Traffic

CPX

PTP

DOWNLOAD KOLEKSI FILM KAMI

Saturday, June 20, 2009

Antara Siklus 29 Tahunan dan Tuntutan Jaman

Oleh: Rovy Giovanie
Derasnya arus gerakan politik kalangan elit NU konon sebagai pertanda bakal bangkitnya kekuatan politik NU di tanah air. Tetapi realitas politik nahdliyin yang terpecah belah saat ini seolah menafikan cita-cita kaum idealis itu.

Tahun 2013 nanti NU akan menjadi partai politik besar. Semua partai dan elemen berbasis NU akan bersatu untuk bisa tampil ke tampuk kekuasaan. Ini dilakukan guna menghadapi bangkitnya kekuatan-kekuatan yang bisa menjadi ancaman bagi ajaran ahlu sunnah wal jamaah.
Demikian keyakinan yang tertanam pada sebagian aktiivis dan politisi muda NU. Hal ini tentu saja bukan tanpa alasan. Bukan juga ramalan ala Mama Laurence. Kesimpulan ini dicapai berdasarkan perhitungan siklus 29 tahunan yang selama ini terjadi di tubuh ormas terbesar di Indonesia ini.
Bagi nahdliyin, siklus 29 tahunan memang sudah dikenal luas. Musababnya adalah salah satu bagian dari isi AD/ART pertama yang dibuat oleh para pendiri NU. Intinya, AD/ART itu menyebutkan bahwa NU berdiri untuk masa waktu 29 tahun. Dalam muktamar NU berikutnya kemudian dictum ini diubah menjadi, ”NU didirikan untuk waktu tidak terbatas”.
Namun bila ditelusuri secara seksama, siklus 29 tahunan itu memang nyata adanya. NU selalu mengalami perubahan pola dan strategi gerakan secara fundamental setiap 29 tahun. Siklus pertama terjadi pada era 1926 – ketika NU pertama kalinya berdiri —hingga 1955. Ini merupakan masa-masa awal NU yang dipimpin langsung oleh para pendirinya, terutama KH. Hasyim Asy’ari.
Rentang 29 tahun pertama ini, NU dikenal sebagai jam’iyyah yang konsisten menjaga akidah ahlussunnah wal jamaah degan visi kebangsaan dan keindonesiaan. Ini direalisasikan dengan keterlibatan NU dalam perjuangan bangsa ketika ikut mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Memasuki 1955, NU mengalami perubahan mendasar. Organisasi ini menjelma sebagai partai politik. Langkah ini diambil lantaran kekecewaan NU sehingga keluar dari Masyumi pada 1952. Setelah melalui pembahasan dan perdebatan internal yang cukup tajam akhirnya NU secara resmi dideklarasikan sebagai partai politik pada 1954.
Siklus 29 tahunan kedua adalah rentang 1955 sampai dengan 1984. Era dimana NU telah menjelma menjadi partai politik. Hanya dengan masa persiapan setahun, NU memberanikan diri mengikuti Pemilu multi partai yang pertama kalinya digelar dalam sejarah republik ini pada 1955. Meskipun sebagai pendatang baru, raihan suara NU ternyata cukup signifikan, yakni 18,41 persen, dibawah PNI (22,32%) dan Masyumi (20,92%). Sedangkan PKI di urutan keempat dengan perolehan suara 16,36 persen.
Beberapa tahun setelah Orde Baru berkuasa, tepatnya pada 1972, Partai NU bersama partai-partai Islam lain dipaksa fusi ke dalam wadah partai baru bernama Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Perubahan secara fundamental terjadi di tubuh NU ketika siklus kedua menjelang akhir, yakni 1984. Waktu itu digelar Muktamar NU ke-27 di Situbondo, Jawa Timur. Hasilnya, Munas mengambil keputusan revolusioner, yakni keluar dari politik praktis. Keputusan ini memantapkan hasil Munas NU satu tahun sebelumnya (1983) perihal positioning Partai NU yang sempat berfusi ke dalam PPP.
Keputusan untuk kembali ke khittah NU tahun 1926 ini menjadi titik balik memasuki siklus ketiga. Para kyai yang berperan besar dalam momen bersejarah ini adalah para tokoh muda NU ketika itu: KH. Ahmad Sidiq (alm), KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan KH. Mustofa Bisri (Gus Mus). Hingga kini, Gus Dur dan Gus Mus banyak mewarnai jagat perpolitikan tanah air.
Merujuk pada siklus 29 tahunan ini, maka titik balik siklus keempat terjadi pada 2013. Para politisi muda NU berkeyakinan bahwa yang akan terjadi pada tahun itu adalah menjelmanya kembali NU sebagai partai yang utuh. Menurut mereka, tanda-tandanya sudah nampak sejak Pemilihan Presiden 2004 hingga Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden 2009.
