Traffic

CPX

PTP

DOWNLOAD KOLEKSI FILM KAMI

Saturday, June 20, 2009

Mengungkap Perang Intelijen Para Capres

Oleh: Rovy Giovanie
Perang intelijen antar capres kian memanas. Isu-isu sensitif yang cenderung berbau SARA sengaja ditebar untuk memecah dan melemahkan lawan. Persis strategi perang ala militer.

Capres Megawati Soekarnoputri berteriak lantang. Ia memperingatkan agar Babinsa bertindak netral dalam pelaksanaan Pilpres 8 Juli 2009 mendatang. “Semua elemen masyarakat, termasuk para intelijen, Babinsa dan unsur lainnya harus menyukseskan pilpres secara jujur dan adil,” teriak Mega di depan puluhan ribu massa yang memerahkan lapangan Dukuh Sari, Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo, Minggu (14/6).
Peringatan mantan Presiden ini bukan tanpa alasan. Sebagai mantan penguasa, dia sendiri tentu pernah mengalaminya. Publik tentu ingat bagaimana Mega melibatkan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) AM Hendropriyono pada Pilpres 2004 silam. Meskipun akhirnya Mega yang berpasangan dengan Hasyim Muzadi kalah, namun fakta tentang keberpihakan BIN tampak kasat mata.
Tetapi bukan itu yang mengilhami peringatan Mega kali ini. Melainkan pengalaman pahit yang dialami para kadernya selama Pileg 2009 dan Pilkada di sejumlah daerah, khususnya di Jawa Timur. Mega mengaku memiliki banyak bukti tentang keterlibatan operasi intelijen penguasa dibalik kekalahan pasangan Khofifah Indar Parawangsa – Mujiono yang didukungnya pada Pilgub Jatim 2008 lalu.
Bisa jadi tudingan Mega itu benar adanya. Sejumlah tokoh masyarakat Jawa Timur beberapa waktu lalu sempat menggelar pertemuan khusus di Jakarta. Selain menemui sejumlah politisi DPR, mereka juga berkunjung ke markas JK-Win di Mangun Sarkoro. Mereka membeberkan sejumlah kasus operasi intelijen yang dilakukan ‘partai penguasa’ dalam Pileg 2009. Menurut mereka, partai itu melibatkan Babinsa. “Menjelang pencoblosan, hampir semua penduduk didatangi ke rumahnya. Dengan bahasa yang sopan, oknum Babinsa itu kemudian menjelaskan jasa-jasa presiden dalam membela dan mensejahterakan rakyat. Setelah itu baru pesan utamanya disampaikan, yakni untuk mencoblos partai pemerintah. Makanya jangan heran kalau hampir semua surat suara yang dicoblos adalah partainya, bukan nama caleg,” ungkap sumber caleg DPRD terpilih dari PKNU Kabupaten Gresik itu.
Sebagai back up, SBY juga memasang puluhan jenderal pensiunan dalam tubuh tim suksesnya. Ara jenderal itu menyebar dalam tim resmi maupun tim relawan yang dibentuknya. Mereka antara lain Mantan Panglima TNI Marsekal (Purn.) Djoko Suyanto, Mantan Kapolri Jenderal (Purn.) Pol Sutanto, Mantan KSAU Marsekal (Purn.) Herman Prayitno, Mantan Kepala Staf Teritorial TNI Letjen (Purn.) Agus Widjojo, Marsekal Madya (Purn) Surrato Siswodihardjo, Letjen (Purn) Sudi Silalahi, Mantan Kasum TNI Letjen TNI (Purn) Suyono, Mayjen TNI (Purn) Herman LD, Mantan Kababinkum TNI AD, Mayjen TNI (Purn) Arief Siregar, dan beberapa lainnya.
Sinyalemen itu dibantah tegas oleh Ketua Badan Intelijen Negara (BIN), Syamsir Siregar. “Informasi itu ngarang-ngarang saja. Kita bekerja untuk pemerintah dan negara, bukan untuk salah satu capres,”sergahnya di sela sela rapat tertutup BIN dengan Komisi I DPR di Gedung DPR, Senin (15/6)
Toh bantahan itu tak serta merta menyurutkan dugaan keterlibatan BIN dibalik pasangan incumbent SBY-Boediono. Apalagi sejak berkuasanya SBY, Bintara Pembina Desa (Babinsa) yang semula dihapus saat reformasi bergulir kemudian diaktifkan kembali tahun 2005 silam. Semasa Soeharto berkuasa, sudah menjadi rahasia umum kalau Babinsa kerap dijadikan alat untuk mengintimidasi rakyat.
Dalam batas-batas tertentu, menurut para pakar intelijen, polaini sangat mungkin ditiru SBY sebagai kandidat incumbent. “ Meskipun semua pasangan sama-sama militer, namun hanya kandidat incumbent yang memiliki akses langsung dengan militer dan intelijen negara,” ucap pengamat intelijen, Dr AC Manullang.
Mantan Direktur BAKIN –sekarang bernama BIN—itu bahkan berkeyakinan bahwa lonjakan suara Partai Demokrat dalam Pileg 2009 merupakan hasil kerja intelijen. “Dalam sejarah parpol di Indonesia, mana pernah ada partai yang mengalami lonjakan suara hamper 300 persen. Ini tidak mungkin terjadi tanpa adanya kekuatan luar biasa,” jelasnya.
Konon, alasan inilah yang menjadi pemicu utama pasangan capres-cawapres lainnya merekrut para jenderal yang memiliki jam terbang tinggi dalam bidang intelijen. Kubu Mega-Prabowo, misalnya, memasang nama-mana antara lain: mantan Dansesko ABRI Mayjen (Purn) Theo Syafei, mantan Danjen Kopassus Mayjen (Purn.) Muchdi Pr, mantan Kaskostrad Mayjen (Purn) Kivlan Zein, mantan Ka BIN Jenderal (Purn.) Hendropriyono, mantan Ka Bais Letjen (Purn.) Farid Zainuddin, Letjen Purn M Yasin, mantan Komandan Korps Marinir Letjen Marinir Purn Suharto, Mayjen TNI Purn Adang Ruchiatna, Letjen TNI (purn) Farid Zainudin, Letjen (purn) Putu Wardana, Letjen (purn) Yogi Supardi, Letjen Marinir (purn) Suharto, dan Mayjen (purn) Suwardi.
Sedangkan kubu JK-Wiranto membentuk Tim Garuda yang beranggotakan belasan jenderal. Mereka antara lain: Mantan KSAD Jenderal (Purn.) Subagyo HS, Mantan Wakasad Letjen (Purn.) Soemarsono, Mantan KSAL Laksamana (Purn.) Bernard Kent Sondakh, Mantan Kapolri Jenderal (Purn.) Pol Chaeruddin Ismail, Mantan Wakil Panglima TNI Letjen (Purn.) Fachrul Razi, Mantan Kepala Staf TNI/AD, Ary Mardono, Mantan Gubernur Jawa Tengah Ismail, Mantan Pangdam VII Wirabuana Suaedi Marasabessy, Mantan Wakil Kasau Marsdya Purn Basri Sidehabi, Mantan Pangarmatim Mayjen Purn Djasri Marin, Mantan Danpuspom TNI Marsda Syamsuddin Arsyad, Mayjen TNI Purn Iskandar Ali, dan Mantan Wakasad Letjen Purn Soemarsono.
“Rekutmen para jenderal itu tak lepas dari pengalamannya menjalankan fungsi intelijen. Antara lain penggalangan massa, infiltrasi, penyesatan propaganda, provokasi, dan lain sebagainya,” jelas pakar militer Aris Santoso dari ISAI kepada Mimbar Politik.
Metode penyesatan biasanya dilakukan dengan memanfaatkan media publikasi, baik berupa buku, koran, majalah, radio atau televisi. Informasi yang menyesatkan sengaja dihembuskan untuk mengelabui lawan. Sedang infiltrasi dilakukan dengan menyusupkan orang-orang ke kubu lawan untuk menyerap informasi atau menggembosi. Penggalangan massa antara lain dilakukan dengan merangkul tokoh organisasi masyarakat atau organisasi pemuda.
Tak mengherankan bila cara kerja tim sukses para capres saat ini mirip dengan cara-cara intelijen yang lazim dilakukan militer. Setidaknya hal ini bisa dilihat dari bentuk isu dan kasus yang muncul menjelang pelaksanan Pilpres. Ada yang bersifat provokatif seperti isu jilbab, neolob, bencana SBY, dsb. Ada juga yang bersifat infiltrasi dan adu domba, seperti perpecahan parpol dan ormas, penyebaran SMS Kontrak Politik SBY-PKS, dsb. Dan ada juga yang bertujuan untuk penyesatan informasi, misalnya polling capres, penerbitan buku dan media, isu Pilpres Satu Putaran, dan banyak lagi lainnya.
Bila diamati secara seksama, terlihat adanya aksi saling serang yang terencana dan terstruktur dibalik isu dan kasus-kasus tersebut. Diawali dengan kasus perpecahan yang melanda sejumlah parpol –diantaranya PAN, Golkar, dan PPP-- pada sat menjelang penetapan capres-capres beberapa waktu lalu. Kesamaan pola perpecahan ini menyebabkan dugaan kuat adanya skenario besar yang dilakukan oleh pihak tertentu. Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla secara tegas menyampaikan hal ini. Meskipun tak menyebut pihak mana yang dimaksudkan, namun publik sudah bisa menyimpulkan. Arah tudingan tak lain adalah kubu penguasa yang mengusung kembali SBY sebagai capres. Tujuannya untuk melemahkan lawan yang akan dihadapi dalam Pilpres. Konon, operasi ini melibatkan kekuatan intelijen yang tertata rapi.
Perpecahan parpol memang memiliki dampak serius bagi capres diluar SBY. JK dan Mega sempat dibuat pusing untuk bisa memenuhi syarat minimal pendaftaran capres-cawapres ke KPU. Tak hanya itu, JK juga diganggu aksi perlawanan dari internal partainya sendiri. Meskipun akhirnya berhasil mendaftar –JK menggandeng Wiranto (Hanura) dan Mega menggandeng Prabowo (Gerindra), namun mereka dalam posisi lemah.
Dari hitung-hitungan diatas kertas, koalisi pengusung SBY –Demokrat, PKS, PAN, PPP dan PKB, plus partai-partai kecil— berhasil mengumpulkan suara sekitar 60 persen. Sementara koalisi PDIP-Gerindera dan Golkar-Hanura masing-masing hanya berkisar sekitar 20 persen. Berbagai polling juga selalu menempatkan SBY jauh meninggalkan kedua pesaingnya.
Dalam situasi ini, tak ada pilihan lain bagi JK-Wiranto dan Mega-Prabowo untuk bisa mengimbangi incumbent kecuali harus melalui manuver luar biasa. Kalangan militer dianggap sebagai pilihan pas untuk bisa mengimbangi ‘permainan’ SBY. Dari sini kemudian Mega-Prabowo dan JK-Wiranto membentuk pasukan khusus beranggotakan para jenderal.
Keputusan SBY memilih Boediono sebagai cawapres menjadi semacam blessing in disguise bagi para lawan SBY. Serangan balasan dihantamkan ke arah SBY-Boediono secara beruntun dan dari berbagai arah. Penolakan sebagian besar parpol anggota koalisi terhadap Boediono, waktu itu, merupakan celah untuk menggoyang koalisi raksasa itu. Dan hasilnya tampak nyata. Tak hanya PPP dan PAN yang berhasil digerogoti, PKS yang semula dikenal sebagai partai yang solid pun berhasil dibikin retak.
Di tubuh PPP, misalnya, banyak kader dan pengurus PPP di tingkat usat hingga daerah yang membelot. Mereka yang mendukung Mega-Prabowo mendirikan Pesatuan Pendukung Prabowo (PPP), sementara sejumlah tokoh pentingnya seperti Lukman Hakim Saifudin bergabung JK-Wiranto. Pun halnya dengan PAN. Sejumlah nama tokoh PAN seperti Alvin Lie, Dradjad Wibowo, dan beberapa lainnya memilih menjadi Tim Sukses JK-Wiranto. Tak sedikit juga yang bergabung dengan Mega-Prabowo. Bahkan AWAN –organisasi perempuan PAN—secara resmi mendukung Mega-Prabowo. Ketua MPP PAN Amien Rais pun secara terbuka menyampaikan restunya.
Tak hanya sampai disitu. Para lawan politik SBY secara beruntun menghujani bergabai bentuk black campaign. Diawali dengan isu jilbab istri SBY-Boediono. Ironisnya penyebab awalnya isu ini adalah kader PKS, yang kemudian dikembangkan oleh para pasukan JK-Wiranto. Isu ini benar-benar disebarkan ke daerah-daerah fanatik Islam, baik melalui SMS, pengajian, maupu kampanye langsung.
Dari penelusuran Mimbar Politik di sejumlah daerah, khususnya basis pemilih Islam, isu ini sangat ampuh untuk menggerus pendukung SBY. Banyak kyai di Jatim yang semula mendukung SBY, kini berbelok ke JK hanya karena alasan jilbab. “Lha mengatur istrinya saja tidak bisa kok mau mengatur negara,” demikian ucap seorang kyai di Gersik, Jawa Timur.
Black campaign ini jauh lebih mengena ketimbang isu neolib yang lebih dulu digencarkan. Hasil penelusuran menunjukkan bahwa isu neolib hanya mengena pada masyarakat perkotaan.
Serangan lebih parah dan bernuansa SARA ketika ada yang menghembuskan berita tentang ke-Islaman Boediono dan istrinya. Sejumlah SMS yang mengarah ke warga masyarakat menyebutkan bahwa istri cawapres SBY itu katolik. Meskipun desas-desus ini dibantah Boediono, namun banyak masyarakat yang sudah terlanjur mempercayainya.
Kampanye hitam terbaru yang paling menghebohkan adalah isu tentang jatah menteri agama dan menteri pendidikan untuk PKS serta penerapan syarian Islam di Indonsia Timur. Isu ini sangat kental dengan nuansa SARA. Pembuat isu paham betul tentang psikologi mayoritas muslim Indonesia yang merupakan nahdliyin dan mayoritas Kristiani yang berada di Indonesia Timur. Selengkapnya baca juga ‘Menggerogoti Basis Islam Lewat SMS’ di rubrik Mimbar Politik.
Para pakar intelijen meyakini model-model black campaign yang dilakukan para capres-cawapres itu kental dengan karakter intelijen militer. “Perang intelijen itu tidak mungkin dilakukan kecuali untuk tujuan black campaign dan membuat black mail sebagai bagian psy war (perang psikologis),” ujar Ketua Umum Legiun Veteran RI, Letjen TNI (Purn) Rais Abin.
Ukuran koalisinya yang besar dan rapuh, kubu SBY-Boediono memang sangat rentan terhadap aksi-aksi serangan intelijen dalam berbagai bentuknya. Aksi infiltrasi bisa dilakukan dengan mudah oleh pihak lawan, terutama melalui partai-partai rekan koalisi Demokrat.
Barangkali karena alasan ini, belakangan tim inti SBY membatasi keterlibatan rekan koalisinya dalam menentukan taktik dan strategi kampanyenya. Kebijakan ini sempat menimbulkan protes sejumlah kader parpol anggota koalisi. Sampai-sampai Sekjen Tim SBY-Boediono Hatta Rajasa harus turun tangan untuk meredakannya. "Semua terlibat baik dalam pemikiran maupun kampanye SBY-Boediono," ujarnya.
Hatta juga membantah bahwa jajaran parpol koalisi di daerah tidak difungsikan dalam kerja-kerja pemenangan. Ada kecurigaan bahwa sebaran atribut SBY-Boediono yang sangat minim di daerah adalah akibat diabaikannya keberadaan kader parpol koalisi. "Isu nggak benar itu. Saya dari Makassar, ada banyak atribut di situ. Di tempat-tempat lain juga," sergah Hatta.
Setelah sibuk konsolidasi internal yang sempat berantakan lantaran serangan lawan, sejak pekan lalu SBY-Boediono mulai melancarkan serangan mematikan. Tidak menggunakan isu agama atau yang bersifat SARA lainnya, melainkan mengenai Pemilu Satu Putaran.
Didahului dengan berbagai survey yang menempatkan SBY bakal menang dalam satu putaran, lantas dilanjutkan dengan kampanye ‘Pilpres Satu Putaran.’ Pendekatannya juga sangat mengena, yakni dengan alas an penghematan uang negara sebesar Rp 4 triliun. Selengkapnya baca juga ‘Pusing Karena Satu Putaran’ di rubrik Mimbar Politik.
Strategi ini emmang cukup efektif untuk merebut kembali suara yang belakangan mulai tergerus. Tetapi pertempuran belum usai. Apapun bisa terjadi hingga masa pencoblosan 8 Juli mendatang. Intelijen lawan tak mungkin tinggal diam.


