Traffic

CPX

PTP

DOWNLOAD KOLEKSI FILM KAMI

Saturday, June 20, 2009

Siluman Sapi Perahan Dalam Pilpres

Oleh: Rovy Giovanie
BUMN kembali digunjingkan. Dana perusahaan milik negara ini kabarnya mengalir ke arah pasangan SBY-Boediono dan JK-Wiranto.

Banyak dana di bawah meja, ‘pasukan jin’ yang memberi sumbangan luar biasa besar, tapi tidak pernah dilaporkan. Ganjar Pranowo, anggota Tim Sukses Mega-Prabowo, kesal lantaran banyaknya komisaris BUMN yang masuk dalam tim sukses dua kandidat pesaingnya, yakni SBY-Boediono dan JK-Wiranto.
Sebagai pasangan kandidat yang pernah berkuasa, tim Mega-Prabowo memang paham betul bagaimana modus kecurangan yang kerap dilakukan incumbent dalam menggalang dana kampanye atau keperluan lainya. Yang paling lazim dilakukan adalah penggunaan dana ‘siluman’ dari BUMN.
‘Tradisi’ ini telah berlangsung selama bertahun-tahun, sejak era Orde Baru hingga saat ini. Saat Mega berkuasa, misalnya, penempatan Lakamana Sukardi sebagai Meneg BUMN menjadi sorotan tajam para pengkritisi. Disinyalir bahwa penempatan laks tersebut tidak lepas dari kepentingan penggalangan dana untuk pemenangan PDIP. Apalagi waktu itu Laks menduduki posisi bendahara dalam kepengurusan DPP PDIP.
Meskipun hal ini sulit dibuktikan, toh wacana itu telah menjadi semacam fakta. Tak heran bila politisi dan tokoh dibelakang Mega-Prabowo yang pertama kali mencurigai adanya dana siluman yang mengalir ke kas tim sukses capres incumbent. Bocornya sejumlah nama komisaris yang tercantum dalam tim sukses SBY-Boediono dan JK-Wiranto kabarnya merupakan hasil kerja intelijen kubu Mega-Prabowo.
Adalah mantan Kapolri Susanto yang pertama kali disebut-sebut sebagai salah seorang komisaris BUMN dibelakang SY-Boediono. Saat ini pensiunan polisi berpangkat jenderal itu memang menjabat sebagai Komisaris Utama Pertamina. Dalam tim kampanye SBY-Boediono, nama Sutanto sebenarnya tidak tercantum. Tetapi dia memimpin organisasi pendukung pasangan incumbent itu bernama Gerakan Pro SBY (GPS), sebuah organisasi relawan untuk memperjuangkan kemenangan SBY-Boediono dalam Pilpres 8 Juli mendatang.
Untuk menghindari penolakan publik Sutanto akhirnya memutuskan diri mundur dari tim sukses bayangan tersebut, awal pecan lalu. Belakangan diketahui bahwa Sutanto ternyata tidak sendirian. Deretan nama komisaris BUMN tercantum dalam susunan tim resmi dan tim bayangan. Tak hanya pada kubu SBY-Boediono, tetapi juga JK-Wiranto.
Menurut data yang dirilis Badan Pengawas Pemilu, pecan lalu, tak kurang dari 9 komisaris BUMN tercantum dalam susunan tim resmi SBY-Boediono dan tujuh orang lainnya masuk dalam tim bayangan. Sementara dalam tim JK-Wiranto memasang sedikitnya empat orang komisaris BUMN. Lengkapnya lihat tabel.
Para petinggi BUMN tersebut telah menjalani pemeriksaan oleh Bawaslu. Hasilnya, memang terbukti bahwa mereka tercantum dalam daftar tim sukses masing-masing kandidat. Sebagai tindak lanjutnya, Bawaslu bakal melaporkan penandatangan surat pengangkatan tim kampanye SBY-Boediono dan JK-Wiranto ke polisi. Menurut anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Wirdyaningsih, dari pihak JK-Wiranto yang akan dilaporkan para penandatangan surat pengangkatan tim suksesnya. Ironisnya pada kubu capres-cawapres nomor tiga ini, JK dan Wiranto ikut menandatangani. Dalam Surat Keputusan bersama Partai Golkar dan Partai Hati Nurani Rakyat mengenai pembentukan tim kampanye, penandatangan adalah Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla, Sekretaris Jenderal Golkar Sumarsono, Ketua Umum Hanura Wiranto dan Sekretaris Jenderal Hanura Yus Usman.
Sedangkan pihak SBY-Boediono, yang menjadi terlapor adalah Hatta Radjasa sebagai Ketua Tim Kampanye Nasional dan Marzuki Ali dalam kapasitas sebagai Sekretaris Tim Kampanye Nasional.
