Traffic

CPX

PTP

DOWNLOAD KOLEKSI FILM KAMI

Friday, June 12, 2009

Kanibalisme yang Tak Terhindarkan

oleh: Rovy Giovanie/ Syarov D Imfath

Dari massa ke massa. Dari Pemilu ke Pemilu. Perolehan suara Parpol Islam tak pernah beranjak melebihi angka 40 persen. Hanya Pemilu 1955 yang berhasil mengumpulkan suara Masyumi, NU, PSII dan Perti sekitar 43 persen.
Hidayat Nur Wahid sewot. Dia tak terima kalau Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang pernah dipimpinnya dituding melakukan kanibal. Tudingan itu dianggapnya gegabah dan tidak beralasan sama sekali. "Saya tak setuju dengan anggapan bahwa kami menang lewat mengkanibal suara partai Islam lain, seperti PKB, PAN, PPP. PKS partai baru yang relatif mapan," kata politisi santun ini.
Tudingan ini memang bermuasal dari keberhasilan PKS mempertahankan perolehan suaranya, bahkan menaikkan jumlah kursinya di DPR dalam Pemilu 2009. Sementara parpol-parpol Islam lainnya melorot tajam. “PKS bisa mempertahankan suaranya karena banyak mengambil dari basis massa kami. Anda kan tahu kalau pemilih PKS sendiri banyak yang kabur. Belum lagi dengan masalah DPT yang sangat besar pengaruhnya terhadap penurunan suara. Lalu dari mana suaranya diperoleh kalau nggak kanibal antar sesama partai Islam?,” ujar salah seorang pentolan partai Islam itu.
Kanibal atau tidak sebenarnya tak menjadi masalah. Karena persaingan dalam berpolitik memang merupakan keharusan. Yang menjadikan hal ini menarik adalah penyebab munculnya tudingan kanibalisme, yakni akumulasi perolehan suara parpol-parpol Islam yang cenderung stagnan, atau bahkan malah cenderung menurun.
Menengok ke belakang, eksistensi parpol Islam sangat kentara pada Pemilu 1955. Akumulasi perolehan suara empat parpol Islam saat itu, yakni Masyumi, NU, PSII, Perti mencapai 43,50 %. Angka yang sebenarnya tak tinggi bila dibandingkan jumlah pemilih yang 90 persen merupakan penduduk muslim. Tetapi siapa nyana kalau angka tersebut ternyata merupakan pencapaian tertinggi sepanjang sejarah perpolitikan di tanah air. Karena dalam Pemilu-Pemilu selanjutnya parpol Islam ternyata mengalami kemerosotan yang cukup tajam. Pada Pemilu 1971 hingga 1992 berturut-turut menurun hingga menjadi 17,01 persen. Angka ini kembali meningkat tipis pada Pemilu 1997 menjadi 22,43%. Kenaikan kembali berlanjut pada Pemilu 1999 menjadi 35,99% – dengan memasukkan PKB dan PAN yang merupakan partai nasionalis namun berbasis pemilih Islam. Kenaikan berlanjut pada Pemilu 2004 menjadi 38,35%. Tetapi sayang Pemilu 2009 memaksa parpol Islam kembali mengalami penurunan yang cukup signifikan, menjadi 30,57%.
Tren perolehan suara parpol Islam ini semakin memperkuat konklusi bahwa ambang batas kemampuan parpol Islam dibawah angka 40%. Apalagi peta fluktuasi perolehan suara parpol-parpol Islam menunjukkan grafik yang menarik. Pada saat salah satu parpol mengalami lonjakan suara, maka parpol lainnya mengalami penurunan.
Karena itulah pakar politik dari Universitas Airlangga, M Asfar, berpendapat bahwa kanibalisasi antar sesama parpol Islam sangat sulit bisa dihindari pada masa-masa mendatang. “Apalagi parpol nasionalis kini juga semakin gencar menggarap basis massa tradisional parpol-parpol Islam,” terangnya kepada Mimbar Politik.
Mengapa ini bisa terjadi? Selain karena kecenderungan akan pudarnya politik aliran, juga karena parpol-parpol Islam sendiri tak mampu memberikan alternatif pilihan yang lebih baik, khususnya dalam melahirkan kepemimpinan yang kuat. “Lemahnya kepemimpinan parpol Islam memang menjadi penyebab signifikan di balik menurunnya suara. Tetapi faktor ketiadaan program yang jelas juga memberi kontribusi yang sepadan,” ujar pakar politik Bachtiar Effendy.
Bukti pentingnya peran kepemimpinan program adalah melonjaknya perolehan suara parpol Islam pada Pemilu 2004. Era itu ditandai dengan berkiprahnya tokoh-tokoh penting seperti Gus Dur (PKB), Amien Rais (PAN) dan Yusril Ihza Mahendra (PBB). Kini tak ada lagi pemimpin sekelas itu di dalam parpol Islam. Sedangkan keberhasilan PKS tak lepas dari kejelasan program yang diusungnya. Kondisi ini diperparah dengan rentannya konflik dan perpecahan internal masing-masing partai. “Parpol Islam yang seharusnya mengembangkan ukhuwah justru tidak ada,” kata Bachtiar.
Sedangkan Denny JA membeberkan fakta yang kurang menyenangkan bagi parpol Islam: Mayoritas muslim Indonesia merupakan pemilih moderat. Kesimpulan ini diambil dari serangkaian survei yang dilakukan dari Pemilu ke Pemilu.
Setidaknya ada tiga hal mendasar yang bisa menunjukkan moderatnya pemilih Indonesia. Pertama, pemerintahan Orba sudah melakukan penetrasi panjang dan kuat atas asas tunggal Pancasila, sehingga mengakar pada sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Kedua, pemihakan dua organisasi masyarakat Islam terbesar Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah atas Pancasila, dan ketiga, adanya peran intelektual para tokoh muslim moderat di Indonesia seperti Gus Dur dan almarhum Nurcholis Madjid.
Tetapi tingkat kemoderatan pemilih Islam ternyata memiliki perbedaan. Pemilih Islam tradisional lazimnya lebih moderat ketimbang pemilih Islam modern. Fakta ini tak lepas dari peranan NU yang merupakan Ormas Islam moderat. Kalangan NU terutama para kiainya selalu mengedepankan kemaslahatan (kepentingan) bersama dalam konteks berbangsa dan bernegara. "Jadi ada ukuran-ukuran politik yang lebih longgar dari NU dibandingkan dengan kelompok-kelompok Islam reformis, apalagi fundamentalis," ucap Deny.
Kondisi objektif semacam ini kian memperketat persaingan antar parpol Islam sendiri. Yang berarti aksi kanibalisasi antar parpol Islam akan terus berlanjut, dan bahkan kemungkinan besar akan meningkat.(*)

PEROLEHAN SUARA PARPOL ISLAM PEMILU 1955–2009

1955 Masyumi, NU, PSII, Perti 43,50
1971 NU, Parmusi, PSII, Perti 27,12
1977 PPP 29,29
1982 PPP 27,78
1987 PPP 15,97
1992 PPP 17,01
1997 PPP 22,43

1999 PPP, PKB, PAN, PBB, PK,
PNU, PSII, PKU, Masyumi,
PUI, PSII 1905, Masyumi Baru 35,99

2004 PKB,PAN,PBB,PPP,PPNU,PKS,PBR 38,35

2009 PKS, PAN, PKB, PPP, PBB,
PKNU, PBR, PMB, PPNUI 30,57