Siapa Dibalik Operasi Intelijen Para Capres?

Oleh: Rovy Giovanie
Puluhan pensiunan jenderal bertaburan di semua tim sukses capres-cawapres. Konon, mereka memegang peranan penting dibalik berbagai kasus dan isu seputra Pilpres. Siapakah sebenarnya mereka?

Beda jenderal beda gayanya. Beda pula taktik dan strategi yang diterapkannya. Begitupun dengan para jenderal yang berdiri di belakang para pasangan capres-cawapres. Meskipun latar belakangnya banyak kemiripannya, namun memiliki style gerakan yang berbeda-beda.
Adalah para jenderal dibelakang Mega-Prabowo yang paling fenomenal. Nama-nama seperti Theo Sjafei, Hendripriyono, Muchdi PR, Kivlan Zein dan beberapa lainnya memiliki rekam jejak intelijen yang cukup kontroversial.
Dalam tim Mega-Prabowo, Theo Sjafei merupakan pucuk pimpinan gerakan intelijen. Inspirator penyatuan Mega dan Prabowo ini kabarnya merupakan actor dibalik blow-up kasus DPT (Daftar Pemilih Tetap) Pileg 2009, yang akhirnya berujungpada hak angket di DPR.
Menengok ke belakang, Theo memiliki cirri gerakan yang radikal dan cenderung menyerempet isu-isu berpotensi adu domba. Salah satu kasus yang sempat emmbuat heboh adalah pidatonya pada tahun 1988 yang memicu kerusuhan antar umat agama di NTT. Selain itu masih banyak kasus-kasus lain yang diduga melibatkan Theo, termasuk dugaan money politics dalam Pilgub Kaltim pada tahun 2003.
Tak kalah hebohnya dengan Theo adalah Hendropriyono dan Muchdi PR. Kedua pensiunan jenderal ini dikenal mumpuni dalam dunia intelijen. Maklum Hendro merupakan Ketua BIN semasa Megawati menjawab presiden, sedangkan Muchdi adalah deputinya di lembaga yang sama.
Salah satu kasus kontroversial yang diduga melibatkan kedua tokoh ini adalah kematian aktivis HAM, Munir. Banyak kalangan menyebutkan bahwa keduanya terlibat dalam operasi intelijen untuk menghabisi Munir. Meskipun sampai detik ini belum ada bukti-bukti kuat yang mengarah pada keterlibatan kedua jenderal ini, namun para aktivis HAM menganggap mereka merupakan tokoh utama yang bertanggung jawab. Muchdi pun sempat menjadi tersangka kasus ini dan menikmati hotel prodeo, meski akhirnya berhasil bebas.
Selain Theo, kedua orang ini memiliki peran yang cukup besar dibalik gerakan-gerakan intelijen seputar Pilpres kali ini. Sebelumnya, pada Pilpres 2004 silam, Hendropriyono merupakan salah satu andalan Mega yang waktu itu berlaga bersama Hasyim Muzadi. Pengaruh ketiga jenderal ini nampak dari taktik dan strategi Mega-Prabowo kali ini. Apalagi gaya mereka juga klop dengan Prabowo yang meledak-ledak. Pas juga dengan posisi PDIP yang selama ini berperan sebagai opisisi.
Sementara para jenderal di belakang SBY-Boediono terbilang sepi dari kontroversi. Sebaliknya justru banyak diantaranya yang cukup mencorong di mata publik. Ketua Tim Echo, Marsekal (Purn.) Djoko Suyanto, misalnya memiliki caatan yang bagus semasa menjabat Panglima TNI. Begitu juga dengan mantan Kapolri Jenderal (Pol) Sutanto yang banyak mendapat pujian publik atas prestasinya selama menjabat.
Begitu juga dengan nama-nama seperti Agus Widjojo, Herman Prayitno, dan sebagainya. Menurut salah seorang Ketua DPP Partai Demokrat Ahmad Mubarock, hal ini tak kepas dari kehati-hatian SBY dalam memilih tim. Sesuai dengan citranya yang selalu tampil kalem dan santun, SBY juga cenderung menggandeng para jenderal yang klop dengan dirinya.
Inilah yang menyebabkan taktik dan strategi SBY-Boediono selama masa kampanye belakangan ini cenderung bersifat bertahan ketimbang menyerang. Tetapi, menurut sejumlah sumber, diam mereka sama sekali tidak berarti tidak bergerak. Ia mencontohkan Sutanto selama menjabat Kapolri. Dia tak banyak bicara, tetapi ternyata mampu mengungkap banyak kasus. “Begitu juga dengan mereka, lebih cenderung melakukan operasi senyap atau silent operations,” tutur sumber politisi Demokrat.
Bagaimana dengan Dewan Jenderal di kubu JK-Wiranto? Bila menilik namanya, mereka sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kubu SBY-Boediono. Nama-nama seperti Subagyo HS, Suaedy Marasabessy, dan Basri Sihedabi relatif sepi dari isu-isu kontroversial. Bedanya dengan mereka yang ada di kubu incumbent, para jenderal yang tergabung dalam Tim Garuda ini relatif lebih berani beraksi di permukaan, dan bahkan cenderung konfrontatif. Klop dengan gaya JK yang memang suka blak-blakan.
Barangkali karena itu taktik dan strategi pasangan JK-Wiranto belakangan ini terkesan konfrontatif, khususnya terhadap SBY-Boediono. Bahkan sejumlah isu yang keluar dari tim ini belakangan terkesan menantang. Sejumlah sumber menyebutkan bahwa tim ini juga tak jarang bekerjasama dengan pihak Mega dalam menghembuskan isu yang sama-sama menguntungkan kedua belah pihak. Isu-isu soal jilbab, agama istri Boediono, dan isu jatah menteri PKS, kabarnya merupakan buah kerjasama diantara kedua pasangan yang memang sama-sama pernah ‘tersakiti’ oleh SBY ini.
Salah seorang jenderal pendukung JK-Wiranto, Fachrul Razi, tak menampik kemungkinan terjadinya kerjasama diantara para jenderal yang ada di belakang para capres. “Itu sangat mungkin terjadi, karena kebanyakan diantara kita sudah saling mengenal cukup dekat,” ujarnya kepada Mimbar Politik.
Selain itu, dalam praktiknya di lapangan, operasi intelijen juga kerap melibatkan kalangan sipil. Malah untuk misi-misi tertentu justru harus menggunakan masyarakat sipil dalam eksekusinya. “Orang-orang sipil ini biasanya justru dibutuhkan untuk memuluskan misi intelijen mereka. Tetapi biasanya mereka merupakan orang-orang yang sudah terlatih,” kata Oslan Purba dari Kontras.
Yang pasti, dari karakter kasus atau isu yang terjadi di tengah masyarakat menjelang Pilpres kali ini, bisa dikenali siapa sebenarnya yang ada di belakangnya. Tentu saja harus disertai dengan observasi dan pengkajian mendalam. Karena gerakan intelijen kerapkali sulit dipahami atau bahkan mengecoh lawan.

Tim Jenderal Mega-Prabowo
1. Mantan Dansesko ABRI Mayjen (Purn.) Theo Syafei
2. Mantan Danjen Kopassus Mayjen (Purn.) Muchdi Pr
3. Mantan Kaskostrad Mayjen (Purn.) Kivlan Zein
4. Mantan Ka BIN Jenderal (Purn.) Hendropriyono
5. Mantan Ka Bais Letjen (Purn.) Farid Zainuddin
6. Mantan Tim Sukses SBY Tahun 2004, Letjen Purn M Yasin
7. Mantan Komandan Korps Marinir Letjen Marinir Purn Suharto
8. Mayjen TNI Purn Adang Ruchiatna
9. Mantan Kepala Bais, Letjen TNI (purn) Farid Zainudin
10. Letjen (Purn) Putu Wardana
11. Letjen (Purn) Yogi Supardi
12. Letjen Marinir (Purn) Suharto
13. Mayjen (Purn) Suwardi


Tim Jenderal SBY-Boediono
1. Mantan Panglima TNI Marsekal (Purn.) Djoko Suyanto
2. Mantan Kapolri Jenderal (Purn.) Pol Sutanto
3. Mantan KSAU Marsekal (Purn.) Herman Prayitno
4. Mantan Kepala Staf Teritorial TNI Letjen (Purn.) Agus Widjojo
5. Marsekal Madya (Purn) Surrato Siswodihardjo
6. Mantan Pangdam V/ Brawijaya, Letjen (Purn) Sudi Silalahi
7. Mantan Kasum TNI Letjen TNI (Purn) Suyono
8. Mantan Menpan, Letjen (Purn) TB Silalahi
9. Mayjen TNI (Purn) Herman LD
10. Mantan Kababinkum TNI AD, Mayjen TNI (Purn) Arief Siregar
11. Mantan Wakil Asisten Sospol Kepala Staf Sospol ABRI
12. Mayjen (Purn.) Yahya Sacawira
13. Staf Khusus Presiden, Mayjen (Purn) Sardan Marbun
14. Mayjen (Purn) Soeprapto
15. Mayjen (Purn) Irvan Edison
16. Mayjen (Purn) Abikusno
17. Sekretaris Pribadi Presiden, Brigjen TNI Kurdi Mustofa
18. Ketua Umum Partai Demokrat, Kol. (Purn) Hadi Utomo


Tim Jenderal JK-Wiranto
1. Mantan KSAD Jenderal (Purn.) Subagyo HS
2. Mantan Wakasad Letjen (Purn.) Soemarsono
3. Mantan KSAL Laksamana (Purn.) Bernard Kent Sondakh
4. Mantan Kapolri Jenderal (Purn.) Pol Chaeruddin Ismail
5. Mantan Wakil Panglima TNI Letjen (Purn.) Fachrul Razi
6. Mantan Kepala Staf TNI/AD, Ary Mardjono
7. Mantan Gubernur Jawa Tengah, Ismail
8. Mantan Pangdam VII Wirabuana Suaedi Marasabessy
9. Mantan Wakil Kasau Marsdya Purn Basri Sidehabi
10. Mantan Pangarmatim Mayjen Purn Djasri Marin
11. Mantan Danpuspom TNI Marsda Syamsuddin Arsyad
12. Mayjen TNI Purn Iskandar Ali
13. Mantan Wakasad Letjen Purn Soemarsono.

Tim Siluman Penggerak Operasi Bawah Tanah

Oleh: Rovy Giovanie
Dalam sebuah pertempuran, kekuatan yang paling menentukan adalah pasukan khusus yang tersembunyi. Cara ini rupanya diadopsi para capres. Sejumlah tim tak resmi dibentuk dengan tugas-tugas khusus.