Menurut konsultan hukum Bawaslu, Bambang Widjajanto, mereka dikenakan pasal 216 Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden. Mereka dijerat selaku pelaksana kampanye yang mengikutsertakan pejabat BUMN. Ancaman pidananya penjara paling singkat 3 bulan dan paling lama 12 bulan dan denda paling sedikit Rp 30 juta dan paling banyak Rp 60 juta.
Larangan pejabat negara terlibat dalam tim kampanye juga tertuang dalam Pasal 217 UU No 42/2008. Ancaman pidananya adalah hukuman penjara paling singkat enam bulan dan paling lama 24 bulan serta denda paling sedikit Rp 25 juta dan paling banyak Rp 50 juta. Pejabat negara lain yang dilarang kampanye adalah pejabat badan peradilan, BPK, dan Bank Indonesia.
Dengan demikian, para komisaris BUMN yang terbukti terlibat dalam kampanye Pilpres ikut menjadi terlapor yang diajukan Bawaslu ke kepolisian. Dari 20 orang pejabat BUMN yang telah diperiksa Bawaslu, 15 diantaranya masuk dalam daftar terlapor, sedangkan 5 orang sisanya lolos dari pelaporan karena berhasil mengklarisikasi ke pihak Bawaslu. Kelima orang itu adalah Tanri Abeng, Rekson Silaban, Soemarsono, Yahya Ombara, dan Sulatin Umar.
Lolosnya lima orang tersebut, menurut Bambang, karena berhasil membuktikan ketidaktahuannya kalau namanya masuk dalam tim kampanye. Achdari, misalnya. Ketua Dewan Pengawas Perum Peruri itu memang merupakan pengurus Partai Demokrat, tetapi tidak mengerti kalau juga dimasukkan sebagai tim sukses. "Pak Achdari, tidak pernah mengakui bahwa dia resmi menjadi tim sukses SBY-Boediono. Beliau tidak menyetujuinya," kata Bambang sambil membacakan surat klarifikasi Achdari tersebut.
Alasan senada terlontar dari Komisaris Utama PT Telkom Tanri Abeng. Pengusaha berjulukan Manajer Satu Miliar ini ngotot kalau dirinya juga sama sekali tidak mengetahui kalau dirinya masuk dalam daftar tim kampanye JK-Wiranto. Bagi Tanri, keterlibatannya dalam kampanye merupakan sesuatu yang tidak mungkin dilakukannya saat ini. "Dan itu saya pegang mati-matian," tandasnya.
Pantas saja kalau Tanri membantah tegas. Pasalnya tuduhan yang dialamatkan ke arahnya bisa sangat serius. Yang diperkarakan saat ini memang sebatas keterlibatannya dalam tim kampanye Pilpres. Tetapi sangat terbuka kemungkinan kasus ini berkembang menjadi penyalahgunaan dana BUMN untuk kepentingan capres tertentu. Dan bila terbukti, hukumannya juga sangat serius.
Keterlibatan para pejabat BUMN memang mengundng kecurigaan banyak pihak. Dari pengalaman masa lalu, pelibatan mereka tak lebih dari upaya untuk mengalirkan dana ‘siluman’ BUMN ke kas tim kampanye. Di lain pihak, sang pejabat juga mendapat imbalan kelanggengan jabatan atau bahkan promosi ke tingkat jabatan yang lebih tinggi. "Ada simbisosis mutualisme antara parpol dan pejabat BUMN. Kandidat itu mengajak pejabat BUMN untuk kepentingan pembiayaan untuk dana kampanye capres-cawapres," pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Lili Romli.
Namun tudingan itu dibantah tegas. Menurut anggota Tim Sukses SBY- Boediono, Syarif Hasan, pihaknya tidak sedikit pun mendapatkan bantuan dana kampanye dari BUMN. "Dana jelas tidak ada yang berasal dari Komisaris BUMN, dana dari BUMN itu haram hukumnya," tegasnya.
Syarif kemudian menjelaskan duduk posisi para komisaris BUMN di dalam tim sukses SBY-Boediono. Menurutnya, mereka hanya menjadi pemikir saja, bukan pemain lapangan. "Soal Komisaris BUMN, masuknya dia bukan di struktural tapi sebagai pemikir, fungsional saja," ujar Syarif.
Jadi, hal ini terjadi lantaran perbedaan penafsiran mengenai pejabat BUMN. . "Di satu sisi ada penafsiran bahwa komisaris BUMN itu adalah pejabat, di sisi lain ada yang mengatakan bahwa pejabat BUMN itu adalah mereka yang duduk di jajaran direksi yang dapat mewakili perusahaan baik di dalam dan di luar pengadilan," sambung Amir Samsudin, kordinator advokasi Tim Kampanye SBY-Boediono.