Tampilnya Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi sebagai cawapres mendampingi Megawati pada Pemilihan Presiden 2004 silam dianggap sebagai pemantiknya. Kegagalan Hasyim dalam Pemilu Presiden tersebut tak serta merta menyurutkan syahwat politik mereka. Dari jajaran elit tingkat cabang hingga PBNU masih menyimpan ‘dendam’ untuk berkuasa. Bahkan belakangan cukup banyak kader NU yang berhasil memenangkan pemilihan Gubernur atau kepala daerah lainnya di sejumlah tempat, termasuk DKI Jakarta yang dimenangkan oleh Fauzi Bowo, kader NU.
Kegagalan partai-partai berbasis massa NU seperti PKB dan PPP juga dianggap sebagai alasan untuk membangkitkan Partai NU. Tetapi alasan mendasar yang dinilai sebagai pendorong utama berdirinya Partai NU adalah meningkatnya ancaman terhadap eksistensi ahlu sunnah wal jamaah seiring dengan melesatnya kekuatan Jaringan Islam Liberal (JIL), kelompok yang sebenarnya banyak dimotori sanak-keluarga nahdliyin. Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi bahkan secara terang-terangan menyebut JIL sebagai ancaman. Isu ini pula yang dijadikan Hasyim sebagai bahan bakar untuk menggerakan semangat kebangkitan kembali politik NU. “Nahdliyyin harus memilih presiden Indonesia yang mau berjuang dan berdakwah untuk Islam. Sebab, akidah Islam saat ini sedang dalam ancaman, terutama aliran-aliran sesat, seperti Jaringan Islam Liberal,” ucap Hasyim, beberapa waktu lalu.
Wacana tentang bahaya JIL telah meluas di kalangan para kiyai. Bahkan isu ini sudah menjadi bahasan dalam bahtsul-masail NU. Meskipun, sejauh ini belum jelas apakah sudah ada keputusan resmi dari PBNU tentang sesatnya Islam liberal.
Di luar isu JIL, fenomena gesitnya gerakan PKS sebagai parpol berbasis ideologi Wahabi – dan melemahnya partai-partai yang didirikan warga NU -- juga dinilai sebagai ancaman. Terlebih dalam Pemilu 2009 dimana PKS dianggap semakin blak-blakan tentang paham Wahabi yang dianutnya.
Kalangan internal NU menduga, problematika ini, termasuk wacana tentang pendirian Partai NU, akan menjadi topik dalam Muktamar NU ke-32 akhir 2009 ini. Hasyim Muzadi disebut-sebut sebagai salah seorang motor penggerak di balik upaya pengembalian NU ke jalur politik praktis. Karena itu dalam Muktamar mendatang Hasyim memiliki kepentingan besar untuk memasang orang-orangnya di dalam kepengurusan PBNU demi menjalankan misi dalam menghadapi JIL , paham Wahabi, dan hal lain yang menurutnya merupakan ancaman bagi kaum nahdliyin.
Alasan itu pulalah yang melandasi kuatnya dukungan Hasyim terhadap pasangan JK-Wiranto. Apalagi sebuah sumber dari kalangan dekat Hasyim menyebutkan, posisi Hasyim sebagai Ketua PBNU dalam bahaya bila sampai SBY-Boediono berhasil memenangkan Pilpres mendatang. “Kalau sampai SBY menang, dia akan merekayasa Muktamar guna mengganti Pak Hasyim dengan Pak Muhammad Nuh yang sekarang menjabat Menkominfo. Ini kan bahaya, karena Pak Nuh tidak memiliki ikatan historis dengan NU,” jelas sumber yang enggan disebutkan namanya tadi.
Sejauh ini, kebenaran isu tadi memang belum diketahui. Baik pihak SBY maupun Hasyim enggan mengomentari hal tersebut. Tetapi yang pasti, isu yang digulirkan para elit NU – termasuk Hasyim Muzadi -- guna menyukseskan JK-Wiranto adalah ancaman dari kelompok Jaringan Islam Liberal dan penyebaran paham Wahabi di bumi Indonesia. Meskipun, seperti biasa, para tokoh NU sendiri banyak yang tak sependapat dengan Hasyim. Bahkan sejumlah tudingan miring dilamatkan ke arah Hasyim. Ia dituding memperalat isu-isu aliran sebagai alat untuk mencapai kepentingannya.
Menurut Gus Sholah dalam sebuah artikelnya, terlalu naïf kalau NU berupaya merebut kekuasaan hanya untuk kepentingan-kepentingan sempit. “Apakah Presiden RI harus berdakwah untuk kepentingan salah satu agama, apalagi sampai terlibat dalam masalah internal seperti memerangi ajaran-ajaran sesat? Tugas Presiden adalah menegakkan UUD dan UU secara adil serta melindungi seluruh tumpah darah dan rakyat, tidak boleh memihak kepada salah satu agama,” demikian Gus Sholah.