Tim Sukses JK-Wiranto dan Mega-Prabowo meradang. Sejumlah baliho kampanye mereka yang semula terlihat indah kini rusak. Yang lebih menyakitkan, modus sayatannya seolah memberi pesan penghinaan, yakni di bagian mulut dan leher.
Diduga kuat bahwa aksi perusakan itu dilakukan secara sengaja dan terorganisir. Tetapi siapa dalangnya, sampai detik ini tak ada yang tahu. "Itu bukan rekayasa karena pola sayatannya sama, JK di mulut, Prabowo di leher. Itu menunjukkan JK dianggap terlalu banyak mulut sedangkan Prabowo itu perlu di eksekusi karena popularitasnya mengancam," ujar pengamat intelijen, MT Arifin.
Dari sisi intelijen, ada beberapa kemungkinan siapa dibalik kejadian tersebut. Kemungkinan pertama, pelakunya adalah lawan politik yang tidak senang. Kemungkinan kedua, pelakunya adalah tim pemilik baliho sendiri. Tujuannya, untuk membuat kesan seolah-olah dirinya menjadi pihak yang dirugikan dan teraniaya.
Tetapi, tak satu pun tim sukses pasangan capres yang mau bertanggung jawab. Padahal, kecil kemungkinannya hal itu dilakukan oleh orang iseng. Terlepas dari pihak mana yang melakukan aksi tersebut yang jelas pelakunya adalah pihak yang berada di belakang salah satu pasangan capres-cawapres. Tetapi tidak lah mudah untuk bisa menemukan mereka, karena tindakan semacam ini biasanya dilakukan oleh orang terlatih.
Kasus diatas hanyalah sebagai contoh, betapa pentingnya pasukan siluman dalam sebuah tim sukses. Masih banyak contoh lainnya yang lebih besar, dan pelakunya juga sulit diidentifikasi, apalagi ditemukan. Termasuk dalam operasi infiltrasi atau penyusupan ke pihak lawan. Lantas, apakah tim-tim siluman itu benar-benar ada di belakang para pasangan capres-cawapres?
Sudah menjadi rahasia umum kalau SBY-Boediono tak hanya didukung oleh Tim Sukses resmi yang dilaporkan ke KPU. Santer beredar, bahwa capres incumbent disukung sedikitnya oleh 9 relawan siluman. Hal ini diakui leh salah seorang Ketua DPP Partai Demokrat Max Sopacua.
Kesembilan tim itu adalah Tim Echo, GPS, Sekoci, Delta, Romeo, Foxtrot, Jaringan Nusantara, Majelis Dzikir Nurussalam, dan Barindo. Semua tim tersebut ditopang oleh nsur jenderal intelijen.
Salah seorang jenderal pendukung SBY, Mayjen (Purn) Djali Yusuf, memberi bocoran. “Operaisi tentara itu kan ada yang terbuka dan tertutup. Jadi kalau kita mau bergerak, ya tidak semua harus terbuka. Ada juga orang yang tidak suka dengan kemampuan kita. Tapi ada yang kita buka, kampanye terbuka, dialogis bisa dipantau. jadi masing-masing mempunyai cara, ada operasi terbuka dan tertutup,” ungkap mantan Pangdam Sultan Iskandar Muda, Aceh, itu.
Djali menjabat Koordinator Keamanan dan Pengawasan Kampanye di Tingkat Nasional Tim Sukses SBY pada Pilpres 2004. Saat ini ia menjabat Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik menggantikan Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid atau Yenny Wahid, putri Gus Dur.
Dari kesembilan tim pendukung SBY, yang paling berpengaruh adalah Tim Echo pimpinan mantan Panglima TNI Marsekal (Purnawirawan) Djoko Suyanto. Tim ini memiliki tugas khusus untuk melakukan gerakan-gerakan intelijen hingga ke daerah-daerah. Tim ini mengadopsi fungsi teritorial di militer yang tujuannya mendongkrak perolehan suara.
Tak kalah dengan Tim Echo, GPS yang dipimpin Marsekal Madya (Purn) Suratto Siswodihardjo merupakan tim penopang fungsi intelijen, khususnya yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Sementara Tim Sekoci yang pada pemilihan legislatif menjadi penyokong Partai Demokrat bertugas mendata tokoh masyarakat, pengusaha, tokoh agama, tokoh perempuan, petani dan nelayan. Tim ini diketuai Komisaris Utama PT Indosat Soeprapto, dan Staf Khusus Presiden bidang pertahanan Wakil Ketua Irvan Edison.
Selanjutnya Tim delta. Meskipun hanya bertugas mengurusi logistik kampanye, namun juga tak lepas dari fungsi intelijen. Karena itu beberapa jenderal purnawirawan ikut dipasang dalam tim ini.
Sedangkan tim lain, yakni Foxtrot dan Romeo, bertugas menggalang komunikasi, simpati masyarakat melalui media massa, dan kelompok masyarakat, termasuk di dalamnya mengaktifkan kembali Jaringan Nusantara yang dipimpin aktivis yang kini menduduki komisaris di perusahaan plat merah, Andi Arif.
Yang tak kalah pentingnya adalah Barindo. Tim ini memiliki jasa yang cukup signifikan dalam mengantarkan SBY meraih kemenangan pada Pilpres 2004. Belakangan tim ini pecah. Kubu Letjen (Purn) M Yasin mendirikan Barindo Raya yang kini berdiri dibelakang capres Megawati. Menurut Djali Yusuf, semua tim sukses itu langsung di bawah koordinasi Presiden SBY. “Kita bergerak di lapangan, dan koordinasinya langsung ke Pak SBY,” kata Djali.
Diluar itu, masih ada sejumlah tim lain yang tak kalah pentingnya. Sebut saja misalnya Blora Center, Bravo Media Center, dan banyak lagi lainnya.
Sementara Tim Mega-Prabowo juga memiliki sejumlah tim siluman. Diantaranya adalah Barindo Raya pimpinan M Yasin. Tim ini memegang peranan cukup sentral dalam tim intelijen Mega-Prabowo. Apalagi dia menjabat sebagai koordinator penggalangan massa. Hal ini tak lepas dari keberhasilan Yasin ketika menjadi Tim Sukses SBY pada Pilpres 2004 silam.Meskipun tugas utama tim ini adalah menggalang dukungan dari tokoh masyarakat, namun dalam praktiknya, Barindo Raya cenderung menjadi motor penggerak aksi intelijen.
Selain Barindo Raya, masih ada beberapa organisasi siluman lainnya. Diantaranya ya adalah Pandu Prabowo, Poros Ampresa, Brigade Masjid, dan beberapa lainnya. Dan yang pasti Dewan Jenderal yang berdiri di belakang pasangan Mega-Prabowo merupakan think thank dari semua operasi intelijen kubu ini. Semua tim ini memiliki fungsi yang hampir sama. Perbedaannya pada model pendekatan dan wilayah garapan. Kalaupun publik lebih mengenal Barindo karena organisasi ini memang sengaja dijadikan sebagai pendobrak.
Pandu Prabowo bertugas menyasar dukungan dari kalangan aktivis mahasiswa, ormas, organisasi pemuda, serta anggota-anggota partai lain. Brigade Masjid menggarap masyarakat atau kelompok-kelompok Islam.
Bagaimana dengan kubu JK-Wiranto? Modusnya nyaris sama. Meskipun di permukaan lebih mengandalkan tim resmi yang beranggotakan 650 orang, namun JK-Wiranto sebenarnya termasuk pasangan yang memiliki tim siluman paling banyak. Sebagian besar berupa ormas-ormas yang belakangan marak menyampaikan dukungan resmi ke arah pasangan ini. Saat ini pasangan capres dari Golkar dan hanura ini memang paling bayak mendat dukungan ormas, mulai dari ormas keagamaan hingga yang bersifat nasionalis.
Diluar itu, JK-Wiranto juga memiliki tim siluman utama. Yang paling berperan adalah Tim Garuda pimpinan Marsdya (Purn) Basri Sidehapi. Tim beranggotakan puluhan jenderal ini memiliki spesialisasi gerakan di bawah permukaan, khususnya menyangkut intelijen dan kontra intelijen.
Tim lain yang bergerak aktif saat ini ada¬lah Tim Relawan Pelangi. Dipimpin Muha¬m¬mad Iqbal Miad Saad, adik kandung Mufidah Jusuf Kalla, tim itu mengorganisasi sejumlah komunitas pendukung JK. Di antaranya, komunitas majelis dzikir, ko¬munitas JK Fans Club, komunitas sopir dan pekerja transportasi, komunitas lintas agama, komunitas TNI, komunitas nelayan, komunitas buruh dan serikat pe¬kerja, komunitas seni-budaya, dan Barisan Massa JK-Wiranto.
Komunitas lain yang tengah menggalang massa adalah Masyarakat Peduli Sesama (MPS). Didirikan pengusaha alat berat dan energi Edy Joenardi, MPS bergerak memberdayakan masyarakat pedesaan di Jawa Barat dan DKI. MPS mengorganisasi petani tebu, membuat desa mandiri energi, desa mandiri tirta, komunitas tukang ojek dan pe¬da¬gang pasar, serta komunitas rural lain.
Tugas berbeda disandang Tim Negarawan Center. Lembaga yang didirikan Johan Silalahi itu melakukan penggalang¬an di media massa melalui riset dan penjajakan pendapat pemilih (polling) serta meng-create isu-isu strategis untuk pencitraan JK-Wiranto. Salah satu anggota tim ini adalah Irfan Asy'ari Sudirman, putra sulung KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah). Lelaki yang akrab dipanggil Ipang ini memegang peranan prnting dalam pencitraan JK. Atas rekomendasi Irfan lah JK kini rajin mengenakan kopiah. Tak sekadar menunjukkan identitasnya sebagai warga nahdliyin, melainkan juga untuk menyiasati tinggi badannya yang mungil.
Tim sukses yang paling lama mendukung JK adalah Lembang Sembilan. Pada Pemilu Presiden 2004, Lembang Sembilan merupakan tim kampanye resmi SBY-JK yang, antara lain, dipimpin Alwi Hamu (kini staf khusus Wapres), Sofyan Djalil (kini menteri negara BUMN), dan Fahmi Idris (kini Menperin). Kini Lembang Sembilan beralih nama menjadi Institut Lembang Sembilan. Tugas tim itu melakukan penggalangan di media massa dan peng¬organisasian relawan di daerah-daerah.
Tim lain adalah Presidium Pemuda Indonesia. Tim yang beranggotakan mantan-mantan tokoh organisasi mahasiswa dan kepemudaan, seperti KNPI, HMI, PMII, dan KAHMI, itu bertugas menggalang dukungan dari organisasi massa dan mantan aktivis mahasiswa.
Semua tim relawan tadi berada dibawah kendali Tim Garuda. Semua konsep dan strategi gerakan yang dilakukan melalui koordinasi dengan tim Dewan Jenderal itu. Alasannya, setiap kegiatan atau gerakan selalu memiliki sisi intelijen.
Jelas sudah, betapa besarnya peranan para pensiunan jenderal itu dalam gerakan inteliden para capres-cawapres.

Netralitas di Tengah Geliat Elit

Oleh: Rovy Giovanie
Keterlibatan dan keberpihakan para elit NU dalam politik praktis mau tak mau menyeret ormas terbesar ini ke gelanggang politik praktis. Ironisnya deretan catatan kegagalan tak juga membuat jera. Menurunkan wibawa NU?

Wajah Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi belakangan kerap nongol di TV. Dengan gaya khasnya, dia memuji-muji capres Jusuf Kalla yang bakal maju dalam Pilpres 2009 bersama cawapres Wiranto. Bagi Hasyim, JK adalah kader NU dan sosok yang baik untuk memimpin negeri ini.
Ya. Pemimpin tertinggi di kelembagaan PBNU ini memang tampil dalam salah satu iklan kampanye JK-Win. Pria kelahiran Tuban, Jawa Timur ini, nampaknya ingin memberi sokongan penuh guna menyukseskan JK-Win dalam Pemilihan Presiden mendatang. “Alhamdulillah, akhirnya ada warga NU yang menjadi capres setelah sebelumnya hanya menjadi cawapres (calon wakil presiden),” kata Hasyim di kantor PBNU.
Tak cukup hanya melalui iklan, para kiyai NU pun digerakkannya. Dalam doa pembukaan Musyawarah Kerja Wilayah I PWNU Jawa Timur, beberapa waktu lalu misalnya, pengasuh Pondok Pesantren Besuk, Pasuruan, Kiai Mas Ahmad Subadar mendoakan agar JK menjadi Presiden RI yang menjaga akidah ahlussunah wal jamaah.
Arah dukungan elit NU ke JK-Win memang terang benderang. Ketua Tanfidziyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur KH Hasan Mutawakkil Alallah bahkan memberanikan diri menyebut bahwa sebagian besar kiai pengasuh pondok pesantren NU di Jatim siap menyukseskan pasangan kandidat Presiden dari Golkar dan Hanura itu. Kalau para kyai sepuh pada turun berarti kepengurusan tim sukses juga diambil dari pengurus pondok pesantren, sehingga efektif dalam mendulang suara. “Saya benar-benar kagum, para kiyai sepuh kini kompak mendukung JK-Win. Ini berbeda dengan Pilgub Jatim lalu yang sempat terpecah belah,” tegasnya.
JK-Win memang menggarap basis massa NU dengan sangat serius. Sejumlah pasukan khusus yang beranggotakan para tokoh pesantren telah dibentuk. Untuk menunjang efektivitas kerja mereka, JK pun membuka hotline khusus. Bahkan para kyai yang ingin bertemu JK cukup hanya dengan mengirimkan pesan singkat melalui SMS.
"Setelah kirim SMS, berangkat ke Jakarta dan setelah itu pasti ketemu. Prosedurnya dibuat sangat mudah," jelas pimpinan Pondok Tebuireng Jombang, KH Solahuddin Wahid alias Gus Solah.
JK tahu betul kelebihannya dalam menggarap massa NU. Di antara ketiga capres, dia memang paling dekat hubungan emosionalnya dengan NU. Saat ini JK tercatat sebagai Ketua Mustasyar NU wilayah Sulawesi Selatan. Ayah JK, Hadji Kalla sejak dulu sudah dikenal sebagai bendahara NU Sulsel. Belum lagi dengan dukungan Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) – pecahan PKB, yang juga sebagian besar tokoh-tokohnya berasal dari NU. Pada Pemilihan Anggota Legislatif lalu, PKNU bahkan mampu ‘mencuri’ suara yang cukup signifikan di daerah-daerah yang semula merupakan basis massa PKB.
Menurut Ahmad Bagdja, salah seorang Ketua PBNU, kecocokan para kyai Jatim dengan JK juga diperkuat dengan terpenuhinya syarat-syarat Presiden yang diajukan oleh para ulama NU. Setidaknya ada tiga kriteria Presiden yang selama ini disosialisasikan para kyai kepada santrinya. Pertama, tidak memandang agama sekedar hak dan kebutuhan individual sebagaimana pemahaman kamum sekuralis. NU menghendaki agar agama benar-benar dijadikan sebagai ruh yang mewarnai segala aktivitas kenegaraan. Kedua, pemimpin yang memberi perhatian besar terhadap pendidikan kaum nahdliyin yang sebagian besar merupakan masyarakat akar rumput. Dengan demikian kaum nahdliyin mampu meningkatkan kualitas sumber dayanya. Ketiga, harus berani memihak ekonomi rakyat kecil. Misalnya dengan cara menganggarkan secara nyata dan jelas berbagai bentuk program pemberdayaan rakyat miskin dalam APBN. Juga kebijakan-kebijakan pemerintah yang berpihak dan melindungi rakyat tak mampu. “Karena kecocokan itu, sehingga para kyai merasa klop dan memiliki beban moral untuk mendukung sesama warga NU,” ungkap Bagdja.
Meski demikian semua petinggi NU mengelak bila hal ini disebut dukungan formal atau bersifat kelembagaan. “Secara organisasi, baik vertikal maupun horisontal, NU tidak boleh berpihak kepada salah satu capres-cawapres,” tegas Bagja. Secara vertikal artinya dari tingkat pusat hingga ke cabang dan ranting. Sedangkan secara horisontal mencakup 10 organisasi otonom, 14 lembaga, dan dua lajnah yang dinaungi PBNU. “Menggunakan atribut NU saja tidak boleh, apalagi dukungan resmi. Ini sesuai dengan khittah, kode etik, dan AD/ART NU,” tambah Bagja.
Sejak Muktamar Situbondo 1984, secara organisatoris NU memang kembali ke khittahnya tahun 1926. Artinya, NU tidak lagi menjadi organisasi keagamaan yang berafiliasi ke salah satu partai politik atau menjadi partai politik seperti pada Pemilu 1955. Keterlibatan secara politik sesuai dengan khitah sebatas keterlibatan individu. Namun, dalam pelaksanaannya, ternyata tak berjalan mulus. Langkah-langkah yang dilakukan para elitnya cenderung nyerempet pelanggaran khittah. Mulai dari keterlibatan dan pemihakan terhadap salah satu calon dalam Pilbup, Pilgub hingga Pilpres seperti sekarang ini.
Menurut Guru Besar Sosiologi dan Rektor IAIN Sunan Ampel Prof Dr Nur Syam MSi, sangatlah sulit dihindarkan terseretnya gerbong organisasi NU ketika elitnya memasuki percaturan politik praktis. “Memang agak rumit menjustifikasi keterlibatan seseorang di dalam dunia politik, apakah atas nama individu atau organisasi. Namun, jangan dilupakan bahwa ketika seorang pimpinan organisasi memasuki kawasan tersebut, maka secara langsung atau tidak akan menyeret institusinya,” ujar Nur Syam.
Sebagai contoh adalah era NU semasa Orde Baru. Keterlibatan NU dalam politik kala itu mengakibatkan hampir seluruh akses NU dalam pengembangan masyarakat menjadi bermasalah. Banyak lembaga pendidikan NU yang tidak dapat mengakses kemajuan. Demikian pula institusi ekonomi, kesehatan, dan sebagainya. “Medan politik merupakan medan paling rawan. Dari medan ini, segala benang ruwet NU tidak mampu diurai, bahkan bisa saja masalahnya menjadi semakin krusial,” tambahnya.
Barangkali karena itulah Gus Sholah belakangan ini merasa gelisah. Keterlibatan NU yang terlalu dalam pada Pemilu Presiden 2009 ini dikhawatirkan akan membuat organisasi ini kian tercabik-cabik. Cucu pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari, mengungkapkan sejumlah fakta bahwa keterlibatan NU dalam politik praktis selama ini ---pilpres, pilgub, pilbub, dan sebagainya-- ternyata justru menjadikan NU terkerangkeng di dalam sebuah permainan politik yang tidak menyenangkan. Karena itu, menurutnya, dalam menghadapi Pilpres 2009 ini NU harus mampu menyikapinya secara cerdas.
Gus Sholah sendiri pernah mengalami sendiri ketika maju sebagai cawapres mendampingi Wiranto pada Pilpres 2004 lalu. Berbeda dengan Hasyim yang tak mengundurkan diri – hanya nonaktif dari jabatan Ketua Umum PBNU -- meski maju sebagai cawapres mendampingi Megawati, Gus Sholah mengundurkan diri secara resmi sebagai Ketua PBNU. Toh kedua pentolan NU ini mengalahkan pasangan SBY-JK untuk melengang ke istana. Artinya, nahdliyin ternyata tidak serta merta memilih capres-cawapres dari NU, meskipun yang tampil itu pimpinannya sendiri.
Setelah kekalahan itu terjadi memang sempat muncul berbagai apologi. Ada yang mengatakan kekalahan Mega-Hasyim pada Pilpres putaran kedua tahun 2004 itu disebabkan penolakan nahdliyin memiliki presiden wanita. Ada juga yang berpendapat bahwa hal itu terjadi lantaran Hasyim dan Gus Sholah hanya duduk sebagai cawapres.
Toh, apapun alasannya, fakta politik tak bisa dibantah: Pilihan nahdliyin ternyata sama sekali tidak identik dengan pilihan para elitnya. Bahkan ketundukan santri terhadap pilihan kyai pun belakangan kian memudar seiring dengan meningkatnya kesadalan politik rakyat. Terlalu banyak contoh untuk bisa disebutkan, termasuk dalam pelaksanaan Pemilu Legislatif 2009.
Begitu pun dengan pelaksanaan Pemilihan Presiden 2009 ini, suara NU sama sekali jauh dari kata bulat. Meski pucuk pimpinan NU mengimbau pengikutya untuk memilih JK-Win, namun berbagai survei menunjukkan keunggulan pasangan SBY-Boediono yang terpaut cukup jauh dibandingkan dengan JK-Win dan Mega–Pro. Bahkan survei yang dilakukan secara khusus oleh LP3ES terhadap warga nahdliyin, ternyata menunjukkan sekitar 39,2% di antaranya memilih pasangan SBY-Boediono. Ini artinya pasangan incumbent tetap leading dibandingkan dua pesaingnya.
Nahdliyin memang tak mungkin dikangkangi hanya oleh salah satu pasangan calon. Tingginya jumlah mereka yang kabarnya mencapai sekitar 50 hingga 80 juta jiwa itu menjadi magnet tersendiri bagi setiap pasangan kandidat. Apalagi semua pasangan capres-cawapres –termasuk parpol pengusungnya—memiliki kader yang berlatarbelakang NU tulen. Mereka inilah yang bergerilya dengan berbagai cara untuk merebut hati kaum bersarung ini.
Pasangan SBY-Boediono, misalnya, malah berkeyakinan mampu menggaet dukungan suara maksimal dari basis massa NU. Ketua Umum DPP KPB Muhaimin Iskandar yang merupakan salah satu anggota koalisi pengusungnya sejak jauh-jauh hari telah bergerilya ke pesantren-pesantren kampung. Dia menjanjikan sekitar 10 juta suara untuk SBY dalam Pilpres nanti.
SBY sendiri juga tak mau kalah dengan JK. Di saat Hasyim Muzadi menggadang-gadang JK, awal Juni lalu, capres incumbent ini langsung menemui Rois Aam Syuriah PBNU, KH Sahal Mahfudl. Ia dating khusus ke kediamannya di kompleks Ponpes Maslakul Huda, Kajen, Pati, Jawa Tengah. Dan, seperti kita tahu, dalam struktur kepengurusan NU, Rois Aam Syuriah memang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dibanding Ketua Umum Dewan Tanfidliyah. Selain itu, Kyai Sahal juga dikenal sebagai kyai sepuh yang paling disegani di Indonesia.
Sejauh ini memang tidak terungkap apa sebenarnya hasil pembicaraan SBY dengan Kyai Sahal. Hanya, menurut Ketua DPP PKB Marwan Ja'far yang memfasilitasi pertemuan tersebut, SBY diterima dengan sangat baik oleh Kyai Sahal. Pada kesempatan itu, SBY bahkan memberikan sambutan dalam grand opening Sekolah Tinggi Agama Islam Matholi'ul Falah (STAIMAFA), milik Ponpes Mbah Sahal. "Ini bukti bahwa Pak SBY memang diterima para kyai yang selama ini mengurusi umat dan punya massa. Tentu ini akan memudahkan bagi PKB yang memang dari awal bermitra dengan para kiyai untuk menjamin pemenangan SBY-Boediono," papar Marwan.
Untuk menggarap massa NU, pasangan SBY-Boediono langsung menyasar ke akar rumput, yakni para santri dan kyai kampung. Sejumlah kyai berpengaruh ikut dikerahkan. PKB mendapat jatah garapan di wilayah Jawa, sedangkan PPP wilayah luar Jawa dan daerah perkotaan.
Aktivitas pengajian dan istighsah juga digalakkan, baik di perkotaan maupun di pedesaan. KH Noer Mohammad Iskandar SQ, misalnya, beberapa waktu lalu menggelar istighosah di Senayan untuk mendoakan agar SBY-Boediono menang dalam satu putaran. "Mereka berharap duet SBY-Boediono menang dalam satu putaran. Alasanya demi penghematan dana pemilu dan tak mau repot-repot memilih capres baru karena belum tentu lebih baik," kata Ketua Umum Majelis Silaturahmi Kiai dan Pengasuh Ponpes se-Indonesia ini.
Sementara kubu Mega-Prao, meskipun kurang popular di kalangan NU, namun tak berarti nihil dukungan. Sejumlah nama tokoh ormas Islam ini masuk dalam tim sukses pasangan ini, baik resmi maupun tak resmi. Sebut saja di antaranya, Wakil Sekjen GP Anshor Maskut Chandranegara dan Yeny Wahid. Melalui Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi), mereka menargetkan raihan suara NU sekitar 2,5 juta pemilih.
Bila dibandingkan dengan dua kandidat lainnya, Mega-Pro memang jauh lebih miskin dukungan kyai. Pada acara silaturrahmi dan doa bersama yang digelar oleh para kyai di Malang, Jatim, akhir pekan lalu, misalnya, tak banyak undangan yang hadir. Mereka yang datang di antaranya KH Abdul Azis, Gus Salim, dan KH Muhammad Ridwan.
Apapun itu, yang jelas keinginan untuk membulatkan suara NU untuk mendukung salah satu capres hanyalah sebuah impian. Karena itu, kekhawatiran Gus Sholah akan tercabik-cabiknya NU akibat tidak bijaknya sikap para elit dalam Pilpres kali ini, kiranya patut untuk direnungkan. Terlalu mahal kalau nama besar NU tercoreng gara-gara ‘ambisi’ pribadi sejumlah elit NU sendiri. Apalagi, menurut Pengasuh Ponpes Rodhotul Tholibin Rembang KH Musthofa Bisri (Gus Mus), sebagian besar orang NU tidak mengerti dan tidak siap berkuasa. Ia mencontohkan kasus Pemilu Legislatif yang lalu ketika ada yang mendirikan partai. Meski menurut perhitungan partai itu tidak bisa besar, pengurus partai yang orang NU tersebut menyatakan tidak apa-apa partainya kecil asal baik. ''Jawaban seperti itu jelas menunjukkan orang NU tersebut tidak tahu soal politik praktis sehingga tidak siap berkuasa. Lha wong, politik praktis itu tujuannya kekuasaan kok malah bikin partai kecil. Yang benar seharusnya bikin partai yang besar agar bisa berkuasa,'' tegas Mustasyar PBNU ini.
Bagi Gus Mus, orang NU yang siap berkuasa adalah Gus Dur. Tetapi, sayangnya, ketika berkuasa Gus Dur kesulitan mencari orang NU yang siap berkuasa untuk mendampinginya saat menjadi presiden dulu.
Berdasarkan pengalaman panjang yang tak mengenakkan itu, Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, menyarankan para pimpinan NU mampu mengerem diri. “Bila NU terjun ikut bargaining politik, maka wibawa sebagai lembaga moral dan intelektual akan turun,” katanya.
NU memiliki kelebihan historis dan moral, terutama karena terlahir sebelum Indonesia merdeka dan ikut berinisiatif melahirkan negara. Karena itu, NU seharusnya tetap berada di atas semua dan melahirkan putra-putra terbaiknya untuk memajukan bangsa dan negara. “Kalau ternyata putra terbaik itu kemudian jelek, tarik, panggil ke induknya. Ya menjadi pengawas semacam Mahkamah Konstitusi begitulah kira-kira,” terang Komaruddin.
Tetapi sayang harapan itu nampaknya sulit terwujud. Meski de jure NU berusaha menjalankan khittah. Namun de facto-nya, para pucuk pimpinannya justru berusaha menarik gerbong NU untuk memenuhi kepentingannya masing-masing. Rupanya mereka belum kapok juga meski telah berkali-kali jatuh di lubang yang sama.


