Traffic

CPX

PTP

DOWNLOAD KOLEKSI FILM KAMI

Monday, June 1, 2009

Ramai-Ramai Cari Kesalahan SBY!


Oleh: Rovy Giovanie
Menyimak pemberitaan media cetak dan elektronik beberapa hari terakhir terasa menyesakkan. Ketidakjujuran sangat kental terasa dalam komunikasi politik yang dilakukan para pasangan capres-cawapres pesaing SBY-Budiono.
Simak saja apa yang dilakukan Jusuf Kalla yang notabene masih menjabat sebagai wapres. Dalam kunjungan resminya sebagai wapres pun dia bisa sambil tertawa menyinggung ‘kelemahan’ SBY. Dalam wawancara dengan wartawan seusai menghadiri acara di Taman Mini Indonesia Indah, akhir pekan lalu misalnya, JK tanpa sungkan-sungkan mengatakan bahwa dirinya siap berperang dengan Malaysia bila kapal perangnya benar-benar memasuki wilayah Indonesia. Sebuah pernyataan sindiran terhadap SBY yang sejak awal dianggapnya tidak tegas.
Apalagi dalam kepasitasnya sebagai capres, dia tanpa risih melontarkan kata-kata yang menohok langsung ke arah pemerintah, seolah-olah dia lupa bahwa ikut bertanggung jawab atas segala apa yang terjadi di dalam pemerintah, entah itu keberhasilan ataukah kegagalan. Yang paling menggelikan adalah iklan-iklannya di media massa yang begitu berapi-apinya mewacanakan penolakannya terhadap ekonomi neo liberal (neolib), dengan menghadirkan sejumlah pakar ekonomi sebagai bintang iklannya.
Dalam kacamata komunikasi politik, konsep iklan semacam itu bukan hanya tidak etis dilakukan seorang kandidat yang juga incumbent, melainkan juga bisa memukul balik dirinya sendiri. Kenapa?
Sebelum menjawab, marilah kita menengok sejenak ke belakang. Kiranya publik masih ingat bagaimana image JK sebelum menjadi capres, bahwa dialah yang merupakan penggerak bidang perekonomian dalam kabinet Indonesia Bersatu, karena SBY lebih fokus pada bidang diluar ekonomi. Para ‘kaki-tangannya’ waktu itu secara vulgar menghembuskan isu tersebut melalui berbagai cara dan media. Isu ini pun cukup mudah bisa diterima publik dengan banyaknya pos-pos menteri bidang perekonomian yang diduduki kader Golkar.
Karena itu, maka sangat lucu kalau kemudian secara tiba-tiba mengkampanyekan seolah-olah dirinya menolak sistem perekonomian yang sedang diterapkan pemerintah saat ini. Lebih menyedihkan lagi, bagian-bagian pembangunan yang sukses diklaim sebagai prestasinya, tetapi menolak mengakui bagian-bagian yang kini mendapat kritikan tajam dari publik. Sebuah tindakan yang kurang simpatik, bahkan tidak etis.
Pendekatan konfrontatif oleh sesama incumbent semacam ini sangat riskan, karena memiliki potensi besar akan berlakunya teori bandul, yakni akan berbaliknya serangan ke arah diri sendiri. Fakta ini semakin memperkuat dugaan bahwa tim konsultan JK-Win tidak menyadari bahwa publik pemilih di Indonesia adalah kelompok tradisional yang masih menghargai nilai-nilai, etika dan tata krama.
Selain itu, cara semacam itu justru kian mengkerdilkan JK-Win. Logika awam mengatakan bahwa cara-cara menyerang lazimnya dilakukan oleh mereka yang tak percaya diri. Pun juga cara kekerasan cenderung dilakukan oleh mereka yang kurang berwawasan intelektual.
Lain halnya dengan Mega-Pro yang jelas-jelas merupakan oposisi. Sah-sah saja kalau mereka menerapkan strategi konfrontatif head to head dengan SBY-Budiono. Sejak awal pemerintahan SBY-JK dilantik, Mega dengan PDIP-nya sudah mengproklamirkan diri sebagai oposisi. Hal ini dijalankan secara konsisten melalui fraksinya di DPR RI yang selalu mengambil posisi berhadap-hadapan dengan pemerintah. Dan kini dilengkapi dengan Prabowo Subianto dengan Gerindra-nya yang sejak deklarasinya juga telah mengibarkan bendera ‘konfrontasi’ terhadap partai penguasa. Maka, secara komunikasi politik, memang sangat tepat kalau Mega-Pro berusaha ‘membabat’ habis program kebijakan yang dijalankan oleh pemerintahan Presiden SBY saat ini.
Simak saja iklan-iklan Parbowo dan Mega, sejak Pileg yang lalu menyerang pemerintah dengan cukup telak. Dengan menggunakan data-data yang entah diperoleh dari mana, mereka memainkan sedemikian rupa sehingga terkesan bahwa pemerintah tidak berpihak kepada rakyat kecil. Sebagai solusinya, mereka menawarkan ekonomi kerakyatan ala Mega-Pro dengan rumus-rumus yang kedengarannya mudah, dan janji-janji capaian yang seolah indah. Terlepas dari benar atau tidaknya konsep pembangunan yang ditawarkan, mereka memang harus melakukan cara itu sebagai bentuk differensiasi terhadap incumbent. Toh rakyat yang akan menentukan pilihannya.
Meski demikian bukan berarti mereka bisa seenaknya mencari-cari kesalahan pemerintah. Nafsu yang terlalu besar untuk menyerang incumbent justru bisa berdampak kontraproduktif. Apalagi bila serangan itu dipaksakan, maka sadar atau tidak sadar hal itu akan menimbulkan ketidakpercayaan dari publik pemilih. Ingat, bahwa rakyat sekarang tidaklah bodoh.
Karena itu pilihan SBY-Budiono untuk tampil cool sudahlah tepat. Fokus yang seharusnya dilakukan memang pemantapan sosialisasi akan capaian-capaian yang diraih selama lima tahun pemerintahan yang telah lewat. Tentu saja dilengkapi dengan upaya meyakinkan publik tentang rencana-rencana program pembenahan yang lebih riil terhadap sektor-sektor yang selama ini masih kedodoran.
Fokus pencitraan diri SBY-Budiono jauh lebih penting ketimbang menanggapi serangan lawan. Kalau sampai terpancing lawan, bukan hanya energi yang akan terkuras habis, tetapi juga berpotensi mengacaukan diri sendiri. Karena tugas lawan memang untuk memancing reaksi incumbent.
Kasus Ruhut Sitompul yang secara emosional menyerang salah satu ‘etnis’ –karena terpancing ucapan Fuad Bawazier-- bisa dijadikan pelajaran berharga.(*)