Traffic

CPX

PTP

DOWNLOAD KOLEKSI FILM KAMI

Tuesday, June 2, 2009

Kenapa Harus Menistakan Seorang Boediono?


Oleh: Rovy Giovanie
Boediono adalah agen neolib yang menyusup dalam kabinet ketika Megawati menjabat presiden. Demikianlah tudingan kejam yang dilontarkan secara terbuka oleh Sekretaris Tim Sukses Mega-Pro, Fadili Zon, dalam sebuah debat antar tim sukses capres-cawapres yang ditayangkan sebuah stasiun TV, Senin (2/6) malam.
Sebagai seorang intelektual tentunya sangat disayangkan melontarkan pernyataan yang sama sekali tidak berdasar.Apalagi sejauh ini tidak pernah ada bukti-bukti kongkrit yang mengarah pada tindak penyusupan semacam itu. Maka, tak salah kalau kemudian muncul pendapat bahwa pernyataan Fadli Zon itu tak lebih dari bentuk politik yang menghalalkan segala cara, sebuah cara yang sama sekali bertolak belakang dengan nilai-nilai kejujuran dan keadilan. Dan yang pasti, ucapan yang cenderung asbun itu hanya akan menistakan dirinya sendiri.
Sebenarnya, penistaan terhadap Boediono tidak sekali ini saja terjadi. Sejak munculnya nama Boediono sebagai calon pendamping SBY, sudah tak terhitung lagi berapa banyak upaya-upaya untuk menghancurkan nama mantan Gubernur Bank Indonesia itu. Ada yang menyerang pemikiran-pemikirannya, tetapi tak sedikit juga yang menyerang pribadinya. Wajar kalau para alumni UGM –dimana Boediono aktif menjadi dosen—tak terima atas penistaan itu. Padahal, semua pihak semula justru mengakui dan bahkan memuji prestasi-prestasi yang berhasil dicapai Boediono.
Tetapi itulah politik kita, yang masih suka mengumbar black campaign untuk menjatuhkan lawan. Diakui atau tidak, pasangan SBY-Boediono memang masih menjadi yang terkuat. Setidaknya sejumlah survey menunjukkan fakta itu. Sudah banyak cara dilakukan lawan-lawan politik untuk menjatuhkan SBY semasa kampanye menjelang Pileg yang lalu, namun selalu gagal. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya, Partai Demokrat keluar sebagai pemenang Pemilu dengan perolehan suara yang sangat fantastis, 20 persen lebih, naik tiga kali lipat dari hasil Pemilu 2004.
Karena itu, penunjukan Boediono sebagai cawapres memberi peluang bagi para lawan politik untuk melancarkan pukulan melalui berbagai cara dengan beragam alasan. Tetapi mengapa harus dengan cara menistakan Boediono? Setidaknya hal ini bisa dilihat dari beberapa perspektif.
Pertama, dari sisi pemikiran, selama ini telah muncul opini yang memposisikan Boediono sebagai seorang penganut neoliberal. Meskipun semula hal ini hanya sebatas wacana yang dilontarkan para pengamat ekonomi yang mencari perhatian, namun pengulangan wacana ini secara terus-menerus hingga akhirnya menciptakan kesan seolah-olah sebagai fakta. Ini merupakan celah strategis yang tak akan disia-siakan bagi lawan politik SBY untuk melancarkan pukulan. Ironisnya, celah ini menjadi semakin lebar ketika para rekan koalisi Partai Demokrat juga sempat melakukan penolakan terhadap Boediono pada detik-detik menjelang penetapan nama cawapres SBY.
Sejak saat itu, para pesaing SBY kian memantapkan posisi dan differensiasinya. Dengan wacana ekonomi kerakyatannya, Mega-Pro kian mantap memposisikan diri berhadap-hadapan dengan SBY-Boediono. Tanpa ragu sedikit pun, Prabowo yang notabene akan menjadi komandan ekonomi pemerintahan Mega –bila terpilih dalam Pilpres—menyandingkan konsepnya dengan fakta-fakta hasil pembangunan ala neolib yang dilabelkan pada Boediono. Pun dengan JK-Win yang semula hanya jualan ‘lebih cepat lebih baik’, kemunculan Boediono memberinya ruang untuk mengikuti jejak Mega-Pro yang melabeli Boediono sebagai neolib. Bahkan iklan-iklan JK terkesan sangat vulgar menyudutkan pemerintahan SBY, meskipun hingga detik ini dia masih menjabat sebagai wapres.
Kedua, sosok Boediono yang pendiam dan cenderung lugu memberi keleluasaan bagi kubu lawan untuk melancarkan serangan. Bahkan belakangan, serangan tidak lagi hanya mengarah pada konsep dan pemikiran, melainkan juga memasuki wilayah privasi. Mulai dari soal jilbab istrinya hingga soal keislamannya ikut dijadikan bahan black campaign. Bagi lawan politik dalam situasi persaingan seperti ini, kebenaran isu yang dihembuskan bukanlah menjadi sesuatu yang penting. Yang jauh lebih penting adalah tersebarnya wacana tentang isu tersebut ke tengah publik.
Bagi pihak Boediono memang bisa menepis dengan mudah isu-isu semacam itu karena memang tidak benar. Pembeberan fakta-fakta yang sebenarnya tentang sosok dirinya –misalnya dengan menunjukkan SD Muhammadiyah tempatnya sekolah dulu—memang sangat ampuh untuk melawan isu negatif yang dalam hal ini adalah soal keislamannya. Tetapi, lawan politik tetap diuntungkan. Walau bagaimanapun, isu negatip yang telah terlanjur menyebar tersebut pasti akan mempengaruhi pandangan sebagian masyarakat.
Politik memang cenderung menghalalkan segala cara. Tetapi, apakah adil bila itu dilakukan dengan cara menistakan pribadi seseorang? Apakah mungkin sang penista itu mampu memimpin secara jujur dan adil bila nantinya terpilih?
Silakan jawab sendiri.(*)