Antara Siklus 29 Tahunan dan Tuntutan Jaman

Oleh: Rovy Giovanie
Derasnya arus gerakan politik kalangan elit NU konon sebagai pertanda bakal bangkitnya kekuatan politik NU di tanah air. Tetapi realitas politik nahdliyin yang terpecah belah saat ini seolah menafikan cita-cita kaum idealis itu.

Tahun 2013 nanti NU akan menjadi partai politik besar. Semua partai dan elemen berbasis NU akan bersatu untuk bisa tampil ke tampuk kekuasaan. Ini dilakukan guna menghadapi bangkitnya kekuatan-kekuatan yang bisa menjadi ancaman bagi ajaran ahlu sunnah wal jamaah.
Demikian keyakinan yang tertanam pada sebagian aktiivis dan politisi muda NU. Hal ini tentu saja bukan tanpa alasan. Bukan juga ramalan ala Mama Laurence. Kesimpulan ini dicapai berdasarkan perhitungan siklus 29 tahunan yang selama ini terjadi di tubuh ormas terbesar di Indonesia ini.
Bagi nahdliyin, siklus 29 tahunan memang sudah dikenal luas. Musababnya adalah salah satu bagian dari isi AD/ART pertama yang dibuat oleh para pendiri NU. Intinya, AD/ART itu menyebutkan bahwa NU berdiri untuk masa waktu 29 tahun. Dalam muktamar NU berikutnya kemudian dictum ini diubah menjadi, ”NU didirikan untuk waktu tidak terbatas”.
Namun bila ditelusuri secara seksama, siklus 29 tahunan itu memang nyata adanya. NU selalu mengalami perubahan pola dan strategi gerakan secara fundamental setiap 29 tahun. Siklus pertama terjadi pada era 1926 – ketika NU pertama kalinya berdiri —hingga 1955. Ini merupakan masa-masa awal NU yang dipimpin langsung oleh para pendirinya, terutama KH. Hasyim Asy’ari.
Rentang 29 tahun pertama ini, NU dikenal sebagai jam’iyyah yang konsisten menjaga akidah ahlussunnah wal jamaah degan visi kebangsaan dan keindonesiaan. Ini direalisasikan dengan keterlibatan NU dalam perjuangan bangsa ketika ikut mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Memasuki 1955, NU mengalami perubahan mendasar. Organisasi ini menjelma sebagai partai politik. Langkah ini diambil lantaran kekecewaan NU sehingga keluar dari Masyumi pada 1952. Setelah melalui pembahasan dan perdebatan internal yang cukup tajam akhirnya NU secara resmi dideklarasikan sebagai partai politik pada 1954.
Siklus 29 tahunan kedua adalah rentang 1955 sampai dengan 1984. Era dimana NU telah menjelma menjadi partai politik. Hanya dengan masa persiapan setahun, NU memberanikan diri mengikuti Pemilu multi partai yang pertama kalinya digelar dalam sejarah republik ini pada 1955. Meskipun sebagai pendatang baru, raihan suara NU ternyata cukup signifikan, yakni 18,41 persen, dibawah PNI (22,32%) dan Masyumi (20,92%). Sedangkan PKI di urutan keempat dengan perolehan suara 16,36 persen.
Beberapa tahun setelah Orde Baru berkuasa, tepatnya pada 1972, Partai NU bersama partai-partai Islam lain dipaksa fusi ke dalam wadah partai baru bernama Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Perubahan secara fundamental terjadi di tubuh NU ketika siklus kedua menjelang akhir, yakni 1984. Waktu itu digelar Muktamar NU ke-27 di Situbondo, Jawa Timur. Hasilnya, Munas mengambil keputusan revolusioner, yakni keluar dari politik praktis. Keputusan ini memantapkan hasil Munas NU satu tahun sebelumnya (1983) perihal positioning Partai NU yang sempat berfusi ke dalam PPP.
Keputusan untuk kembali ke khittah NU tahun 1926 ini menjadi titik balik memasuki siklus ketiga. Para kyai yang berperan besar dalam momen bersejarah ini adalah para tokoh muda NU ketika itu: KH. Ahmad Sidiq (alm), KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan KH. Mustofa Bisri (Gus Mus). Hingga kini, Gus Dur dan Gus Mus banyak mewarnai jagat perpolitikan tanah air.
Merujuk pada siklus 29 tahunan ini, maka titik balik siklus keempat terjadi pada 2013. Para politisi muda NU berkeyakinan bahwa yang akan terjadi pada tahun itu adalah menjelmanya kembali NU sebagai partai yang utuh. Menurut mereka, tanda-tandanya sudah nampak sejak Pemilihan Presiden 2004 hingga Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden 2009.
Tampilnya Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi sebagai cawapres mendampingi Megawati pada Pemilihan Presiden 2004 silam dianggap sebagai pemantiknya. Kegagalan Hasyim dalam Pemilu Presiden tersebut tak serta merta menyurutkan syahwat politik mereka. Dari jajaran elit tingkat cabang hingga PBNU masih menyimpan ‘dendam’ untuk berkuasa. Bahkan belakangan cukup banyak kader NU yang berhasil memenangkan pemilihan Gubernur atau kepala daerah lainnya di sejumlah tempat, termasuk DKI Jakarta yang dimenangkan oleh Fauzi Bowo, kader NU.
Kegagalan partai-partai berbasis massa NU seperti PKB dan PPP juga dianggap sebagai alasan untuk membangkitkan Partai NU. Tetapi alasan mendasar yang dinilai sebagai pendorong utama berdirinya Partai NU adalah meningkatnya ancaman terhadap eksistensi ahlu sunnah wal jamaah seiring dengan melesatnya kekuatan Jaringan Islam Liberal (JIL), kelompok yang sebenarnya banyak dimotori sanak-keluarga nahdliyin. Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi bahkan secara terang-terangan menyebut JIL sebagai ancaman. Isu ini pula yang dijadikan Hasyim sebagai bahan bakar untuk menggerakan semangat kebangkitan kembali politik NU. “Nahdliyyin harus memilih presiden Indonesia yang mau berjuang dan berdakwah untuk Islam. Sebab, akidah Islam saat ini sedang dalam ancaman, terutama aliran-aliran sesat, seperti Jaringan Islam Liberal,” ucap Hasyim, beberapa waktu lalu.
Wacana tentang bahaya JIL telah meluas di kalangan para kiyai. Bahkan isu ini sudah menjadi bahasan dalam bahtsul-masail NU. Meskipun, sejauh ini belum jelas apakah sudah ada keputusan resmi dari PBNU tentang sesatnya Islam liberal.
Di luar isu JIL, fenomena gesitnya gerakan PKS sebagai parpol berbasis ideologi Wahabi – dan melemahnya partai-partai yang didirikan warga NU -- juga dinilai sebagai ancaman. Terlebih dalam Pemilu 2009 dimana PKS dianggap semakin blak-blakan tentang paham Wahabi yang dianutnya.
Kalangan internal NU menduga, problematika ini, termasuk wacana tentang pendirian Partai NU, akan menjadi topik dalam Muktamar NU ke-32 akhir 2009 ini. Hasyim Muzadi disebut-sebut sebagai salah seorang motor penggerak di balik upaya pengembalian NU ke jalur politik praktis. Karena itu dalam Muktamar mendatang Hasyim memiliki kepentingan besar untuk memasang orang-orangnya di dalam kepengurusan PBNU demi menjalankan misi dalam menghadapi JIL , paham Wahabi, dan hal lain yang menurutnya merupakan ancaman bagi kaum nahdliyin.
Alasan itu pulalah yang melandasi kuatnya dukungan Hasyim terhadap pasangan JK-Wiranto. Apalagi sebuah sumber dari kalangan dekat Hasyim menyebutkan, posisi Hasyim sebagai Ketua PBNU dalam bahaya bila sampai SBY-Boediono berhasil memenangkan Pilpres mendatang. “Kalau sampai SBY menang, dia akan merekayasa Muktamar guna mengganti Pak Hasyim dengan Pak Muhammad Nuh yang sekarang menjabat Menkominfo. Ini kan bahaya, karena Pak Nuh tidak memiliki ikatan historis dengan NU,” jelas sumber yang enggan disebutkan namanya tadi.
Sejauh ini, kebenaran isu tadi memang belum diketahui. Baik pihak SBY maupun Hasyim enggan mengomentari hal tersebut. Tetapi yang pasti, isu yang digulirkan para elit NU – termasuk Hasyim Muzadi -- guna menyukseskan JK-Wiranto adalah ancaman dari kelompok Jaringan Islam Liberal dan penyebaran paham Wahabi di bumi Indonesia. Meskipun, seperti biasa, para tokoh NU sendiri banyak yang tak sependapat dengan Hasyim. Bahkan sejumlah tudingan miring dilamatkan ke arah Hasyim. Ia dituding memperalat isu-isu aliran sebagai alat untuk mencapai kepentingannya.
Menurut Gus Sholah dalam sebuah artikelnya, terlalu naïf kalau NU berupaya merebut kekuasaan hanya untuk kepentingan-kepentingan sempit. “Apakah Presiden RI harus berdakwah untuk kepentingan salah satu agama, apalagi sampai terlibat dalam masalah internal seperti memerangi ajaran-ajaran sesat? Tugas Presiden adalah menegakkan UUD dan UU secara adil serta melindungi seluruh tumpah darah dan rakyat, tidak boleh memihak kepada salah satu agama,” demikian Gus Sholah.
Selain itu, pihak-pihak yang menjadi sasaran juga membantah tudingan Hasyim tadi. Ketua PKS Tiffatul Sembiring, misalnya, secara tegas membantah kalau partainya disebut sebagai penganut aliran Wahabi. "PKS jelas-jelas bukan sebuah aliran Wahabi, yang menurut sebagian orang cenderung mengabaikan amal dalam Islam yang sudah menjadi tradisi dalam masyarakat, seperti acara tahlilan dan doa qunut," kata Tifatul, beberapa waktu lalu.
Yang jelas, menurut Tifatul, para anggota Majelis Syuro PKS 60% harus memiliki latar belakang pendidikan syariah. Selebihnya, barulah kemampuan ilmiah. "Syarat ini mutlak harus dilakukan, karena dari awal PKS telah mengklaim dirinya sebagai partai dakwah dengan dasar Al-Qur'an dan Hadits," ujarnya
Terlepas dari polemik itu, yang jelas era politik aliran memang telah memudar. Merosotnya perolehan suara parpol-parpol berbasis massa Islam adalah salah satu indikasi kuatnya. Pun dengan rendahnya angka warga nahdliyin yang memilih partai Islam juga merupakan indikasi yang jauh lebih kuat.
Tren yang terjadi dalam percaturan politik ke depan tak lagi mengedepankan simbol dan ideologi.. Lihat saja misalnya, otak-atik koalisi partai menuju Pemilihan Presiden mendatang tak begitu mempersoalkan identitas partai. Partai politik yang sedang merangkai koalisi itu tampak lebih bangga mengedepankan platform atau visi apa yang kemudian hendak diperjuangkan.
Pada titik ini sesungguhnya bangsa Indonesia sudah mulai merintis kembali gagasan yang berbasiskan kewarganegaraan terbuka, dengan sikap terbuka itu berarti pengakuan serta kesediaan untuk menerima perbedan identitas dan latar belakang yang beragam untuk membentuk satu komunitas politik yang sama, demi terwujudnya cita-cita masyarakat adil dan makmur.
Oleh sebab itu, pandangan-pandangan yang memimpikan bangkitnya kembali Partai Islam dianggap sebagai sebuah nostalgia yang tak pernah kesampaian. Menurut Gus Sholah, tampilnya Gus Dur sebagai Presiden pada SU MPR 1999 adalah puncak capaian NU dalam kehidupan politik. Dan hal itu dicapai Gus Dur melalui cara-cara yang inklusif laiknya seorang tokoh demokrasi.
Tak bisa dipungkiri bahwa NU sebagai salah satu pergerakan, akan selalu dinanti-nanti perannya dalam membawa perubahan dan perbaikan berbagai sektor kehidupan. Tak tertutup kemungkinan ketika NU berani merangkul umat agama lain ataupun kalangan lain, ia akan menjadi penggerak gerbong-gerbong transformasi sosial dan penguatan civil society.
Tetapi tak bisa dipungkiri bahwa penarikan diri NU dari politik praktis membawa keuntungan dan kerugian sekaligus, baik secara kelembagaan maupun individual. Kalau dulu patronase -- dalam bentuk bantuan dari pemerintah dan berbagai macam fasilitas -- mengalir melalui PBNU ke wilayah dan cabang, maka setelah kembali ke khittah 1926 semuanya menjadi berubah. Kini, setiap kiai bebas menjalin hubungan dengan Bupati atau Gubernur.
Ini menyebabkan menurunnya pamor dan pengaruh pengurus pusat terhadap warga di daerah. Secara kelembagaan, PBNU kehilangan sanksi efektif untuk memaksakan loyalitas kepada warganya. Suara nahdliyin menjadi jauh lebih cair dalam pelaksanaan pesta demokrasi, baik Pileg maupun Pilpres. Kondisi seperti ini yang justru sesuai dengan potret kehidupan sosial politik masa depan yang jauh dari kesan dan praktik-praktik eksklusivisme.
Karena itu tak berlebihan kalau banyak tokoh NU kultural menutup kemungkinan menjelmanya kembali NU sebagai sebuah partai politik layaknya Partai NU pada 1955 dulu. Apalagi saat ini para kader potensial NU telah tersebar di berbagai parpol nasionalis. Kecil kemungkinan untuk menyatukan mereka semua. Karena ini berarti mereka harus meninggalkan posisi strategis yang diraihnya melalui perjuangan panjang dan susah payah.

