Traffic

CPX

PTP

DOWNLOAD KOLEKSI FILM KAMI

Saturday, June 20, 2009

Mengungkap Perang Intelijen Para Capres

Oleh: Rovy Giovanie
Perang intelijen antar capres kian memanas. Isu-isu sensitif yang cenderung berbau SARA sengaja ditebar untuk memecah dan melemahkan lawan. Persis strategi perang ala militer.

Capres Megawati Soekarnoputri berteriak lantang. Ia memperingatkan agar Babinsa bertindak netral dalam pelaksanaan Pilpres 8 Juli 2009 mendatang. “Semua elemen masyarakat, termasuk para intelijen, Babinsa dan unsur lainnya harus menyukseskan pilpres secara jujur dan adil,” teriak Mega di depan puluhan ribu massa yang memerahkan lapangan Dukuh Sari, Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo, Minggu (14/6).
Peringatan mantan Presiden ini bukan tanpa alasan. Sebagai mantan penguasa, dia sendiri tentu pernah mengalaminya. Publik tentu ingat bagaimana Mega melibatkan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) AM Hendropriyono pada Pilpres 2004 silam. Meskipun akhirnya Mega yang berpasangan dengan Hasyim Muzadi kalah, namun fakta tentang keberpihakan BIN tampak kasat mata.
Tetapi bukan itu yang mengilhami peringatan Mega kali ini. Melainkan pengalaman pahit yang dialami para kadernya selama Pileg 2009 dan Pilkada di sejumlah daerah, khususnya di Jawa Timur. Mega mengaku memiliki banyak bukti tentang keterlibatan operasi intelijen penguasa dibalik kekalahan pasangan Khofifah Indar Parawangsa – Mujiono yang didukungnya pada Pilgub Jatim 2008 lalu.
Bisa jadi tudingan Mega itu benar adanya. Sejumlah tokoh masyarakat Jawa Timur beberapa waktu lalu sempat menggelar pertemuan khusus di Jakarta. Selain menemui sejumlah politisi DPR, mereka juga berkunjung ke markas JK-Win di Mangun Sarkoro. Mereka membeberkan sejumlah kasus operasi intelijen yang dilakukan ‘partai penguasa’ dalam Pileg 2009. Menurut mereka, partai itu melibatkan Babinsa. “Menjelang pencoblosan, hampir semua penduduk didatangi ke rumahnya. Dengan bahasa yang sopan, oknum Babinsa itu kemudian menjelaskan jasa-jasa presiden dalam membela dan mensejahterakan rakyat. Setelah itu baru pesan utamanya disampaikan, yakni untuk mencoblos partai pemerintah. Makanya jangan heran kalau hampir semua surat suara yang dicoblos adalah partainya, bukan nama caleg,” ungkap sumber caleg DPRD terpilih dari PKNU Kabupaten Gresik itu.
Sebagai back up, SBY juga memasang puluhan jenderal pensiunan dalam tubuh tim suksesnya. Ara jenderal itu menyebar dalam tim resmi maupun tim relawan yang dibentuknya. Mereka antara lain Mantan Panglima TNI Marsekal (Purn.) Djoko Suyanto, Mantan Kapolri Jenderal (Purn.) Pol Sutanto, Mantan KSAU Marsekal (Purn.) Herman Prayitno, Mantan Kepala Staf Teritorial TNI Letjen (Purn.) Agus Widjojo, Marsekal Madya (Purn) Surrato Siswodihardjo, Letjen (Purn) Sudi Silalahi, Mantan Kasum TNI Letjen TNI (Purn) Suyono, Mayjen TNI (Purn) Herman LD, Mantan Kababinkum TNI AD, Mayjen TNI (Purn) Arief Siregar, dan beberapa lainnya.
Sinyalemen itu dibantah tegas oleh Ketua Badan Intelijen Negara (BIN), Syamsir Siregar. “Informasi itu ngarang-ngarang saja. Kita bekerja untuk pemerintah dan negara, bukan untuk salah satu capres,”sergahnya di sela sela rapat tertutup BIN dengan Komisi I DPR di Gedung DPR, Senin (15/6)
Toh bantahan itu tak serta merta menyurutkan dugaan keterlibatan BIN dibalik pasangan incumbent SBY-Boediono. Apalagi sejak berkuasanya SBY, Bintara Pembina Desa (Babinsa) yang semula dihapus saat reformasi bergulir kemudian diaktifkan kembali tahun 2005 silam. Semasa Soeharto berkuasa, sudah menjadi rahasia umum kalau Babinsa kerap dijadikan alat untuk mengintimidasi rakyat.