Kini, nama-nama para pejabat BUMN itu sudah bersih dari susunan tim kampanye Pilpres. Kubu SBY, misalnya, telah mengganti mereka dengan nama lain. Namun, Amir menyayangkan kenapa Bawaslu tidak mencermati hal ini sejak awal. Toh susunan tim kampanye Pilpres telah diajukan oleh masing-masing pasangan capres-cawapres sejak jauh hari.
Bagi sebagian kalangan, heboh dana siluman dari BUMN saat ini tidak banyak berarti. Diduga, dana-dana ‘siluman’ itu sudah mengalir sejak jauh hari. “Dana siluman itu perlu ditanyakan dan diaudit. Bagaimana suatu partai yang tiga tahun lalu relatif miskin tiba-tiba menjadi sangat kaya-raya. Dari mana uangnya?” kata mantan Menko Ekuin Rizal Ramli.
Sebelumnya, Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Yunus Husein, telah mengindikasikan terjadinya transfer dana siluman dari BUMN dan BUMD kea arah parpol tertentu. "Secara ekonomis (transaksi) bagi BUMN atau BUMD tidak menguntungkan, tapi bisa diduga sponsor bukan karena pertimbangan ekonomis. Dampaknya soal pencitraan. Mungkin lebih banyak faktor komando, ya?" katanya.
Yunus tak memastikan jumlah dan nilai transaksi mencurigakan dari BUMN dan BUMD itu. Ia hanya mengatakan bahwa jumlahnya mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah.
Fenomena BUMN dan BUMD sebagai sapi perahan sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Dari satu pemerintahan ke pemerintahan lainnya, praktik ini tak pernah mati.
BUMN merupakan elemen modal paling besar dalam perkembangan modal domestik di Indonesia. Aktivitas kapitalisme negara ini dimulai pada pertengahan 1950-an di masa Soekarno. Pada 1957-1959 BUMN didirikan sebagai respons terhadap nasionalisasi perusahaan Belanda, karena belum ada pengusaha swasta domestik yang cukup kuat. Kebanyakan BUMN didirikan di sektor perkebunan dan perdagangan, sebagai cara untuk menandingi modal internasional yang waktu itu dimiliki Belanda dan swasta nonpribumi, untuk membentuk modal swasta-nasional-pribumi. Saat ini terdapat 145 BUMN di Indonesia meliputi kategori, a. Sektor sumber daya: Pertamina, Timah, Aneka Tambang, Perhutani; b. Sektor perbankan: BRI, BNI, Bank Mandiri, BTN; c. Sektor manufaktur: Pusri, Krakatau Steel, dan; d. Sektor distribusi komoditi dasar: Bulog.
Di masa Soeharto (Orde Baru), BUMN merupakan sumber pendapatan penting bagi faksi politik dan ABRI, juga sebagai basis akumulasi kekayaan pribadi bagi pemegang kekuasaan politik. Pembobolan BUMN dilakukan dengan beragam alasan. Melalui cara bersih yaitu alokasi kontrak untuk konstruksi, distribusi, alokasi konsesi pengeboran minyak dan eksploitasi hutan (HPH), juga wahana untuk membangun patronase penguasa politik. Juga melalui beragam kegiatan penyisihan laba bersih untuk pembinaan usaha kecil/koperasi. Di mana ketentuan penyisihan dan penggunaan ditetapkan Menteri BUMN (Pasal 2 dan 88 UU No 19/2003 tentang BUMN). Ada pula BUMN yang berdalih sumbangan lainnya dalam bentuk program community development (kemitraan dan bina lingkungan).
Pada era Habibie tak jauh berbeda. Bahkan di era pemerintahan Megawati, jabatan di BUMN bahkan menjadi semacam komoditas bagi para broker, dengan melibatkan berbagai pihak, baik di pemerintahan maupun parlemen. Ketidakjelasan mekanisme seleksi pimpinan BUMN menjadi peluang tersendiri bagi broker untuk bermain. Nama-nama yang akan diusulkan bisa berasal dari si broker, DPR, pejabat Kantor Menteri Negara BUMN, lembaga-lembaga kajian "dadakan" atau juga pengusaha kagetan.
Ironis memang. Tetapi itulah faktanya. Entah sampai kapan praktik semacam ini berlangsung. Sejauh politik masih menjadi bahan dagangan, kiranya BUMN masih akan selalu menjadi sapi perahan. Ya, aliran dana siluman dari sapi perahan itu akan terus mengucur.