Perlawanan dari Surabaya

Oleh: Rovy Giovanie
Dugaan kecurangan dalam pelaksanan Pilgub Jatim ternyata membekas tegas. Kabarnya muslimat NU telah sepakat bulat menggembosi suara SBY. Benarkah?

Jauh-jauh hari, Fatayat NU Jawa Timur telah mengumandangkan genderang ‘perang’. Lawannya tak tanggung-tanggung: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kini maju sebagai capres bersama cawapres Boediono untuk berlaga dalam Pilpres 8 Juli mendatang.
Penyebabnya, kekecewaan mereka atas hasil Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Timur yang diduga penuh kecurangan. Organisasi wanita kaum nahdliyin yang bermarkas di Surabaya (SBY) ini menilai Presiden berada dibalik kekalahan cagub-cawagub yang mereka usung, yakni Khofifah Indar Parawansa – Mudjiono (KaJi). "Warga nahdliyin dari kalangan perempuan di Jatim maupun seluruh Indonesia, tak akan memilih SBY. Kami akan kampanye, agar tidak memilih SBY," tandas Ketua Fatayat NU Jawa Timur, Farida Hanum.
Pada Pilkada tersebut, pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf (KarSa) keluar sebagai pemenang atas duet KaJi. Selisihnya sangat tipis, hanya 0,4% suara. Padahal, hasil hitung cepat (quick count) beberapa lembaga survei seperti LSI, LSN, SSC, dan Puskaptis, pasangan KaJi unggul dibandingkan pasangan KarSa, dengan rata-rata perolehan suara 50,6% berbanding 49,3%.
Inilah yang memicu desas-desus tentang pengaruh Istana dalam menentukan siapa pemenang Pilkada Jatim. Pasalnya KarSa merupakan pasangan calon yang sejak awal diusung Partai Demokrat, parpol yang melambungkan SBY ke kursi RI -1.
Publik pun lantas mengait-ngaitkan kekalahan KaJi sebagai buah dari skenario besar SBY untuk melenggang kembali pada Pilpres 2009 ini. Mereka menuding SBY menggerakkan birokrasi dari tingkat provinsi sampai kabupaten dan kecamatan untuk mendukung KarSa.
Cukup banyak indikasi yang mengarah pada kesimpulan ini. Yang paling jelas, menurut Hanun, adalah maraknya kampanye hitam (black campaign) ke arah KaJi, sehari menjelang masa pencoblosan.
Keyakinan kecurangan kian menguat setelah diketahui adanya sejumlah bukti yang mengarah pada upaya penggelembungan suara dan manipulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT). Ironisnya, kasus ini seolah dihentikan secara sengaja di tengah jalan. Bahkan Irjen Herman Surjadi Sumadiredja yang semula berniat mengusut kasus ini akhirnya dicopot secara mendadak dan diganti oleh Irjen Anton Bachrul Alam sebagai Kapolda Jatim yang baru.
Kejengkelan pendukung Khofifah kian menjadi-jadi setelah gugatan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) juga mentok. Mereka haqqul yaqin bahwa SBY melakukan intervensi ke MK, karena bukti-bukti kecurangan yang mereka ajukan ke MK sangat jelas dan bukti-buktinya lengkap hingga ratusan ribu kecurangan suara. "Jika SBY tidak intervensi ke MK, kami yakin menang," ucap pendukung Khofifah ini.
Atas dasar itu, Fatayat NU bertekad bulat untuk memboikot SBY pada Pilpres mendatang. Ini tidak hanya dilakukan oleh Fatayat NU Jatim saja, melainkan juga di daerah-daerah lain se-Indonesia. “Kami tidak main-main dalam hal ini,” tandasnya.
Bila ini benar-benar dilakukan, maka potensi kehilangan suara bagi SBY-Boediono cukup signifikan. Untuk Jatim saja saat ini terdapat sekitar 29 juta pemilih. Diperkirakan, sepertiganya adalah kalangan perempuan nahdliyin yang dihimpun ke dalam organisasi Fatayat NU.
Kini, Khofofah beserta rombongannya telah merapat ke kubu JK-Wiranto. Wanita cerdas dan tegas ini bahkan menjadi salah satu ikon andalan tim JK-Win. Sejumlah iklan dan media kampanye lainnya berhiaskan foto Khofifah.
Sumber internal NU dan tim sukses JK-Win menyebutkan bahwa merapatnya Fatayat NU terjadi setelah terjadinya bargaining. Pembicaraan dengan JK diawali dengan pertemuan terbuka bersama para pengurus dan sejumlah anggota Fatayat. Dalam pertemuan itu, salah seorang di antaranya langsung mengajukan syarat kepada JK untuk bisa mendapatkan dukungannya. Syarat itu tak lain adalah jabatan menteri untuk mantan Menteri Peranan Wanita era Presiden Gus Dur itu. “Mendengar itu, JK tak berpikir lama. Dia spontan menjawab ‘ya’,” tutur sumber tadi kepada Mimbar Politik.
Sejak saat itu, Khofifah bersama gerbongnya secara resmi merapat ke kubu JK-Win. Khofifah bahkan berjanji untuk mengupayakan bulatnya suara Fatayat dalam mendukung JK-Win pada Pilpres mendatang.
Kalangan internal NU tak meragukan kemampuan Khofifah menjaga keutuhan suara Fatayat. Setidaknya hal ini telah dibuktikan Khofifah pada Pilgub Jatim yang lalu. Yang pasti, menurut Gus Sholah, soliditas suara Fatayat dan muslimat NU jauh lebih kuat dibandingkan dengan nahdliyin.
Tapi, kubu SBY-Boediono tak tinggal diam. Melalui PKB, PPP, dan sejumlah tokoh kyai sepuh, mereka berusaha melawan boikot yang dilakukan Khofifah dan kawan-kawan. Janji PKB untuk menggolkan 10 juta suara nahdliyin di Jatim tak lain termasuk rencana untuk ‘mencuri’ suara massa Khofifah.
Selain itu isteri SBY, Ani Yudhoyono, juga mulai diaktifkan untuk bersafari ke sejumlah kelompok pengajian ibu-ibu, atau minimal melakukan ramahtamah dengan muslimat dan Fatayat NU. Selasa dua pekan lalu (9/6), misalnya, di sela-sela kunjungan kerja SBY ke Semarang, Ibu Negara itu menghadiri Harlah ke 59 Fatayat NU, di Masjid Agung Jawa Tengah, Semarang. Pada acara ini hadir sekitar tiga ribu undangan yang terdiri dari Pengurus Pusat, Pengurus Wilayah, Pengurus Cabang, Pengurus Ranting serta anggota Fatayat dari seluruh Indonesia. Tampak juga Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dan Menteri Agama Maftuch Basuni dan sejumlah pejabat lainnya.
Acara ini seolah berupaya mementahkan klaim Khosifah tentang bulatnya dukungan Fatayat ke arah JK-Win. Setidaknya ini bisa dilihat dari kesungguhan Ani Yudhoyono untuk tampil pada kegiatan itu. Mengenakan busana muslimah dan penampilannya yang ramah, dia berusaha akrab dan memberi perhatian kepada mereka yang hadir. “Perempuan adalah salah satu pilar untuk membangun negara yang baldatun toyyibatun wa Robbun Ghofur,” demikian secuil dari pidato sambutannya yang panjang lebar.
Tentu saja istri SBY itu tidak datang dengan tangan kosong. Sebuah Bussines Development Center (BDC) Fatayat NU diresmikannya juga kala itu. BDC merupakan wadah pembinaan dan pendampingan terhadap anggota yang memiliki keterampilan usaha dan potensial di sektor bisnis kecil dan industri rumah.
Ini sebenarnya merupakan proyek bantuan dari pemerintah. Meski demikian, secara politis hal ini memiliki dampak psikologis terhadap warga NU untuk bersimpati kepada sang isteri Presiden itu. Meskipun, tentu saja hal ini tidak serta merta berarti bakal mengalirnya dukungan dari Fatayat ke arah SBY-Boediono pada Pilpres nanti.
Sebelum pencoblosan dilakukan, apapun bisa terjadi. Bisa saja Khofifah akan kehilangan basis suaranya. Tetapi tak mustahil juga SBY benar-benar ditinggalkan para perempuan NU itu.


Siluman Sapi Perahan Dalam Pilpres

Oleh: Rovy Giovanie
BUMN kembali digunjingkan. Dana perusahaan milik negara ini kabarnya mengalir ke arah pasangan SBY-Boediono dan JK-Wiranto.