Dalam batas-batas tertentu, menurut para pakar intelijen, polaini sangat mungkin ditiru SBY sebagai kandidat incumbent. “ Meskipun semua pasangan sama-sama militer, namun hanya kandidat incumbent yang memiliki akses langsung dengan militer dan intelijen negara,” ucap pengamat intelijen, Dr AC Manullang.
Mantan Direktur BAKIN –sekarang bernama BIN—itu bahkan berkeyakinan bahwa lonjakan suara Partai Demokrat dalam Pileg 2009 merupakan hasil kerja intelijen. “Dalam sejarah parpol di Indonesia, mana pernah ada partai yang mengalami lonjakan suara hamper 300 persen. Ini tidak mungkin terjadi tanpa adanya kekuatan luar biasa,” jelasnya.
Konon, alasan inilah yang menjadi pemicu utama pasangan capres-cawapres lainnya merekrut para jenderal yang memiliki jam terbang tinggi dalam bidang intelijen. Kubu Mega-Prabowo, misalnya, memasang nama-mana antara lain: mantan Dansesko ABRI Mayjen (Purn) Theo Syafei, mantan Danjen Kopassus Mayjen (Purn.) Muchdi Pr, mantan Kaskostrad Mayjen (Purn) Kivlan Zein, mantan Ka BIN Jenderal (Purn.) Hendropriyono, mantan Ka Bais Letjen (Purn.) Farid Zainuddin, Letjen Purn M Yasin, mantan Komandan Korps Marinir Letjen Marinir Purn Suharto, Mayjen TNI Purn Adang Ruchiatna, Letjen TNI (purn) Farid Zainudin, Letjen (purn) Putu Wardana, Letjen (purn) Yogi Supardi, Letjen Marinir (purn) Suharto, dan Mayjen (purn) Suwardi.
Sedangkan kubu JK-Wiranto membentuk Tim Garuda yang beranggotakan belasan jenderal. Mereka antara lain: Mantan KSAD Jenderal (Purn.) Subagyo HS, Mantan Wakasad Letjen (Purn.) Soemarsono, Mantan KSAL Laksamana (Purn.) Bernard Kent Sondakh, Mantan Kapolri Jenderal (Purn.) Pol Chaeruddin Ismail, Mantan Wakil Panglima TNI Letjen (Purn.) Fachrul Razi, Mantan Kepala Staf TNI/AD, Ary Mardono, Mantan Gubernur Jawa Tengah Ismail, Mantan Pangdam VII Wirabuana Suaedi Marasabessy, Mantan Wakil Kasau Marsdya Purn Basri Sidehabi, Mantan Pangarmatim Mayjen Purn Djasri Marin, Mantan Danpuspom TNI Marsda Syamsuddin Arsyad, Mayjen TNI Purn Iskandar Ali, dan Mantan Wakasad Letjen Purn Soemarsono.
“Rekutmen para jenderal itu tak lepas dari pengalamannya menjalankan fungsi intelijen. Antara lain penggalangan massa, infiltrasi, penyesatan propaganda, provokasi, dan lain sebagainya,” jelas pakar militer Aris Santoso dari ISAI kepada Mimbar Politik.
Metode penyesatan biasanya dilakukan dengan memanfaatkan media publikasi, baik berupa buku, koran, majalah, radio atau televisi. Informasi yang menyesatkan sengaja dihembuskan untuk mengelabui lawan. Sedang infiltrasi dilakukan dengan menyusupkan orang-orang ke kubu lawan untuk menyerap informasi atau menggembosi. Penggalangan massa antara lain dilakukan dengan merangkul tokoh organisasi masyarakat atau organisasi pemuda.
Tak mengherankan bila cara kerja tim sukses para capres saat ini mirip dengan cara-cara intelijen yang lazim dilakukan militer. Setidaknya hal ini bisa dilihat dari bentuk isu dan kasus yang muncul menjelang pelaksanan Pilpres. Ada yang bersifat provokatif seperti isu jilbab, neolob, bencana SBY, dsb. Ada juga yang bersifat infiltrasi dan adu domba, seperti perpecahan parpol dan ormas, penyebaran SMS Kontrak Politik SBY-PKS, dsb. Dan ada juga yang bertujuan untuk penyesatan informasi, misalnya polling capres, penerbitan buku dan media, isu Pilpres Satu Putaran, dan banyak lagi lainnya.
