Traffic

CPX

PTP

DOWNLOAD KOLEKSI FILM KAMI

Saturday, June 20, 2009

Manuver Politik ‘Kanak-Kanak’ Ala JK

Oleh: Rovy Giovanie
Klaim Jusuf Kalla atas sejumlah keberhasilan pemerintah membuat gerah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Capres yang masih menjabat presiden itu bahkan terpancing manuver politik wapresnya.

Capres SBY curhat. Aksi main klaim yang dilakukan JK rupanya begitu membekas di lubuk hati presiden berlatar belakang militer ini. Ia tak habis pikir kenapa orang yang selama lima tahun mendampinginya itu tega melakukan itu. "Kok begitu ya Mas?" Demikian curhat SBY kepada Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi.
Dalam kampanyenya belakangan ini, JK memang kerap mengklaim keberhasilan pemerintah sebagai buah dari kerja kerasnya secara pribadi. Sebut saja misalnya program Bantuan Langsung Tunai (BLT), swasembada beras, dan yang paling akhir diklaim adalah perdamaian di Aceh. Di sisi lain, JK tak pernah mengakui keterlibatannya atas sejumlah isu kegagalan pemerintah, seperti membengkaknya utang luar negeri, tingginya angka pengangguran, dan sebagainya.
Dalam kasus perdamaian Aceh, JK bahkan tidak hanya memamerkan jasa besarnya, tetapi juga menyindir SBY. Di hadapan sekitar seribuan massa di Banda Aceh, Sabtu (13/6), JK memang tajk secara langsung menyebut nama SBY, tetapi pemimpin atau presiden. Kalla menceritakan bagaimana presiden tidak menandatangani masalah perdamaian dan pendirian partai lokal di Aceh. Presiden, aku JK, hanya manggut-manggut ketika mendengar laporannya. "Sejak awal negosiasi itu yang menandatangani semua komitmen adalah wakil presiden. Tapi atas sepengetahuan presiden. Semua itu saya laporkan ke presiden. Coba periksa tidak ada tanda tangan siapa pun kecuali tanda tangan saya dalam perjanjian Helsinski itu," beber Kalla.
Ucapan ini sontak mengundang reaksi. Kubu SBY-Boediono. Jubir Tim Sukses SBY-Boediono Rizal Mallarangeng menilai JK telah mempolitisir kasus Aceh. Menurut Rizal, yang paling berhak dipuji atas perdamaian Aceh adalah rakyat Aceh itu sendiri. "Rakyat Aceh harus diberi salut sehingga perdamaian dimungkinkan," ucapnya.
Aksi bantah sepuatr jasa JK di Aceh berlangsung cukup lama. Sampai-sampai SBY sendiri tampak nelangsa. Dengan gaya bahasanya yang santun, capres dari koalisi Partai Demokrat ini menilai JK sudah bertindak berlebihan. “Kalau ada yang salah SBY. Kalau ada yang baik ‘saya’,” keluh SBY saat kampanye di Lampung, Selasa (16/6).
Aksi saling kliam ini memang patut disayangkan. Sejumlah pengamat menilai tindakan JK itu kekanak-kanakan dan kontraproduktif. Bukannya simpati publik yang akan diraih. Sebaliknya, rakyat justru kian antipati. Menonjolkan diri sebagai yang paling punya andil dan jasa terhadap keberhasilan bisa membuat tersinggung anyak pihak yang terlibat dalam proses pencapaiannya. "Secara kultural masyarakat Indonesia juga tidak senang dengan sentimen ke-aku-an," kata Direktur Eksekutif Charta Politica, Bima Arya Sugianto.
Klaim keberhasilan hanya menunjukkan ketidakikhlasan kalau ada orang lain ikut berjasa. Ketua MPR Hidayat Nurwahid memahami klaim terhadap hasil pembangunan maupun pembangunan yang sedang berjalan, sulit dihindari. Tapi, seharusnya mereka mengemas dengan komunikasi yang membawa pencerahan bagi masyarakat. Contohnya, walau calon presiden Jusuf Kalla ikut menandatangani proyek jembatan Suramadu, mestinya tetap menjelaskan bahwa tanpa ada persetujuan dari calon presiden incumbent Susilo Bambang Yudhoyono, mustahil penandatanganan akan terealisasi. Begitu juga dengan SBY. Mestinya mengakui meskipun dia yang meresmikan jembatan Suramadu, tetap proses perencanaan pembangunannya telah dimulai sejak jaman Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, sampai Presiden Megawati Soekarnoputri. “Begitu juga dengan Mega, mestinya bilang meski saya yang tancapkan tiangnya, tapi pembangunan dilanjutkan penerus saya sampai akhirnya diresmikan. Disinilah letaknya masyarakat melihat dimana letak kualitas dan kenegawaranan seseorang,” jelasnya.