Banyak dana di bawah meja, ‘pasukan jin’ yang memberi sumbangan luar biasa besar, tapi tidak pernah dilaporkan. Ganjar Pranowo, anggota Tim Sukses Mega-Prabowo, kesal lantaran banyaknya komisaris BUMN yang masuk dalam tim sukses dua kandidat pesaingnya, yakni SBY-Boediono dan JK-Wiranto.
Sebagai pasangan kandidat yang pernah berkuasa, tim Mega-Prabowo memang paham betul bagaimana modus kecurangan yang kerap dilakukan incumbent dalam menggalang dana kampanye atau keperluan lainya. Yang paling lazim dilakukan adalah penggunaan dana ‘siluman’ dari BUMN.
‘Tradisi’ ini telah berlangsung selama bertahun-tahun, sejak era Orde Baru hingga saat ini. Saat Mega berkuasa, misalnya, penempatan Lakamana Sukardi sebagai Meneg BUMN menjadi sorotan tajam para pengkritisi. Disinyalir bahwa penempatan laks tersebut tidak lepas dari kepentingan penggalangan dana untuk pemenangan PDIP. Apalagi waktu itu Laks menduduki posisi bendahara dalam kepengurusan DPP PDIP.
Meskipun hal ini sulit dibuktikan, toh wacana itu telah menjadi semacam fakta. Tak heran bila politisi dan tokoh dibelakang Mega-Prabowo yang pertama kali mencurigai adanya dana siluman yang mengalir ke kas tim sukses capres incumbent. Bocornya sejumlah nama komisaris yang tercantum dalam tim sukses SBY-Boediono dan JK-Wiranto kabarnya merupakan hasil kerja intelijen kubu Mega-Prabowo.
Adalah mantan Kapolri Susanto yang pertama kali disebut-sebut sebagai salah seorang komisaris BUMN dibelakang SY-Boediono. Saat ini pensiunan polisi berpangkat jenderal itu memang menjabat sebagai Komisaris Utama Pertamina. Dalam tim kampanye SBY-Boediono, nama Sutanto sebenarnya tidak tercantum. Tetapi dia memimpin organisasi pendukung pasangan incumbent itu bernama Gerakan Pro SBY (GPS), sebuah organisasi relawan untuk memperjuangkan kemenangan SBY-Boediono dalam Pilpres 8 Juli mendatang.
Untuk menghindari penolakan publik Sutanto akhirnya memutuskan diri mundur dari tim sukses bayangan tersebut, awal pecan lalu. Belakangan diketahui bahwa Sutanto ternyata tidak sendirian. Deretan nama komisaris BUMN tercantum dalam susunan tim resmi dan tim bayangan. Tak hanya pada kubu SBY-Boediono, tetapi juga JK-Wiranto.
Menurut data yang dirilis Badan Pengawas Pemilu, pecan lalu, tak kurang dari 9 komisaris BUMN tercantum dalam susunan tim resmi SBY-Boediono dan tujuh orang lainnya masuk dalam tim bayangan. Sementara dalam tim JK-Wiranto memasang sedikitnya empat orang komisaris BUMN. Lengkapnya lihat tabel.
Para petinggi BUMN tersebut telah menjalani pemeriksaan oleh Bawaslu. Hasilnya, memang terbukti bahwa mereka tercantum dalam daftar tim sukses masing-masing kandidat. Sebagai tindak lanjutnya, Bawaslu bakal melaporkan penandatangan surat pengangkatan tim kampanye SBY-Boediono dan JK-Wiranto ke polisi. Menurut anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Wirdyaningsih, dari pihak JK-Wiranto yang akan dilaporkan para penandatangan surat pengangkatan tim suksesnya. Ironisnya pada kubu capres-cawapres nomor tiga ini, JK dan Wiranto ikut menandatangani. Dalam Surat Keputusan bersama Partai Golkar dan Partai Hati Nurani Rakyat mengenai pembentukan tim kampanye, penandatangan adalah Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla, Sekretaris Jenderal Golkar Sumarsono, Ketua Umum Hanura Wiranto dan Sekretaris Jenderal Hanura Yus Usman.
Sedangkan pihak SBY-Boediono, yang menjadi terlapor adalah Hatta Radjasa sebagai Ketua Tim Kampanye Nasional dan Marzuki Ali dalam kapasitas sebagai Sekretaris Tim Kampanye Nasional.
Menurut konsultan hukum Bawaslu, Bambang Widjajanto, mereka dikenakan pasal 216 Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden. Mereka dijerat selaku pelaksana kampanye yang mengikutsertakan pejabat BUMN. Ancaman pidananya penjara paling singkat 3 bulan dan paling lama 12 bulan dan denda paling sedikit Rp 30 juta dan paling banyak Rp 60 juta.
Larangan pejabat negara terlibat dalam tim kampanye juga tertuang dalam Pasal 217 UU No 42/2008. Ancaman pidananya adalah hukuman penjara paling singkat enam bulan dan paling lama 24 bulan serta denda paling sedikit Rp 25 juta dan paling banyak Rp 50 juta. Pejabat negara lain yang dilarang kampanye adalah pejabat badan peradilan, BPK, dan Bank Indonesia.
Dengan demikian, para komisaris BUMN yang terbukti terlibat dalam kampanye Pilpres ikut menjadi terlapor yang diajukan Bawaslu ke kepolisian. Dari 20 orang pejabat BUMN yang telah diperiksa Bawaslu, 15 diantaranya masuk dalam daftar terlapor, sedangkan 5 orang sisanya lolos dari pelaporan karena berhasil mengklarisikasi ke pihak Bawaslu. Kelima orang itu adalah Tanri Abeng, Rekson Silaban, Soemarsono, Yahya Ombara, dan Sulatin Umar.
Lolosnya lima orang tersebut, menurut Bambang, karena berhasil membuktikan ketidaktahuannya kalau namanya masuk dalam tim kampanye. Achdari, misalnya. Ketua Dewan Pengawas Perum Peruri itu memang merupakan pengurus Partai Demokrat, tetapi tidak mengerti kalau juga dimasukkan sebagai tim sukses. "Pak Achdari, tidak pernah mengakui bahwa dia resmi menjadi tim sukses SBY-Boediono. Beliau tidak menyetujuinya," kata Bambang sambil membacakan surat klarifikasi Achdari tersebut.
Alasan senada terlontar dari Komisaris Utama PT Telkom Tanri Abeng. Pengusaha berjulukan Manajer Satu Miliar ini ngotot kalau dirinya juga sama sekali tidak mengetahui kalau dirinya masuk dalam daftar tim kampanye JK-Wiranto. Bagi Tanri, keterlibatannya dalam kampanye merupakan sesuatu yang tidak mungkin dilakukannya saat ini. "Dan itu saya pegang mati-matian," tandasnya.
Pantas saja kalau Tanri membantah tegas. Pasalnya tuduhan yang dialamatkan ke arahnya bisa sangat serius. Yang diperkarakan saat ini memang sebatas keterlibatannya dalam tim kampanye Pilpres. Tetapi sangat terbuka kemungkinan kasus ini berkembang menjadi penyalahgunaan dana BUMN untuk kepentingan capres tertentu. Dan bila terbukti, hukumannya juga sangat serius.
Keterlibatan para pejabat BUMN memang mengundng kecurigaan banyak pihak. Dari pengalaman masa lalu, pelibatan mereka tak lebih dari upaya untuk mengalirkan dana ‘siluman’ BUMN ke kas tim kampanye. Di lain pihak, sang pejabat juga mendapat imbalan kelanggengan jabatan atau bahkan promosi ke tingkat jabatan yang lebih tinggi. "Ada simbisosis mutualisme antara parpol dan pejabat BUMN. Kandidat itu mengajak pejabat BUMN untuk kepentingan pembiayaan untuk dana kampanye capres-cawapres," pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Lili Romli.
Namun tudingan itu dibantah tegas. Menurut anggota Tim Sukses SBY- Boediono, Syarif Hasan, pihaknya tidak sedikit pun mendapatkan bantuan dana kampanye dari BUMN. "Dana jelas tidak ada yang berasal dari Komisaris BUMN, dana dari BUMN itu haram hukumnya," tegasnya.
Syarif kemudian menjelaskan duduk posisi para komisaris BUMN di dalam tim sukses SBY-Boediono. Menurutnya, mereka hanya menjadi pemikir saja, bukan pemain lapangan. "Soal Komisaris BUMN, masuknya dia bukan di struktural tapi sebagai pemikir, fungsional saja," ujar Syarif.
Jadi, hal ini terjadi lantaran perbedaan penafsiran mengenai pejabat BUMN. . "Di satu sisi ada penafsiran bahwa komisaris BUMN itu adalah pejabat, di sisi lain ada yang mengatakan bahwa pejabat BUMN itu adalah mereka yang duduk di jajaran direksi yang dapat mewakili perusahaan baik di dalam dan di luar pengadilan," sambung Amir Samsudin, kordinator advokasi Tim Kampanye SBY-Boediono.
Kini, nama-nama para pejabat BUMN itu sudah bersih dari susunan tim kampanye Pilpres. Kubu SBY, misalnya, telah mengganti mereka dengan nama lain. Namun, Amir menyayangkan kenapa Bawaslu tidak mencermati hal ini sejak awal. Toh susunan tim kampanye Pilpres telah diajukan oleh masing-masing pasangan capres-cawapres sejak jauh hari.
Bagi sebagian kalangan, heboh dana siluman dari BUMN saat ini tidak banyak berarti. Diduga, dana-dana ‘siluman’ itu sudah mengalir sejak jauh hari. “Dana siluman itu perlu ditanyakan dan diaudit. Bagaimana suatu partai yang tiga tahun lalu relatif miskin tiba-tiba menjadi sangat kaya-raya. Dari mana uangnya?” kata mantan Menko Ekuin Rizal Ramli.
Sebelumnya, Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Yunus Husein, telah mengindikasikan terjadinya transfer dana siluman dari BUMN dan BUMD kea arah parpol tertentu. "Secara ekonomis (transaksi) bagi BUMN atau BUMD tidak menguntungkan, tapi bisa diduga sponsor bukan karena pertimbangan ekonomis. Dampaknya soal pencitraan. Mungkin lebih banyak faktor komando, ya?" katanya.
Yunus tak memastikan jumlah dan nilai transaksi mencurigakan dari BUMN dan BUMD itu. Ia hanya mengatakan bahwa jumlahnya mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah.
Fenomena BUMN dan BUMD sebagai sapi perahan sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Dari satu pemerintahan ke pemerintahan lainnya, praktik ini tak pernah mati.
BUMN merupakan elemen modal paling besar dalam perkembangan modal domestik di Indonesia. Aktivitas kapitalisme negara ini dimulai pada pertengahan 1950-an di masa Soekarno. Pada 1957-1959 BUMN didirikan sebagai respons terhadap nasionalisasi perusahaan Belanda, karena belum ada pengusaha swasta domestik yang cukup kuat. Kebanyakan BUMN didirikan di sektor perkebunan dan perdagangan, sebagai cara untuk menandingi modal internasional yang waktu itu dimiliki Belanda dan swasta nonpribumi, untuk membentuk modal swasta-nasional-pribumi. Saat ini terdapat 145 BUMN di Indonesia meliputi kategori, a. Sektor sumber daya: Pertamina, Timah, Aneka Tambang, Perhutani; b. Sektor perbankan: BRI, BNI, Bank Mandiri, BTN; c. Sektor manufaktur: Pusri, Krakatau Steel, dan; d. Sektor distribusi komoditi dasar: Bulog.
Di masa Soeharto (Orde Baru), BUMN merupakan sumber pendapatan penting bagi faksi politik dan ABRI, juga sebagai basis akumulasi kekayaan pribadi bagi pemegang kekuasaan politik. Pembobolan BUMN dilakukan dengan beragam alasan. Melalui cara bersih yaitu alokasi kontrak untuk konstruksi, distribusi, alokasi konsesi pengeboran minyak dan eksploitasi hutan (HPH), juga wahana untuk membangun patronase penguasa politik. Juga melalui beragam kegiatan penyisihan laba bersih untuk pembinaan usaha kecil/koperasi. Di mana ketentuan penyisihan dan penggunaan ditetapkan Menteri BUMN (Pasal 2 dan 88 UU No 19/2003 tentang BUMN). Ada pula BUMN yang berdalih sumbangan lainnya dalam bentuk program community development (kemitraan dan bina lingkungan).
Pada era Habibie tak jauh berbeda. Bahkan di era pemerintahan Megawati, jabatan di BUMN bahkan menjadi semacam komoditas bagi para broker, dengan melibatkan berbagai pihak, baik di pemerintahan maupun parlemen. Ketidakjelasan mekanisme seleksi pimpinan BUMN menjadi peluang tersendiri bagi broker untuk bermain. Nama-nama yang akan diusulkan bisa berasal dari si broker, DPR, pejabat Kantor Menteri Negara BUMN, lembaga-lembaga kajian "dadakan" atau juga pengusaha kagetan.
Ironis memang. Tetapi itulah faktanya. Entah sampai kapan praktik semacam ini berlangsung. Sejauh politik masih menjadi bahan dagangan, kiranya BUMN masih akan selalu menjadi sapi perahan. Ya, aliran dana siluman dari sapi perahan itu akan terus mengucur.

Pusing Karena Satu Putaran

Oleh: Rovy Giovanie
Kampanye pemilu satu putaran membuat pusing para lawan politik pasangan SBY-Boediono. Mereka rupanya kurang pede akan kemampuannya?