Selain itu, pihak-pihak yang menjadi sasaran juga membantah tudingan Hasyim tadi. Ketua PKS Tiffatul Sembiring, misalnya, secara tegas membantah kalau partainya disebut sebagai penganut aliran Wahabi. "PKS jelas-jelas bukan sebuah aliran Wahabi, yang menurut sebagian orang cenderung mengabaikan amal dalam Islam yang sudah menjadi tradisi dalam masyarakat, seperti acara tahlilan dan doa qunut," kata Tifatul, beberapa waktu lalu.
Yang jelas, menurut Tifatul, para anggota Majelis Syuro PKS 60% harus memiliki latar belakang pendidikan syariah. Selebihnya, barulah kemampuan ilmiah. "Syarat ini mutlak harus dilakukan, karena dari awal PKS telah mengklaim dirinya sebagai partai dakwah dengan dasar Al-Qur'an dan Hadits," ujarnya
Terlepas dari polemik itu, yang jelas era politik aliran memang telah memudar. Merosotnya perolehan suara parpol-parpol berbasis massa Islam adalah salah satu indikasi kuatnya. Pun dengan rendahnya angka warga nahdliyin yang memilih partai Islam juga merupakan indikasi yang jauh lebih kuat.
Tren yang terjadi dalam percaturan politik ke depan tak lagi mengedepankan simbol dan ideologi.. Lihat saja misalnya, otak-atik koalisi partai menuju Pemilihan Presiden mendatang tak begitu mempersoalkan identitas partai. Partai politik yang sedang merangkai koalisi itu tampak lebih bangga mengedepankan platform atau visi apa yang kemudian hendak diperjuangkan.
Pada titik ini sesungguhnya bangsa Indonesia sudah mulai merintis kembali gagasan yang berbasiskan kewarganegaraan terbuka, dengan sikap terbuka itu berarti pengakuan serta kesediaan untuk menerima perbedan identitas dan latar belakang yang beragam untuk membentuk satu komunitas politik yang sama, demi terwujudnya cita-cita masyarakat adil dan makmur.
Oleh sebab itu, pandangan-pandangan yang memimpikan bangkitnya kembali Partai Islam dianggap sebagai sebuah nostalgia yang tak pernah kesampaian. Menurut Gus Sholah, tampilnya Gus Dur sebagai Presiden pada SU MPR 1999 adalah puncak capaian NU dalam kehidupan politik. Dan hal itu dicapai Gus Dur melalui cara-cara yang inklusif laiknya seorang tokoh demokrasi.
Tak bisa dipungkiri bahwa NU sebagai salah satu pergerakan, akan selalu dinanti-nanti perannya dalam membawa perubahan dan perbaikan berbagai sektor kehidupan. Tak tertutup kemungkinan ketika NU berani merangkul umat agama lain ataupun kalangan lain, ia akan menjadi penggerak gerbong-gerbong transformasi sosial dan penguatan civil society.
Tetapi tak bisa dipungkiri bahwa penarikan diri NU dari politik praktis membawa keuntungan dan kerugian sekaligus, baik secara kelembagaan maupun individual. Kalau dulu patronase -- dalam bentuk bantuan dari pemerintah dan berbagai macam fasilitas -- mengalir melalui PBNU ke wilayah dan cabang, maka setelah kembali ke khittah 1926 semuanya menjadi berubah. Kini, setiap kiai bebas menjalin hubungan dengan Bupati atau Gubernur.
Ini menyebabkan menurunnya pamor dan pengaruh pengurus pusat terhadap warga di daerah. Secara kelembagaan, PBNU kehilangan sanksi efektif untuk memaksakan loyalitas kepada warganya. Suara nahdliyin menjadi jauh lebih cair dalam pelaksanaan pesta demokrasi, baik Pileg maupun Pilpres. Kondisi seperti ini yang justru sesuai dengan potret kehidupan sosial politik masa depan yang jauh dari kesan dan praktik-praktik eksklusivisme.
Karena itu tak berlebihan kalau banyak tokoh NU kultural menutup kemungkinan menjelmanya kembali NU sebagai sebuah partai politik layaknya Partai NU pada 1955 dulu. Apalagi saat ini para kader potensial NU telah tersebar di berbagai parpol nasionalis. Kecil kemungkinan untuk menyatukan mereka semua. Karena ini berarti mereka harus meninggalkan posisi strategis yang diraihnya melalui perjuangan panjang dan susah payah.