Traffic

CPX

PTP

DOWNLOAD KOLEKSI FILM KAMI

Wednesday, May 20, 2009

Koalisi Besar Mestinya Berjiwa Besar

Oleh: Rovy Giovanie

Koalisi Besar mendadak menjadi isu utama sejumlah media massa beberapa hari terakhir. Enam partai politik yang lolos parlementary threshold, yakni PDIP, Golkar, Gerindra, Hanura, PPP dan PAN dikabarkan tengah mempersiapkan koalisi bersama untuk menghadapi Pilpres bulan Juli mendatang.

Banyak pengamat meragukan terwujudnya koalisi ideal sebagai lawan tanding Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam Pilpres nanti, mengingat besarnya perbedaan. Namun sejumlah elit parpol calon anggota koalisi pimpinan PDIP itu meyakini koalisi segera terwujud. Alasannya sangat normatif, yakni kesamaan platform dan demi kepentingan bangsa.

Segala kemungkinan memang bisa terjadi. Politik merupakan the art of possibility. Apa yang tidak mungkin dalam nalar normal menjadi mungkin ketika bertemu pada satu titik kesamaan kepentingan.

Realitas politik pasca Pemilu Legislatif (Pileg) 2009 memang membuka peluang cukup lebar. Selain karena tuntutan persyaratan pencapresan, yakni 20 persen suara atau 25 persen perolehan kursi DPR, beragam kepentingan juga melatarbelakangi langkah-langkah koalisi parpol.

Untuk itu, ada beberapa perspektif yang cukup menarik untuk melihat apa yang terjadi dibalik rencana pembentukan Koalisi Besar. Pertama, perspektif konstelasi kekuatan suara. Sementara ini koalisi parpol pengusung SBY sudah lebih dari aman. Dari tiga parpol yang positip bergabung, yakni Partai Demokrat sekitar 20 persen, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sekitar 8 persen, dan PKB 5 persen, telah terkumpul 33 persen suara. Ditambah lagi dengan suara dari parpol-parpol non parlementary threshold yang menurut PD telah mencapai sekitar 13 persen, sehingga total 46 persen. Ini belum termasuk PPP (5%) dan PAN (7%) yang kemungkinan ikut bergabung.

Dari perspektif ini, koalisi pengusung SBY jelas tak terkejar bila kandidat capres lain berjalan sendiri-sendiri. Total jenderal suara yang tersisa hanya 54 persen, termasuk suara dari parpol non threshold. Itu pun masih ada kemungkinan berkurang bila PAN dan PPP akhirnya memilih gabung dengan koalisi pengusung SBY.

Realitas ini secara otomatis memaksa parpol-parpol non pendukung SBY untuk bersatu bila menghendaki pertarungan yang seimbang dalam Pilpres mendatang.

Kedua, perspektif popularitas vs mesin politik. Semua survey belakangan ini menyebutkan bahwa popularitas SBY jauh melesat di di depan meninggalkan para capres lain. Megawati yang berada di urutan kedua saja tidak mencapai separoh dari score popularitas SBY. Padahal popularitas figur memegang peranan utama dalam sebuah pemilihan secara langsung.

Sekali lagi, hal ini menjadi alasan tak terelakkan untuk mengaggas koalisi besar. Keunggulan SBY hanya bisa dilawan dengan gabungan mesin-mesin politik besar yang bekerja maksimal. Sebagai parpol lama dan besar, kekuatan mesin politik Partai Golkar dan PDIP cukup bisa diandalkan. Kehebatan Golkar di luar Jawa sangat klop bila digabungkan dengan PDIP yang cukup mengakar di Jawa-Bali. Belum lagi ditambah mesin politik parpol pendukung lainnya.

Masalahnya, mampukah mereka menjalankan mesin politik secara maksimal. Sedangkan sejumlah parpol calon anggota koalisi besar tengah dilanda konflik laten. Partai Golkar dalam beberapa hari terakhir telah mempertontonkan konflik mereka secara terbuka. Meskipun para elitnya menepis adanya perpecahan, namun ancaman pembelotan merupakan kekuatan yang sangat laten. Pasalnya aksi penentangan terhadap koalisi besar justru berasal dari mesin politik tingkat bawah (baca: DPD II) yang bersentuhan langsung dengan pemilih.

Pun dengan PPP dan PAN yang juga tengah menghadapi konflik internal cukup fundamental. Bahkan konflik PPP sempat diwarnai aksi pendudukan kantor DPP, sedangkan PAN melalui Ketua Majelis Pertimbangan, Amien Rais, secara terbuka menggelar pertemuan dengan mayoritas DPW untuk mendukung SBY. Praktis hanya PDIP dan dua parpol baru pendukungnya, Gerindra dan Hanura yang relatif utuh.

Ketiga, perspektif psikologis. Kondisi prikologis memberi kontribusi terbesar, bahkan bisa dikatakan sebagai pemicu, lahirnya gagasan koalisi besar. Cukup banyak elemen psikologis yang mempersatukan mereka kedalam situasi senasib sepenanggungan. Mulai dari kekecewaan terhadap Daftar Pemilih Tetap (DPT), kemerosotan perolehan suara, hingga masalah-masalah yang sebenarnya lebih bersifat personal.

Namun, yang paling menarik dicermati, bahwa munculnya gagasan koalisi besar bersamaan dengan lontaran Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla (JK) tentang adanya upaya sistematis dalam pemecahbelahan tiga parpol. Ucapan itu disampaikan JK tak lama setelah menerima surat pernyataan sekitar 24 DPD I Golkar yang menghendaki agar kembali berkoalisi dengan Demokrat. Tak lama kemudian, setelah JK bertemu para petinggi PDIP, lahirlah gagasan koalisi besar tersebut.