Empat triliun rupiah. Itulah biaya yang menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan dihemat bila pemilihan presiden (Pilpres) berlangsung satu putaran. "Jika berlangsung satu putaran sekitar Rp 4 triliun, namun jika dua putaran, maka bisa bertambah lagi," kata Ketua KPU A Hafiz Ashary dalam jumpa pers di Jakarta, pekan lalu.
Sontak KPU dituding berkonspirasi dengan capres SBY-Boediono. Lembaga penyelenggara Pemilu itu dianggap tidak netral lagi karena telah mengkondisikan publik agar mendukung kampanye ‘Pemilu Satu Putaran’ yang tengah digelorakan oleh pasangan incumbent. Tak kurang organ Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pun iktu mencerca Hafiz Anshary. “Ini jelas menunjukkan ketidakprofesionalan KPU. Alasan tak punya dana, jelas mengada-ada. Pemilu itu dilindungi undang-undang dan dianggarkan, kenapa sekarang menyatakan lebih baik satu putaran,” tegas Ketua Devisi Pemantauan Masyarakat dan Persatuan Wartawan Indonesia Pemantau Pemilu (Mapilu PWI) Nasional, Kamsul Hasan.
Bagi KPU, pernyataan Hafiz tak bermaksud untuk mempengaruhi pandangan publik. Ia hanya ingin menjelaskan kondisi keuangan KPU dalam menghadapi Pilpres yang membutuhkan tambahan. Dana Pemilu dan Pilpres 2009 sebagaimana dianggarkan dalam APBN sebesar Rp 13,5 trilun. Dana itu telah diambil sebesar Rp 2,8 triliun untuk membayar biaya pelaksanaan tahapan Pemilu yang sebelumnya dianggarkan pada tahun 2008. Saat itu dana pelaksanaan pemilu tahun 2008 sebesar Rp 6,6 triliun tidak terserap semua sehingga dikembalikan ke negara Rp 2,8 triliun. Namun, jelas Hafiz, pelaksanaan anggaran 2008 itu mundur pada awal tahun 2009 sehingga menyerap anggaran 2009 sebesar Rp2,8 triliun. Oleh karena itu, jika Pilpres 2009 berlangsung dua putaran, maka KPU akan meminta tambahan dana Rp 2,8 triliun. "Menurut Pemerintah dana itu akan masuk dalam APBN perubahan," katanya.
Tetapi panasnya suhu politik kerap menimbulkan berbagai persepsi. Maksud baik bisa ditafsirkan buruk. Sebaliknya maksud buruk bisa ditangkap baik. Apapun itu, pakar politik UGM Ary Dwipayana menyayangkan upaya mengaitkan gerakan ‘Pilpres Satu Putaran’ dengan efisiensi biaya. Itu dianggap tidak fair. Sebab dalam konstitusi dibuka ruang dan peluang dua putaran. “Cara berpikir ini yang sekarang perlu dibangun dan ditegakkan. Ini konsekuensi dari UU. Kalau mau satu putaran saja, kenapa tidak mengubah UU. Maka bisa dilihat sebagai paradoks logika, efisiensi, dan mereduksi aspirasi,” jelas Ary ketika dihubungi Mimbar Politik.
Dalih efisiensi biaya kampanye memang sangat efektif untuk mempengaruhi publik. Penghematan biaya Rp 4 triluan tidaklah kecil. Untuk membuat jembatan Suramadu –jembatan terpanjang di Asia Tenggara—saja ‘cuma’ membutuhkan Rp 2,8 triliun. Bahkan Ketua MPR Hidayat Nur Wahid berani mengatakan bahwa Indonesia akan mampu membangun Suramadu Kedua bila Pilpres berlangsung satu putaran.
Selain itu, Pilpres satu diperkirakan mendapat dukungan besar dari kalangan dunia usaha. Karena berlarut-larutnya Pilpres berdampak signifikan terhadap pertumbuhan bisnis mereka. Menurut Direktur Penelitian dan Perbankan Bank Indonesia (BI) Halim Alamsyah, pemilu satu putaran berdampak positip bagi pertumbuhan kredit perbankan. "Karena mereka sudah yakin dengan arah kebijakan pemerintah dan kemudian ada demand yang kuat pasca pilpres," katanya.
Para developer properti juga ikut mengunduh manfaatnya bila Pilpres cuma sekali putaran. Alasannya, para pengusaha properti menjadikan Pilpres sebagai ukuran utama untuk memulai menggelontorkan investasinya. “Semakin cepat pilpres selesai, maka semakin baik,” jelas pengamat properti dari Pusat Studi Properti Indonesia, Panangian Simanungkalit.
Tingginya efektivitas kampanye model baru dari SBY-Boediono ini pantas membuat pusing para pesaingnya. Mereka beramai-ramai menentang kampanye ini melalui berbagai cara. Jusuf Kalla, misalnya, berusaha membalikkan logika penghematan biaya Pilpres sekali putaran. Bagi capres asal Partai Golkar ini, Pilpres satu putaran justru akan membuat rakyat merugi jauh lebih besar. "Benar memang menghemat Rp 4 triliun dan benar Rp 4 triliun itu besar. Tapi kalau salah memilih pemimpin, kita bisa rugi ratusan trilliun," kesal JK usai menghadiri debat capres bersama 1.000 perempuan di Hall Senayan City lantai 8, Senayan, Jakarta, Kamis (18/6).
Kubu JK memang merupakan penentang paling keras terhadap kampanye model ini. Semua lini digerakkan untuk melakukan contra campaigne. Melalui jubirnya, Hajriyanto Yasseir Thohari, kampanye Pilpres Satu Putarab merupakan teror politik yang bisa mengikis kedaulatan rakyat dalam melaksanakan pesta demokrasi.
Sementara kubu Megawati-Prabowo yang semula menentang keras belakangan mulai melunak. Bahkan kini relawan Barindo Raya memasang iklan bertajuk ‘Kita Dukung Pilpres Satu Putaran untuk Nomor 1’. Iklan ini dipasang berdampingan dengan iklan Denny JA, pendiri Lingkaran Survey Indonesia (LSI) di halaman depan website Rakyat Merdeka Online.
Denny JA merupakan penggagas sekaligus Ketua Umum Gerakan Nasional “Setuju Satu Putaran Saja”. Beberapa hari terakhir, dia memasang iklan kampanye ini satu halaman penuh di sejumlah media massa. Dalam iklan itu Denny menyatakan, pilpres satu putaran akan membuat penghematan besar di tengah krisis ekonomi dunia saat ini. Selain itu, pihak yang bersaing dapat bersatu kembali secara lebih cepat dan pemerintah juga akan lebih cepat fokus kembali mengatasi problem bangsa.
Sejauh ini Denny tak menjelaskan alasan dibalik kampanyenya. Yang pasti pihak SBY-Boediono membantah berada di belakang Denny. Apalagi pasangan incumbent ini telah memiliki konsultan politik, yakni Fox Indonesia.yang digawangi trio Mallarangeng.
Apapun perdebatan soal Pilpres satu putaran, yang jelas tidak terjadi pemaksaan kehendak. Bagi Ketua DPP Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, pihaknya siap menghadapi situasi apapun, baik satu putaran ataupun dua putaran. “Yang penting, jangan sampai ikhtiar yang demokratis untuk Pilpres satu putaran dianggap aneh dan bentuk arogansi," tandasnya.
Kalau saja semua pasangan capres-cawapres benar-benar siap dan pede tidaklah perlu cemas atau pusing menghadapi kampanye satu putaran. Toh akhirnya rakyat juga yang akan menentukan. Tidak ada jaminan SBY-Boediono akan menang. Apalagi beberapa survey menunjukkan penurunan popularitas pasangan ini.
Selain itu, persyaratan menang dalam satu putaran ternyata juga tidak mudah. Tidak cukup hanya dengan memenangkan suara 50 persen lebih. “Perolehan suara yang dominan itu harus ditopang dengan sebaran yang merata di 50 persen provinsi,” jelas pakar Hukum Tata Negara, Irman Putra Sidin.
Tidak hanya itu, sebaran suara di 50 persen provinsi juga masih harus memenuhi syarat
minimal 20 persen. Jadi, biar menyebar di 50 persen provinsi, kalau perolehan suaranya di bawah 20 persen juga tidak memungkinkan untuk langsung dinyatakan terpilih dan pilpres hanya berlangsung satu putaran.
Barangkali karena alasan ini, belakangan kubu SBY-Boediono lebih menggencarkan kampenye Pilpres Satu Putaran di daerah-daerah. Hampir semua relawan dikerahkan untuk misi ini. Sasarannya adalah massa mengambang (swing voter). Di Sulawesi Selatan –daerah basis massa JK--, misalnya, Gerakan Pro SBY (GPS) aktif membagikan undangan gerakan pemilihan presiden “Satu Putaran Saja.” Sejumlah spanduk dan baliho berukuran besar pun dipasang dengan pesan serupa.
Ya, untuk bisa menang, apalagi dalam satu putaran, SBY memang tak punya pilihan lain, kecuali harus menempuh strategi terobosan. Apalagi para lawan politiknya juga semakin beringas dalam menggerogoti popularitas yang telah dibangunnya.

Jalan Lempang Sang Presiden Bersahaja!

Oleh: Rovy Giovanie
Masih mengenakan busana pengantin lengkap, pekan lalu, seorang wanita cantik berjalan terbata-bata mendatangi TPS di sudut kota Teheran. Wanita bernama Rubiah itu meninggalkan pesta pernikahan di rumahnya yang masih berlangsung. Ia khawatir terlambat untuk memberikan suara dukungannya kepada calon pemimpin idamannya.

Pemandangan menarik ini hanyalah gambaran tentang betapa bersemangatnya warga Iran –khususnya penduduk miskin— dalam menyuksesan Pemilu di tengah upaya pihak-pihak tertentu untuk mengagalkan kemenangan calon incumbent, Mahmoud Ahmadinejad. Warga Indonesia yang tinggal disana, Dina Sulaeman, melalui blognya menceritakan, yang dilakukan Rubiah itu juga terjadi pada penduduk miskin lainnya.
Besarnya partisipasi penduduk miskin ini bisa dipahami. Upaya penjegalan terhadap Ahmadinejad memang luar biasa. Jauh hari sebelum masa pencoblosan, para agen AS di Iran gencar melakukan provokasi agar rakyat tidak berpartisipasi dalam Pemilu.
Tetapi upaya ini rupanya gagal. Keberpihakan rakyat akhirnya menghadiahi Ahmadinejad kemenangan telak. Dengan tigkat partisipasi masyarakat mencapai 85 persen, Jumat dua pekan lalu (12/6), calon incumbent meraih 24.527.516 suara atau sekitar 62.63 % dari total suara 39,165,191. Posisi kedua diduduki Mir Hossein Moussavi yang mengantongi 13,216,411 suara (33.75 %), diikuti Mohsen Rezaei dengan 678,240 suara (1.73 %) dan Mehdi Karroubi 333,635 suara (0.85 %).
Hasil ini jelas tidak sesuai dengan harapan AS. Kontan saja Gedung Putih langsung menyuarakan penolakan, dengan dalih terjadinya kecurangan. Melalui Menlu Hillary Clinton, pemerintahan pimpinan Presiden Barack Obama itu tak mengakui kemenangan Ahmadinejad. “Kami menunggu bukti-bukti kecurangan dalam proses pemilihan tersebut,” kata Hillary.
Tak kalah lantangnya dengan Hillary, pesaing utama Ahmadinejad, Mousavi, menuntut pembatalan hasil Pemilu. Ia bersurat kepada Dewan Pertimbangan Iran dan meminta Pemimpin Spiritual Ayatullah Ali Khamenei untuk segera melakukan penyelidikan. Pemimpin tertinggi Iran yang semula mendukung kemenangan Ahmadinejad itu pun memutuskan untuk melakukan investigasi.
Tetapi banyak pengamat dalam dan luar negeri menengarai bahwa tindakan Mousavi tidak berdasar. Menurut mereka, upaya kecurangan justru lebih banyak dilakukan oleh pihak-pihak yang menentang naiknya kembali Ahmadinejad, termasuk para agen AS yang tak henti-hentinya melakukan provokasi.
Pilpres kali ini memang menjadi ajang pertarungan yang tajam antara dua kubu. Pihak konservatif (mahafizh) diwakili Ahmadinejad dan Mohsen Razai, mantan pucuk pimpinan Garda Revolusi Iran. Sedangkan kubu reformis (ishlahi) direpresentasikan oleh mantan PM Iran Mir Hossein Mousavi dan tokoh utama parlemen Mehdi Karoubi.
Penolakan AS terhadap Ahmadinejad sudah terjadi sejak jauh hari. Dia dianggap sebagai ancaman bagi perdamaian Timur Tengah. Kebijakan luar negerinya dianggap bisa memicu berkobarnya kembali konflik Palestina vs Israel.
Tokoh yang berkuasa di Iran sejak 2005 ini memang tak mengakui keberadaan Israel. Di depan sidang PBB, dia pernah meminta agar Israel dihapus dari peta dunia. Alasannya, Negara zionis itu terlalu banyak melakukan kejahatan kemanusiaan. Ia juga menganggap pembantaian yang pernah menimpa ribuan warga Israel (holocaust) tak lebih dari sekedar mitos yang mengada-ngada.
Memburuknya hubungan Iran dengan AS dan Barat terjadi sejak suksesnya gerakan revolusi Islam Iran (1979) yang menggulingkan rezim imperium Syah Iran (Pahlevi) --sekutu terdekat Amerika dan Israel. Hubungan kian memburuk pasca bergulirnya agenda pengembangan nuklir Iran di masa kepemimpinan Ahmadinejad.
Bagi Ahmadinejad, tak ada alasan Barat melarangnya mengembangkan nuklir. Selain karena apa yang dilakukan untuk tujuan damai, selama ini Amerika dan Barat juga tak pernah menegor Israel yang diduga kuat melakukan pengembangan nuklir untuk tujuan tidak damai. Salah satu buktinya adalah penggunaan senjata kimia oleh pasukan Israel ketika menyerang Palestina beberapa waktu lalu.
Sikap semacam ini rupanya masih menjadi pilihan mayoritas penduduk Iran. Ditambah lagi dengan kemulaiaan dan kesederhanaan gaya hidup Ahmadinejad, sehingga ia kian dielu-elukan, terutama oleh warga miskin.
Ahmadinejad lahir di daerah desa pertanian Aradan, dekat Garmsar, sekitar 120 kilometer arah tenggara Teheran. Saat lahir, anak keempat dari tujuh bersaudara ini diberi nama Mahmud Saborjihan. Nama ini dipertahankan hingga sebuah keputusan besar mendorong keluarganya hijrah ke Teheran pada paruh kedua tahun 1950-an. Di Teheran itulah ayahnya, Ahmad Saborjihan, mengganti namanya menjadi Mahmud Ahmadinejad sebagai isyarat religiusitas dan semangat mencari kehidupan yang lebih baik. Dalam bahasa Persia, Saborjihan berarti pelukis karpet, pekerjaan rakyat kebanyakan di sentra karpet seperti Aradan. Sedangkan Ahmadinejad berarti ras yang unggul, bijak dan paripurna.
Harapan orang tuanya rupanya terwujud. Pada 2005, penyandang gelar doktor bidang teknik dan perencanaan lalu lintas dan transportasi dari Universitas Sains dan Teknologi Iran (IUST) ini berhasil memenangkan Pemilu. Kemenangan mantan walikota Teheran ini cukup mengejutkan dunia internasional, karena sebelumnya dia tidak banyak dikenal.
Tetapi bagi rakyat Iran, terpilihnya Ahmadinejad menjadi semacam berkah.
Ahmadinejad ternyata sosok pemimpin tauladan. Sebuah stasiun TV swasta AS, Fox, pernah melaporkan betapa bersahajanya kehidupan sang presien. Pada saat pertama menduduki kantor kepresidenan, ia menyumbangkan seluruh karpet Istana yang berharga sangat mahal kepada masjid-masjid di Teheran. Dia mengganti karpet istananya dengan karpet biasa yang berharga jauh lebih murah.
Pun demikian dengan ruangan berukuran besar di istana yang biasanya dipergunakan menerima tamu VVIP, ia memerintahkan untuk menutupnya. Ia menggantinya dengan ruangan biasa yang cukup untuk 2 kursi kayu. Meski sederhana, tetapi nyaman dan enak dilihat.
Dia tak pernah membeda-bedakan pegawai istana. Petugas kebersihan dan tukang kebun pun diajak bercengkerama dengan akrab. Sedangkan kepada para menterinya, ia secara rutin memintanya datang ke ruangannya untuk menyampaikan laporan dan kemudian dia memberinya arahan. Ia meniadakan kebiasaan seremoni red carpet, sesi foto, publikasi pribadi atau kunjungan-kunjungan keluar negeri yang tidak penting. Dengan demikian uang rakyat bisa dihemat.
Sebagai bentuk pertanggungjawabannya kepada rakyat, dia juga mengumumkan seluruh kekayaannya sebelum mulai menjabat. Begitu terpilih sebagai presiden pada masa jabatan pertamanya, publik banyak yang terkesima dengan Ahmadinejad yang ternyata tak punya kekayaan berharga.
Ia hanya memiliki mobil Peugeot 504 lansiran tahun 1977, rumah sederhana warisan ayahnya 40 tahun lalu. Rekening bank? Ternyata juga hanya beberapa dolar saja. Uang yang masuk hanya berasal dari gajinya sebagai dosen di sebuah universitas, sebesar US$ 250 per bulan. Sedangkan gajinya sebagai presiden tak pernah diambil, dengan alasan masih banyak rakyatnya yang lebih membutuhkan kesejahteraan.
Hebatnya, semua itu ternyata bukan jani-janji yang tak ditepati layaknya pemimpin di Indonesia. Dia menjalankan itu semua dengan konsisten dan sepenuh hati sampai akhir masa kekuasaannya dan bahkan kemudian terpilih kembali pada Pemilu pekan lalu.
Bayangkan, bagaimana bisa seorang presiden tidur beralaskan karpet di ruang tamu rumahnya yang sangat sederhana. Untuk makan pun dia tidak mau menikmati makanan mahal di tempat mewah, melainkan cukup dengan makanan ala rakyat biasa di ruang makannya yang juga jauh dari kesan mewah.
Kendaraan kepresidenan juga ditiadakan. Dia lebih suka mengendarai mobil bututnya. Demikian juga dengan pesawat kepresidenan, kini sudah disulap menjadi pesawat kargo sehingga dapat menghemat pajak rakyat. Ia memilih menggunakan pesawat komersial bila melawat ke negara lain. Itu pun bukan kelas eksekutif atau bisnis, tetapi kelas ekonomi.
Fasilitas hotel mewah juga tidak dikenalnya. Ia justru menolak ketika disediakan hotel mewah berukuran besar. Alasaannya, dia terbiasa tidur di lantai beralaskan karpet dan selimut. Satu hal yang membuat kagum adalah tas yang selalu ditenteng sendiri itu ternyata berisi roti isi atau roti keju yang disiapkan sang istr untuk sarapan atau makan siang. Luar biasa.
Tak heran kalau rakyat miskin sangat berkepentingan untuk memenangkannya pada Pemilu yang diumukan pekan lalu.

Manuver Politik ‘Kanak-Kanak’ Ala JK

Oleh: Rovy Giovanie
Klaim Jusuf Kalla atas sejumlah keberhasilan pemerintah membuat gerah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Capres yang masih menjabat presiden itu bahkan terpancing manuver politik wapresnya.