Yang pasti, dalam sebuah negara yang menerapkan sistem presidensiil seperti Indonesia, segala keputusan dan kebijakan berada penuh di tangan Presiden. Presiden tentu dapat mendelegasikan otoritas kepada Wakil Presiden maupun menteri-menteri, tetapi tidak bisa mereka mengambil suatu keputusan tanpa mendapat persetujuan presiden. "Makanya, hanya ada Keputusan Presiden, tidak ada Keputusan Wakil Presiden. Dan yang bertanggung jawab kepada rakyat juga hanya presiden," tutur Ketua Dewan Pakar Tim SBY-Boediono, Bara Hasibuan.
Fakta inilah yang membuat SBY berpikiran buruk terhadap JK. Dalam curhatnya kepada Sudi Silalahi tadi, SBY menyiratkan dugaan adanya upaya membelokkan fakta sejarah.
Sudi Silalahi memang tahu betul bagaimana proses perdamaian di Aceh berlangsung. Mantan Kepala Desk Aceh di Kementerian Politik dan Keamanan ini pun mencoba kilas balik. Tahun 2001, ia menjabat Sekretaris Kementrian Koordinator Politik dan Keamanan, saat Menko Polkam dijabat SBY. Menurut Sudi, sejak SBY menjabat Menko Polkam, waktu itu sudah mencari solusi Aceh dengan mengusulkan Instruksi Presiden. "Banyak sekali yang dilakukan Pak SBY, keluar masuk Aceh mencari solusi dan mencari perumusan untuk mengakhiri konflik," kata Sudi.
Dia tak menampik saat SBY menjabat Menko Polkam, perdamaian di Aceh memang belum sukses. Alasannya, tidak semua unsur atau elemen di pemerintahan solid. Puncaknya, saat SBY terpilih menjadi presiden tahun 2004. Saat itu, ujar Sudi, SBY ingin sungguh-sungguh menyelesaikan konflik di Aceh karena tidak ingin melihat ada kekerasan. Ajakan SBY itu langsung direspons positif saudara-saudara di Aceh. Baik oleh GAM yang ada di Aceh atau di luar negeri. Semua keputusan tetap ada di tangan Presiden. Dari mulai arahan hingga kendali keputusan. "Dan titik koma pun Pak SBY ada di dalamnya. Tidak mungkin tiba-tiba terbang ke Helsinski, selesai persoalannya. Itu perjalanan panjang untuk menyelesaikan Aceh," jelas Sudi.
Terlepas dari etis tak etisnya manuver yang dilakukan JK, yang pasti wacana tentang siapa di balik proses perdamaian Aceh akhirnya menjadi perbincangan luas. Betapa malunya JK kalau sampai fakta-fakta baru mengungkap bahwa ternyata banyak tokoh-tokoh lain yang justru memiliki peranan lebih penting.
Manuver JK kali ini memang benar-benar menjadi pukulan balik. Masyarakat Aceh sendiri kabarnya kecewa atas pengklaiman itu. Bahkan Ketua Partai Aceh telah menegaskan untuk tidak memilih JK ataupun SBY. Partai lokal pemenang Pileg 2009 ini emmilih bersikap netral. "Dalam Pilpres, kami tidak memihak. Kami serahkan kepada rakyat. Kami memihak apa yang dipilih rakyat. Rakyat akan dibebaskan untuk memilih," kata Sekjen Partai Aceh, Teuku Yahya Muad, pekan lalu.
Meski demikian bukan berarti 47 persen pemilih Partai Aceh bersikap golput. Faktanya beberapa aktivis Partai Aceh kini menjadi tim sukses Partai Demokrat. Rakyat Aceh lebih melihat perdamaian yang dinikmati saat ini sebagai buah kerja keras pemerintah dan GAM atau Partai Aceh.