Traffic

CPX

PTP

DOWNLOAD KOLEKSI FILM KAMI

Sunday, January 31, 2010

Mengamankan Barisan Pemburu Jabatan

oleh: Rovy Giovanie
Tak bisa disangkal, gerakan perlawanan terhadap pemerintahan SBY-Boediono saat ini sarat muatan kepentingan politik. Kalangan Istana pun tak tinggal diam, terus gerilya melakukan pengamanan.

Tawa mantan Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik, Mayjen TNI (Purn) Djali Yusuf, berkali-kali terdengar saat berbincang dengan Mimbar Politik di Hotel Borobudur, Jakarta, Sabtu (23/1). Sepanjang percakapan selama sekitar satu jam, tak sedikit pun menyiratkan kekecewaan. Padahal pensiunan jenderal bintang dua yang ikut berjasa dalam pemenangan SBY-Boediono pada Pilpres 2009 lalu tidak kebagian jabatan dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II. Bahkan jabatan prestisius sebagai staf khusus presiden yang semula disandangnya kali ini juga telah tanggal.
“Saya tidak merasa bahwa saya tersisih. Hubungan saya (dengan SBY) tetap bagus. Kalau saya tidak melihat bahwa SBY itu sahabat saya, teman seperjuangan saat 2004 dan periode kemarin, kita sudah lari. Tetapi saya melihat di sana ada harapan. Walaupun ada kekurang, kita sama-sama menutupinya. Saya kira yang menerima kebahagian itu adalah semua masyarakat. Itu yang saya pikir,” tegas lelaki berkacamata ini.
Djali Yusuf memang berbeda dengan sejumlah rekan sesama mantan anggota Tim Sukses SBY-Boediono lainnya yang lebih memilih hengkang. Sejawatnya yang dulu sama-sama menjadi staf khusus presiden, Mayjen (Purn) Irvan Edison, misalnya, kini tak hanya menjaga jarak dengan presiden, tetapi juga cenderung berseberangan. Pun dengan sejumlah mantan petinggi tersingkir lainnya atau mantan anggota tim sukses yang tak kebagian jabatan, juga cenderung mengambil posisi berlawanan dengan pemerintah. Inilah yang kemudian melahirkan istilah Barisan Sakit Hati Presiden.
Sedangkan Djali hingga sekarang tak hanya menunjukkan loyalitasnya kepada sang presiden, tetapi justru tampil sebagai tokoh pengaman presiden. Melalui wadah Komite Nasional Masyarakat Indonesia (KNMI) yang dibentuknya, Oktober 2009 lalu, kelahiran Pidie - Aceh ini justru tampil di barisan depan untuk mengawal loyalitas parpol anggota koalisi. Bersama 79 elemen pergerakan yang dinaunginya, ia langsung turun tangan tatkala melihat anggota koalisi mulai melenceng dari komitmen awalnya. “Kami sudah pertama bertemu dengan Fraksi PAN. Mereka jamin 100 % mendukung presiden, meskipun tetap kritis,” jelasnya.
Ini tentunya bukan tugas ringan di saat suhu politik memanas seiring dengan guliran skandal Bank Century di Pansus Angket Century. Apalagi nuansa pembangkangan terlihat nyata dilakukan sejumlah anggota koalisi, terutama Golkar dan PKS. Belum lagi dengan berbagai aksi demo Anti SBY-Boediono yang kian marak dan disinyalir melibatkan para tokoh di sekitar Presiden sendiri.
Namun semua itu tak menyurutkan langkah Djali. Mengatasnamakan suara hati masyarakat bawah yang pada Pilpres 2009 lalu mendukung SBY-Boediono, Djali merasa punya hak untuk didengar. Apalagi massa pendukungnya riil dan tak kalah besar dibanding kelompok-kelompok demonstran yang selama ini kerap mengklaim atas nama rakyat.
Tak salah kalau ada yang menyebut KNMI sebagai wadah gerakan bawah tanah yang sengaja dibentuk SBY untuk mengimbangi kelompok perlawanan --meski Djali mengklaim organisasinya mandiri dan tanpa campur tangan presiden. Faktanya, KNMI memang tak mungkin bergerak sendiri untuk menggarap parpol koalisi. Sebagai gerakan bawah tanah, dia memiliki keterbatasa. Maka, akan sangat klop bila dipadukan dengan Demokrat yang menguasai parlemen. Bila KNMI melakukan penekanan melalui jalur informal, maka Demokrat bergerak lewat jalur formal di parlemen.