Bila diamati secara seksama, terlihat adanya aksi saling serang yang terencana dan terstruktur dibalik isu dan kasus-kasus tersebut. Diawali dengan kasus perpecahan yang melanda sejumlah parpol –diantaranya PAN, Golkar, dan PPP-- pada sat menjelang penetapan capres-capres beberapa waktu lalu. Kesamaan pola perpecahan ini menyebabkan dugaan kuat adanya skenario besar yang dilakukan oleh pihak tertentu. Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla secara tegas menyampaikan hal ini. Meskipun tak menyebut pihak mana yang dimaksudkan, namun publik sudah bisa menyimpulkan. Arah tudingan tak lain adalah kubu penguasa yang mengusung kembali SBY sebagai capres. Tujuannya untuk melemahkan lawan yang akan dihadapi dalam Pilpres. Konon, operasi ini melibatkan kekuatan intelijen yang tertata rapi.
Perpecahan parpol memang memiliki dampak serius bagi capres diluar SBY. JK dan Mega sempat dibuat pusing untuk bisa memenuhi syarat minimal pendaftaran capres-cawapres ke KPU. Tak hanya itu, JK juga diganggu aksi perlawanan dari internal partainya sendiri. Meskipun akhirnya berhasil mendaftar –JK menggandeng Wiranto (Hanura) dan Mega menggandeng Prabowo (Gerindra), namun mereka dalam posisi lemah.
Dari hitung-hitungan diatas kertas, koalisi pengusung SBY –Demokrat, PKS, PAN, PPP dan PKB, plus partai-partai kecil— berhasil mengumpulkan suara sekitar 60 persen. Sementara koalisi PDIP-Gerindera dan Golkar-Hanura masing-masing hanya berkisar sekitar 20 persen. Berbagai polling juga selalu menempatkan SBY jauh meninggalkan kedua pesaingnya.
Dalam situasi ini, tak ada pilihan lain bagi JK-Wiranto dan Mega-Prabowo untuk bisa mengimbangi incumbent kecuali harus melalui manuver luar biasa. Kalangan militer dianggap sebagai pilihan pas untuk bisa mengimbangi ‘permainan’ SBY. Dari sini kemudian Mega-Prabowo dan JK-Wiranto membentuk pasukan khusus beranggotakan para jenderal.
Keputusan SBY memilih Boediono sebagai cawapres menjadi semacam blessing in disguise bagi para lawan SBY. Serangan balasan dihantamkan ke arah SBY-Boediono secara beruntun dan dari berbagai arah. Penolakan sebagian besar parpol anggota koalisi terhadap Boediono, waktu itu, merupakan celah untuk menggoyang koalisi raksasa itu. Dan hasilnya tampak nyata. Tak hanya PPP dan PAN yang berhasil digerogoti, PKS yang semula dikenal sebagai partai yang solid pun berhasil dibikin retak.
Di tubuh PPP, misalnya, banyak kader dan pengurus PPP di tingkat usat hingga daerah yang membelot. Mereka yang mendukung Mega-Prabowo mendirikan Pesatuan Pendukung Prabowo (PPP), sementara sejumlah tokoh pentingnya seperti Lukman Hakim Saifudin bergabung JK-Wiranto. Pun halnya dengan PAN. Sejumlah nama tokoh PAN seperti Alvin Lie, Dradjad Wibowo, dan beberapa lainnya memilih menjadi Tim Sukses JK-Wiranto. Tak sedikit juga yang bergabung dengan Mega-Prabowo. Bahkan AWAN –organisasi perempuan PAN—secara resmi mendukung Mega-Prabowo. Ketua MPP PAN Amien Rais pun secara terbuka menyampaikan restunya.
Tak hanya sampai disitu. Para lawan politik SBY secara beruntun menghujani bergabai bentuk black campaign. Diawali dengan isu jilbab istri SBY-Boediono. Ironisnya penyebab awalnya isu ini adalah kader PKS, yang kemudian dikembangkan oleh para pasukan JK-Wiranto. Isu ini benar-benar disebarkan ke daerah-daerah fanatik Islam, baik melalui SMS, pengajian, maupu kampanye langsung.
