keluarga tetapi memiliki kedekatan secara emosional dengan SBY, dan kubu keluarga Cikeas yang tersisih dari keluarga inti sang presiden.
Meski demikian, pakar politik Universitas Indonesia, Wawan Ichwanuddin, meyakini konflik ini tidak akan mengarah pada perpecahan selama SBY masih berkuasa. “Faktor SBY masih menjadi pemersatu,” tegasnya.
Itulah sebabnya faksionalisasi yang terjadi saat ini lebih tepat dikatakan sebagai persiapan menghadapi persaingan terbuka menyusul lengsernya SBY nanti. Meski tak sampai menimbulkan perpecahan, tetapi bukan berarti faksi-faksi yang ada akan cenderung diam seperti periode lalu. Apalagi kepemimpinan Anas Urbaningrum kali ini berusaha mewujudkan cita-cita menjadi partai modern, yang benar-benar mampu eksis tanpa harus menggantungkan diri pada sosok SBY. “Ini tantangan yang harus diwujudkan oleh Anas,” ujar Burhanuddin.
Tentu saja bukan pekerjaan mudah. Masalahnya bukan hanya pada kemampuan untuk menciptakan sistem dan nilai-nilai yang mampu mempersatukan semua unsure partai, tertapi juga harus berhadapan dengan keluarga Cikeas yang belum sepenuhnya legowo melepas Demokrat.
Kesan ketidaklegowoan Cikeas ini nampak nyata sejak menjelang kongres lalu. Meski SBY tidak memberi dukungan secara terbuka, namun istrinya, Ani Yudhoyono, begitu telanjang mencalonkan Andi Mallarangeng. Bahkan putranya, Edhie Baskoro (Ibas), tak sungkan-sungkan menyebut bapaknya juga menginginkan Meneg Pemuda dan Olahraga itu sebagai pemegang tampuk kekuasaan Partai Demokrat. Pun demikian dengan Ani sendiri, mengerahkan para personal Staf Khusus Presiden untuk memback up penuh Andi.
Sebaliknya, terhadap Anas, Ani justru menolaknya terang-terangan. SMS berisi kecaman Ani terhadap para pendukung Anas yang bersurat kepada SBY –untuk menuntut netralitas sikap Ketua Dewan Pembina—sempat beredar di kalangan terbatas. Kejadian ini kabarnya kian menambah kebencian Ani kepada Anas. Mantan ketua umum PB HMI itu dianggap bisa membahayakan kans politik Cikeas.
Pilihan terhadap Andi tentu bukan tanpa alasan. Selain karena Andi memiliki kedekatan emosional dengan keluarga Cikeas, mantan Juru Bicara Kepresidenan ini juga tak memiliki basis massa, sehingga lebih mudah diarahkan. Dalam kampanyenya kalai itu, kubu Andi begitu gencar menolak gagasan Anas yang hendak menyapih Demokrat dari SBY.
Dari situ nampak jelas betapa besar ambisi Cikeas untuk melanjutkan karir politik SBY. Pasalnya selepas SBY turun tahta, tidak ada jaminan keamanan bagi kelanjutan kekuasaan Cikeas. Karena alasan itulah kemudian Ibas ‘dipaksakan’ duduk di kursi Sekjen. Harapannya tentu agar sang Putra Mahkota itu bisa lebih cepat siap menggantikan sang ayah.
Tetapi banyak pengamat menyangsikan kemampuan Ibas mengambil posisi itu. Bahkan Ani Yudhono –yang selama ini digadang-gadang sebagai capres mendatang-- saja gagal menarik dukungan pada saat kongres yang lalu. Realitas politik inilah yang kabarnya mendorong Cikeas mengubah strategi. Konon, SBY sendiri kali ini turun langsung menata barisan Cikeas di Demokrat. Intervensi ini pula yang menyebabkan begitu banyak posisi strategis di DPP ditempati kader setia Cikeas --meskipun sejatinya pengaruh SBY masih sangat dominan di Dewan Pembina dan Majelis Tinggi.
Dalam konteks saat ini, ketika SBY masih menjabat, memang kecil kemungkinannya ada yang berani melakukan perlawanan frontal, tak terkecuali dengan Anas yang seolah tersandera. Tetapi sangat terbuka kemungkinan perlawanan itu akan terjadi secara terbuka setelah SBY lengser dari jabatan nanti. Terlepas dari berhasil atau tidaknya perlawanan itu menggeser dominasi Cikeas, yang jelas Partai Demokrat nantinya akan ramai konflik. Kasus PDIP adalah contoh nyatanya. Aksi perlawanan terhadap Megawati tak ada habisnya dari masa ke massa. Selain selalu berakhir dengan hengkangnya kader-kader potensial, juga mengkerdilkan partai karena selalu disibukkan dengan konflik internal.