Konon, melunaknya sikap fraksi anggota koalisi belakangan ini tak lepas dari peran gerakan ini. Kedua sayap pengaman formal dan informal inilah yang kabarnya memfasilitasi deal-deal politik antara kelompok ‘pemburu jabatan’ di internal koalisi pendukung presiden.
Meski sejauh ini belum jelas apa bentuk deal yang dicapai, namun faktanya memang nampak adanya upaya pelunakan sikap anggota koalisi di Pansus Century. Misalnya saja penggantian sejumlah anggota Pansus yang selama ini dinilai kelewat vokal. Wakil Ketua Dewan Syura DPP PKB Lily Chodidjah Wahid terang-terangan mengaitkan pencopotan dua anggota Pansus dari PKB, Marwan Jafar dan Anna Muawanah –digantikan Agus Sulistiono dan Mohammad Thoha— sebagai upaya deal politik. “Itu reaksi berlebihan. Muhaimin Iskandar (Ketua Umum PKB) takut kehilangan posisinya sebagai menteri,” kata adik almarhum Gus Dur itu.
Namun, tudingan ini dibantah tegas oleh Muhaimin. Baginya, penggantian itu hanyalah penyegaran agar Pansus berjalan lancar. Sanggahan senada terlontar dari Sekjen DPP PAN, Taufik Kurniawan, yang juga mengganti anggotanya di Pansus. Chandra Tirta Wijaya. Politisi PAN yang selama ini vokal itu digantikanAsman Abnur. “Tidak ada motif politik sama sekali. Justru sebenarnya anggota pansus yang di-setting dari awal adalah Asman Abnur,” kilah Taufik.
PKB dan PAN belakangan ini dikenal sebagai anggota koalisi paling loyal terhadap pemerintah. PPP, meskipun tidak melakukan penggantian anggota di Pansus, selama ini diangap masih berada dalam koridor koalisi. Hanya PKS dan Golkar yang memang masih sulit dikendalikan. Meski belakangan sempat melunakkan sikap, namun ada kesan kedua partai ini masih ingin melanjutkan permainan untuk mengangkat nilai tawar setinggi-tingginya di hadapan SBY.
Menurut pakar politik LIPI, Syamsudin Harris, fenomena demikian lazim terjadi dalam politik. Para anggota fraksi dibiarkan bersuara lantang, meskipun sikap resmi fraksinya tetap memegang komitmen koalisi. “Itu strategi politik mereka,” ujarnya.
Sedangkan pengamat politik LSI, Burhanuddin Muhtadi, menilai sikap tarik ulur yang dilakukan Golkar dan PKS tak lepas dari posisi strategis keduanya dalam menentukan pemenang bila Pansus melakukan voting. Tanpa dukungan dua parpol itu, Demokrat hanya mengantongi 14 suara dari 30 anggota Pansus. Artinya, bila PKS dan Golkar bergabung dengan kubu PDIP, Hanura dan Gerindra, maka habislah Demokrat. Posisi inilah yang ‘dijual’ Golkar dan PKS ke Demokrat. Saat ini Golkar memiliki 6 wakil di Pansus, sedangkan PKS 3 orang.
Kiranya lantaran kesamaan kepentingan ini Golkar dan PKS yang sebelumnya kerap saling serang itu kini berbalik menjadi kompak. Maklum, bila salah satu diantara Golkar atau PKS langsung merapat ke Demokrat, maka stretagi untuk menaikkan harga tawar ke Demokrat otomatis akan bubar.
Sekarang Pansus sudah memasuki tahap perumusan kesimpulan akhir yang akan dibacakan dalam sidang pleno DPR, 4 Maret 2010 mendatang. Karena perumusan kesimpulan akhir Pansus diserahkan kepada fraksi, maka mau tak mau Golkar dan PKS harus mengubah strategi permainan bila ingin tetap memburu tambahan jabatan di pemerintahan. Pasalnya, penentu suara tidak lagi 30 anggota Pansus, 560 anggota Dewan.
Burhanuddin berkeyakinan, kedua parpol itu akan terus melakukan gangguan hingga tercapainya posisi tawar. “Motif utama partai koalisi memang untuk membangun posisi tawar terhadap pemerintah SBY-Boediono. Jadi setiap ada persoalan akan dimanfaatkan semaksimal mungkin,” tandasnya.
Strategi apakah yang akan ditempuh para pengaman presiden dari gangguan para pemburu jabatan itu? Perkembangan politik mutakhir sangat lah menentukan.