Dari penelusuran Mimbar Politik di sejumlah daerah, khususnya basis pemilih Islam, isu ini sangat ampuh untuk menggerus pendukung SBY. Banyak kyai di Jatim yang semula mendukung SBY, kini berbelok ke JK hanya karena alasan jilbab. “Lha mengatur istrinya saja tidak bisa kok mau mengatur negara,” demikian ucap seorang kyai di Gersik, Jawa Timur.
Black campaign ini jauh lebih mengena ketimbang isu neolib yang lebih dulu digencarkan. Hasil penelusuran menunjukkan bahwa isu neolib hanya mengena pada masyarakat perkotaan.
Serangan lebih parah dan bernuansa SARA ketika ada yang menghembuskan berita tentang ke-Islaman Boediono dan istrinya. Sejumlah SMS yang mengarah ke warga masyarakat menyebutkan bahwa istri cawapres SBY itu katolik. Meskipun desas-desus ini dibantah Boediono, namun banyak masyarakat yang sudah terlanjur mempercayainya.
Kampanye hitam terbaru yang paling menghebohkan adalah isu tentang jatah menteri agama dan menteri pendidikan untuk PKS serta penerapan syarian Islam di Indonsia Timur. Isu ini sangat kental dengan nuansa SARA. Pembuat isu paham betul tentang psikologi mayoritas muslim Indonesia yang merupakan nahdliyin dan mayoritas Kristiani yang berada di Indonesia Timur. Selengkapnya baca juga ‘Menggerogoti Basis Islam Lewat SMS’ di rubrik Mimbar Politik.
Para pakar intelijen meyakini model-model black campaign yang dilakukan para capres-cawapres itu kental dengan karakter intelijen militer. “Perang intelijen itu tidak mungkin dilakukan kecuali untuk tujuan black campaign dan membuat black mail sebagai bagian psy war (perang psikologis),” ujar Ketua Umum Legiun Veteran RI, Letjen TNI (Purn) Rais Abin.
Ukuran koalisinya yang besar dan rapuh, kubu SBY-Boediono memang sangat rentan terhadap aksi-aksi serangan intelijen dalam berbagai bentuknya. Aksi infiltrasi bisa dilakukan dengan mudah oleh pihak lawan, terutama melalui partai-partai rekan koalisi Demokrat.
Barangkali karena alasan ini, belakangan tim inti SBY membatasi keterlibatan rekan koalisinya dalam menentukan taktik dan strategi kampanyenya. Kebijakan ini sempat menimbulkan protes sejumlah kader parpol anggota koalisi. Sampai-sampai Sekjen Tim SBY-Boediono Hatta Rajasa harus turun tangan untuk meredakannya. "Semua terlibat baik dalam pemikiran maupun kampanye SBY-Boediono," ujarnya.
Hatta juga membantah bahwa jajaran parpol koalisi di daerah tidak difungsikan dalam kerja-kerja pemenangan. Ada kecurigaan bahwa sebaran atribut SBY-Boediono yang sangat minim di daerah adalah akibat diabaikannya keberadaan kader parpol koalisi. "Isu nggak benar itu. Saya dari Makassar, ada banyak atribut di situ. Di tempat-tempat lain juga," sergah Hatta.
Setelah sibuk konsolidasi internal yang sempat berantakan lantaran serangan lawan, sejak pekan lalu SBY-Boediono mulai melancarkan serangan mematikan. Tidak menggunakan isu agama atau yang bersifat SARA lainnya, melainkan mengenai Pemilu Satu Putaran.
Didahului dengan berbagai survey yang menempatkan SBY bakal menang dalam satu putaran, lantas dilanjutkan dengan kampanye ‘Pilpres Satu Putaran.’ Pendekatannya juga sangat mengena, yakni dengan alas an penghematan uang negara sebesar Rp 4 triliun. Selengkapnya baca juga ‘Pusing Karena Satu Putaran’ di rubrik Mimbar Politik.
Strategi ini emmang cukup efektif untuk merebut kembali suara yang belakangan mulai tergerus. Tetapi pertempuran belum usai. Apapun bisa terjadi hingga masa pencoblosan 8 Juli mendatang. Intelijen lawan tak mungkin tinggal diam.