Dari sini memunculkan kesan yang sangat kuat bahwa koalisi besar tak lebih dari ekspresi atas kekecewaan terhadap poros SBY. Bahkan banyak kalangan menyebutnya sebagai kekuatan ABS (Asal Bukan SBY). Bila dirunut kebelakang, hampir semua ketua umum parpol calon anggota koalisi besar adalah penentang SBY, terutama PDIP, Gerindra dan Hanura. Sedangkan Golkar, dalam hal ini JK, akhirnya juga memposisikan diri sebagai korban SBY menyusul gagalnya upaya koalisi dengan Demokrat. Bahkan JK terkesan merasa dipermalukan akibat penolakan dirinya sebagai cawapres tunggal dalam upaya koalisi dengan Demokrat.

Tak jauh berbeda dengan Ketua Umum PPP Surya Darma Ali. Meskipun dia masih menjabat sebagai Menkop dalam kabinet pemerintahan SBY, namun dia merasa diperlakukan tak adil dibandingkan dengan seteru internalnya, Ketua Majelis Pertimbangan Partai PPP Bachtiar Chamzah. Bahkan muncul kesan seolah-olah SBY berada dibelakang Bachtiar Chamzah dalam persaingan kepemimpinan PPP.

Yang agak unik hanya PAN. Secara mengejutkan, Ketua Majelis Pertimbangan PAN Amien Rais yang selama ini tampil mengkritisi SBY ternyata justru memilih berkoalisi dengan Demokrat. Sedangkan sang ketua, Sutrisno Bachir, yang kubunya kurang terakomodasi dalam cabinet SBY memang sejak lama memberi sinyal untuk berseberangan dengan partai penguasa.

Keempat, perspektif ideologis dan kepentingan. Dalam pernyataan formal, alasan koalisi besar memang untuk kepentinga bangsa dan negara. Lebih kongkritnya adalah untuk membentuk pemerintahan yang kuat dengan dukungan parlemen yang kuat. Tetapi realitas politik ternyata memperlihatkan indikasi yang jauh dari itu. Yang menonjol justru kepentingan-kepentingan sesaat masing-masing parpol.

Alotnya negosiasi pembentukan koalisi besar merupakan indikasi kuat. Masing-masing parpol, terutama Golkar dan PDIP, kukuh dengan pendiriannya untuk sama-sama tetap maju sebagai capres. Alasannya klasik, bahwa hal itu telah menjadi keputusan forum tertinggi partai.

Posisi JK memang sulit. Rapimnassus mengamanatkan dirinya maju sendiri sebagai capres. Kalau sampai dia bersedia menjadi cawapresnya Mega tentu akan menimbulkan masalah internal partai. Karena kalau sekedar posisi wapres, mayoritas elit Golkar masih menghendaki untuk kembali bersama SBY. Apalagi perolehan suara Golkar lebih besar dari PDIP. Sementara Mega memang sudah menjadi semacam harga mati bagi PDIP untuk terus maju sebagai capres.

Barangkali karena itu lantas muncul wacana untuk memecah koalisi besar menjadi dua, yakni pasangan Golkar-Hanura dan PDIP-Gerindra. Sedangkan PPP dan PAN masih menunggu keputusan resmi partai. Dengan harapan, mereka bisa bersatu kembali pada putaran kedua Pilpres. Dengan demikian, gagasan baru ini bisa dibaca sebagai upaya untuk menentukan siapa sebenarnya yang lebih berhak menjadi capres.

Bila ini benar terjadi, tentunya terdengar agak naif dan tidak menampakkan jiwa besar seorang negarawan. Kalau memang tujuannya benar-benar membangun koalisi besar demi rakyat, kenapa harus mengorbankan rakyat. Hanya untuk menentukan ego siapa yang akan menang saja dilakukan melalui Pemilu dua putaran yang tentunya menguras uang rakyat dua kali lipat.

Tetapi itulah politik. Ungkapan-ungkapan demi rakyat, bangsa dan negara selalu mengemuka. Tetapi dalam praktiknya jauh api dari panggang. Tak salah kalau banyak pengamat pesimis akan soliditas koalisi besar itu nantinya bila terwujud. Perbedaannya jauh lebih besar dibandingkan dengan persamaan yang ada, terutama antara Golkar dan PDIP, baik yang bersifat ideologis maupun kepentingan.

Sebagaimana dipaparkan diatas, perekat koalisi hanyalah elemen-elemen yang cenderung bersifat kepentingan temporal. Kekecewaan dan semangat ABS kiranya terlalu bersifat elitis untuk dijadikan sebagai pemersatu, terlebih dalam upaya memenangkan Pilpres. Rakyat akan sulit tertarik kedalam arus tersebut. Rakyat sudah semakin cerdas dan telah memiliki pilihannya sendiri.

Bahkan bila tontonan tentang tarik-menarik kepentingan dalam koalisi besar terus dilanjutkan, tidak tertutup kemungkinan rakyat justru semakin menjauh. Biarpun hasil koalisi besar sukses mengumpulkan suara dukungan lebih besar dari poros SBY, hal itu sama sekali tak berbanding lurus dengan peluang untuk menang. Apalagi yang dihadapi adalah capres incumbent yang tidak hanya bicara tentang janji, melainkan telah menunjukkannya melalui karya dan pembangunan selama ini.

Oleh karena itu, kiranya kalau sampai koalisi besar benar-benar diwujudkan mestinya berjiwa besar. Kesampingkan ego dan kepentingan kelembagaan, serta lenyapkan sentimen personal, sebaliknya kedepankan kepentingan rakyat. Tanpa itu, koalisi besar hanya sebatas nama tanpa makna. (*)