Capres SBY curhat. Aksi main klaim yang dilakukan JK rupanya begitu membekas di lubuk hati presiden berlatar belakang militer ini. Ia tak habis pikir kenapa orang yang selama lima tahun mendampinginya itu tega melakukan itu. "Kok begitu ya Mas?" Demikian curhat SBY kepada Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi.
Dalam kampanyenya belakangan ini, JK memang kerap mengklaim keberhasilan pemerintah sebagai buah dari kerja kerasnya secara pribadi. Sebut saja misalnya program Bantuan Langsung Tunai (BLT), swasembada beras, dan yang paling akhir diklaim adalah perdamaian di Aceh. Di sisi lain, JK tak pernah mengakui keterlibatannya atas sejumlah isu kegagalan pemerintah, seperti membengkaknya utang luar negeri, tingginya angka pengangguran, dan sebagainya.
Dalam kasus perdamaian Aceh, JK bahkan tidak hanya memamerkan jasa besarnya, tetapi juga menyindir SBY. Di hadapan sekitar seribuan massa di Banda Aceh, Sabtu (13/6), JK memang tajk secara langsung menyebut nama SBY, tetapi pemimpin atau presiden. Kalla menceritakan bagaimana presiden tidak menandatangani masalah perdamaian dan pendirian partai lokal di Aceh. Presiden, aku JK, hanya manggut-manggut ketika mendengar laporannya. "Sejak awal negosiasi itu yang menandatangani semua komitmen adalah wakil presiden. Tapi atas sepengetahuan presiden. Semua itu saya laporkan ke presiden. Coba periksa tidak ada tanda tangan siapa pun kecuali tanda tangan saya dalam perjanjian Helsinski itu," beber Kalla.
Ucapan ini sontak mengundang reaksi. Kubu SBY-Boediono. Jubir Tim Sukses SBY-Boediono Rizal Mallarangeng menilai JK telah mempolitisir kasus Aceh. Menurut Rizal, yang paling berhak dipuji atas perdamaian Aceh adalah rakyat Aceh itu sendiri. "Rakyat Aceh harus diberi salut sehingga perdamaian dimungkinkan," ucapnya.
Aksi bantah sepuatr jasa JK di Aceh berlangsung cukup lama. Sampai-sampai SBY sendiri tampak nelangsa. Dengan gaya bahasanya yang santun, capres dari koalisi Partai Demokrat ini menilai JK sudah bertindak berlebihan. “Kalau ada yang salah SBY. Kalau ada yang baik ‘saya’,” keluh SBY saat kampanye di Lampung, Selasa (16/6).
Aksi saling kliam ini memang patut disayangkan. Sejumlah pengamat menilai tindakan JK itu kekanak-kanakan dan kontraproduktif. Bukannya simpati publik yang akan diraih. Sebaliknya, rakyat justru kian antipati. Menonjolkan diri sebagai yang paling punya andil dan jasa terhadap keberhasilan bisa membuat tersinggung anyak pihak yang terlibat dalam proses pencapaiannya. "Secara kultural masyarakat Indonesia juga tidak senang dengan sentimen ke-aku-an," kata Direktur Eksekutif Charta Politica, Bima Arya Sugianto.
Klaim keberhasilan hanya menunjukkan ketidakikhlasan kalau ada orang lain ikut berjasa. Ketua MPR Hidayat Nurwahid memahami klaim terhadap hasil pembangunan maupun pembangunan yang sedang berjalan, sulit dihindari. Tapi, seharusnya mereka mengemas dengan komunikasi yang membawa pencerahan bagi masyarakat. Contohnya, walau calon presiden Jusuf Kalla ikut menandatangani proyek jembatan Suramadu, mestinya tetap menjelaskan bahwa tanpa ada persetujuan dari calon presiden incumbent Susilo Bambang Yudhoyono, mustahil penandatanganan akan terealisasi. Begitu juga dengan SBY. Mestinya mengakui meskipun dia yang meresmikan jembatan Suramadu, tetap proses perencanaan pembangunannya telah dimulai sejak jaman Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, sampai Presiden Megawati Soekarnoputri. “Begitu juga dengan Mega, mestinya bilang meski saya yang tancapkan tiangnya, tapi pembangunan dilanjutkan penerus saya sampai akhirnya diresmikan. Disinilah letaknya masyarakat melihat dimana letak kualitas dan kenegawaranan seseorang,” jelasnya.
Yang pasti, dalam sebuah negara yang menerapkan sistem presidensiil seperti Indonesia, segala keputusan dan kebijakan berada penuh di tangan Presiden. Presiden tentu dapat mendelegasikan otoritas kepada Wakil Presiden maupun menteri-menteri, tetapi tidak bisa mereka mengambil suatu keputusan tanpa mendapat persetujuan presiden. "Makanya, hanya ada Keputusan Presiden, tidak ada Keputusan Wakil Presiden. Dan yang bertanggung jawab kepada rakyat juga hanya presiden," tutur Ketua Dewan Pakar Tim SBY-Boediono, Bara Hasibuan.
Fakta inilah yang membuat SBY berpikiran buruk terhadap JK. Dalam curhatnya kepada Sudi Silalahi tadi, SBY menyiratkan dugaan adanya upaya membelokkan fakta sejarah.
Sudi Silalahi memang tahu betul bagaimana proses perdamaian di Aceh berlangsung. Mantan Kepala Desk Aceh di Kementerian Politik dan Keamanan ini pun mencoba kilas balik. Tahun 2001, ia menjabat Sekretaris Kementrian Koordinator Politik dan Keamanan, saat Menko Polkam dijabat SBY. Menurut Sudi, sejak SBY menjabat Menko Polkam, waktu itu sudah mencari solusi Aceh dengan mengusulkan Instruksi Presiden. "Banyak sekali yang dilakukan Pak SBY, keluar masuk Aceh mencari solusi dan mencari perumusan untuk mengakhiri konflik," kata Sudi.
Dia tak menampik saat SBY menjabat Menko Polkam, perdamaian di Aceh memang belum sukses. Alasannya, tidak semua unsur atau elemen di pemerintahan solid. Puncaknya, saat SBY terpilih menjadi presiden tahun 2004. Saat itu, ujar Sudi, SBY ingin sungguh-sungguh menyelesaikan konflik di Aceh karena tidak ingin melihat ada kekerasan. Ajakan SBY itu langsung direspons positif saudara-saudara di Aceh. Baik oleh GAM yang ada di Aceh atau di luar negeri. Semua keputusan tetap ada di tangan Presiden. Dari mulai arahan hingga kendali keputusan. "Dan titik koma pun Pak SBY ada di dalamnya. Tidak mungkin tiba-tiba terbang ke Helsinski, selesai persoalannya. Itu perjalanan panjang untuk menyelesaikan Aceh," jelas Sudi.
Terlepas dari etis tak etisnya manuver yang dilakukan JK, yang pasti wacana tentang siapa di balik proses perdamaian Aceh akhirnya menjadi perbincangan luas. Betapa malunya JK kalau sampai fakta-fakta baru mengungkap bahwa ternyata banyak tokoh-tokoh lain yang justru memiliki peranan lebih penting.
Manuver JK kali ini memang benar-benar menjadi pukulan balik. Masyarakat Aceh sendiri kabarnya kecewa atas pengklaiman itu. Bahkan Ketua Partai Aceh telah menegaskan untuk tidak memilih JK ataupun SBY. Partai lokal pemenang Pileg 2009 ini emmilih bersikap netral. "Dalam Pilpres, kami tidak memihak. Kami serahkan kepada rakyat. Kami memihak apa yang dipilih rakyat. Rakyat akan dibebaskan untuk memilih," kata Sekjen Partai Aceh, Teuku Yahya Muad, pekan lalu.
Meski demikian bukan berarti 47 persen pemilih Partai Aceh bersikap golput. Faktanya beberapa aktivis Partai Aceh kini menjadi tim sukses Partai Demokrat. Rakyat Aceh lebih melihat perdamaian yang dinikmati saat ini sebagai buah kerja keras pemerintah dan GAM atau Partai Aceh.

Menggerogoti Basis Islam SBY Lewat PKS

Oleh: Rovy Giovanie
Pasangan SBY-Boediono dilanda isu berbau SARA. Kabarnya beberapa kursi menteri penting bagi umat Islam telah diserahkan kepada kader-kader PKS. Black campaign?

Gus Muhammad, seorang ulama muda pendukung SBY terperanjat. Berita yang barusan diterima dari rekannya di Jogjakarta melalui SMS itu membuatnya berpikir keras. Betapa tidak. SMS itu menyebutkan, bahwa SBY telah menandatangani kontrak politik dengan partai mitra koalisinya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Isinya, SBY telah menetapkan kursi menteri agama, menteri kesehatan dan menteri pendidikan sebagai jatah PKS dalam kabinet yang akan dibentuknya nanti. Tak hanya itu. SBY juga dikabarkan menyepakati usulan PKS untuk menerapkan syariat Islam.
Tetapi ulama daerah di kota Mojokerto itu tak begitu saja percaya. Apalagi sebagai salah seorang anggota tim sukses SBY-Boediono di daerah, dia harus selalu cross check akan kebenaran setiap informasi. Maka, dia pun mem-forward SMS itu kepada rekan sesama ulama di tingkat yang lebih tinggi, Surabaya, untuk mengkonfirmasi kebenarannya. “Saya tidak percaya SBY berani emlakukan tindakan sebodoh itu,” ucap Gus Mad, panggilan akrabnya, ketika dihubungi Mimbar Politik via telepon.
Beberapa hari terakhir, isu kontrak politik SBY-PKS tersebut memang beredar luas di tengah masyarakat, khususnya pemeluk Islam. Isu bernuansa SARA itu berawal dari pernyataan Ketua DPW PKS DI Yogyakarta Ahmad Sumiyanto di media lokal, Kedaulatan Rakyat. Saat itu dia mengomentari tentang 10 poin kesepakatan PKS dengan Partai Demokrat. Sayangnya, pernyataan Sumiyanto itu dipelesetkan dan ditambahi dengan poin-poin tertentu yang menyesatkan, termasuk soal bagi-bagi jatah kursi menteri dan penerapan syariat Islam di Indonesia Timur.
Sumiyanto sendiri telah membantah. "Saya tegaskan di sini bahwa 10 agenda yang ada di SMS/email itu benar-benar fitnah keji terhadap PKS. Silakan dicek pada koran Kedaulatan Rakyat, halaman 3 edisi Sabtu 30 Mei 2009. Di koran tersebut, tertulis kalimat, ‘Apalagi pihak SBY dan Demokrat telah bersedia menandatangani kontrak politik yang berisi 10 Agenda Pembangunan yang disusun berdasarkan platform PKS itu.’ Itu saja, nggal lebih,” jelasnya.
Adanya kalimat lanjutan, antara lain: ‘Menteri pendidikan, menteri kesehatan, dan menteri pertanian harus dari PKS; dan seterusnya… hingga digadaikan kepada Qatar demi pinjaman sebesar Rp 25,9 triliun’ tidak terdapat dalam pernyataan itu. “Kalimat-kalimat itu jelas-jelas tambahan keji dari si pembuat SMS fitnah tersebut,” sambungnya.
Bantahan juga terlontar dari pihak SBY. Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Achmad Mubarok memastikan bahwa isi SMS yang beredar luas itu adalah kebohongan besar. "Yang pasti pos menteri belum disepakati. SBY menegaskan karena saat ini sistem presidensiil, soal pos menteri adalah hak prerogatif presiden," jelas Mubarok.
Pun demikian halnya soal pemberlakuan syariah di Indonesia Timur dianggapnya sebagai kampanye hitam untuk menjatuhkan SBY. Mubarok memastikan hal tersebut tidak masuk dalam kesepakatan tertulis dalam koalisi. "Yang pasti gak ada dalam kontrak tertulis,” ungkapnya.
Kendati demikian, soal power sharing di koalisi SBY-Boediono tak sepenuhnya dibantah oleh petinggi PKS. Ini terungkap dalam pernyataan Presiden DPP PKS Tifatul Sembiring perihal pembagian kursi kabinet jika kelak SBY-Boediono terpilih. "Koalisi di mana pun pasti ada power sharing," katanya usai menghadiri deklarasi PKS untuk pemenangan SBY-Boediono di Sidoarjo, awal Juni lalu.
Meski demikian, Tifatul enggan menyebut pos kementerian mana saja yang bakal diisi kader PKS, jika kelak pasangan SBY-Boediono terpilih dalam pilpres. Menurut dia, tak layak jika pembagian kursi dibicarakan ke publik secara terbuka. Meski demikian, Tifatul memberi sinyal, pembagian kursi kabinet dilakukan secara proporsional sesuai dengan kekuatan pendukung koalisi. "Ibaratnya kita ramai-ramai mendorong mobil, masak setelah mobil berjalan terus cukup bilang good bye," ujarnya bertamsil.
Banyak kalangan menduga, kampanye hitam itu dilakukan untuk menggembosi suara SBY di basis dukungan Islam, khususnya di wilayah Jawa. Sasaran sampingannya adalah untuk menggerus pendukung SBY-Boediono di kalangan non-muslim.
Sudah menjadi rahasia umum di kalangan umat Islam Jawa --yang mayoritas nahdliyin--, bahwa PKS merupakan partai yang menganut paham Islam wahabi. Ajaran ini bertentangan dengan paham ahli sunnah wal jamaah yang diterapkan oleh NU. Bahkan dalam kampanyenya mendukung pasangan JK-Wiranto, banyak kyai yang menjadikan isu wahabi PKS ini sebagai alat untuk menggembosi SBY. Tak terkecuali Ketua PBNU KH Hasyim Muzadi sendiri yang dalam pidato-pidatonya gencar mengajak kau muslimin untuk menolak calon presiden pengusung ajaran Islam diluar ke-NU-an.
Tetapi sejauh ini belum ada kepastian, siapa sebenarnya dibalik kampanye hitam ini. Selain mengarah ke pihak JK-Wiranto, ada juga dugaan bahwa hal ini sebagai imbas dari perpecahan internal PKS menyusul dukungannya ke arah SBY-Boediono.
Yang pasti, black campain ini ternyata tak hanya menyasar umat Islam. Menurut Direktur Eksekutif The Institute for Regional Institutions and Networks (IRIAN Institute), Velix Wanggai, SMS serupa juga banyak beradar di Papua dalam sebulan terakhir. Isi SMS yang beredar di daerah itu tentu saja lebih menekankan rencana penerapan syariat Islam di kawasan Indonesia Timur. "Masyarakat Indonesia Timur kecewa dengan kelompok yang melontarkan isu berbau SARA ini. Berita-berita tidak jelas seperti itu hanya akan merusak ikatan sosial budaya yang telah lama terjalin baik di wilayah Indonesia Timur," tegas Velix.
Velix menduga ada pihak-pihak tertentu yang bermaksud merusak reputasi SBY di Indonesia Timur. Meski demikian ia tak yakin rakyat akan terprovokasi. Alasannya, selama ini masyrakat setempat sudah membuktikan kepedulian pemerintahan SBY dalam emberikan ruang yang lebih luas bagi rakyat. Di Papua, misalnya, pemerintahan SBY mendorong lahirnya Majelis Rakyat Papua (MRP) pada akhir tahun 2004. MRP adalah lembaga representasi kultural yang mengakomodasi kaum agama, adat, dan perempuan. Lembaga ini diharapkan mempromosikan perdamaian dan kehidupan yang harmoni di masyarakat Papua yang beragam.
Mendekati pelaksanaan Pilpres 8 Juli mendatang, SBY memang panen kampanye hitam. Caranya beraneka ragam. Mulai penyebaran isu dari mulut ke mulut hingga lewat email. Jumat (18/6) lalu, misalnya, salah seorang reporter Mimbar olitik menerima email dari tim relawan JK-Wiranto. Inti pesan panjang lebar itu adalah pembentukan opini publik bahwa selama pemerintahan presiden SBY, Indonesia selalu diliputi oleh bencana, baik bencana alam maupun musibah lainnya, termasuk kecelakaan darat, laut dan udara yang bertubi-tubi. Deretan daftar bencana pun ditampilkan secara lengkap dengan berbagai komentar miring para tokoh pendukung JK-Win tentang SBY. Salah satu contohnya adalah komentar peneliti lontara yang juga Direktur Parasufia, Akhmad R Masse. "Makanya, ketika bencana terjadi di negeri ini, banyak orang tua di Sulsel ini yang mengatakan pasti ada yang salah dengan pemimpin di negeri ini," ujar Masse.
Barangkali tekanan kuat ini yang belakangan membuat tim SBY-Boediono mulai beringas.