Traffic

CPX

PTP

DOWNLOAD KOLEKSI FILM KAMI

Friday, June 12, 2009

Tiada Maaf Lagi Buat Malaysia!

oleh: Syarov D Imfath/ Rovy Giovanie
Malaysia akhirnya keder juga dengan ancaman Indonesia. Menteri Pertahanan dan Panglima Angkatan Tentara Diraja Malaysia berjanji untuk melarang keras kapalnya berlayar di Ambalat. Kalau melanggar, gimana?
“Tembak saja.” Demikian Ketua DPR RI Agung Laksono mengeluarkan ancamannya dengan penuh kegeraman. Dan, anacaman itu tentu tidak ditujukan kepada Jusuf Kalla atau lawan-lawan politiknya di Partai Golkar. Melainkan kepada tentara Malaysia. Terutama, bila pihak Malaysia tak menepati janjinya untuk tidak berlayar lagi di perairan Ambalat. Ya, ancaman itu berkaitan dengan sengketa panjang Pulau Ambalat, sebuah pulau nun di timur Kalimantan Timur sana.
Pemerintah Malaysia sendiri memang berjanji tidak lagi membiarkan kapalnya berlayar di perairan yang masih disengketakan itu. Panglima Angkatan Tentara Diraja Malaysia (ATM) Jendral Tan Sri Abdul Aziz Zainal bahkan meminta maaf bila anak buahnya sempat meledek tentara RI. "Aziz menyatakan maaf jika benar tentaranya meledek TNI AL dan janji akan menjatuhkan saksi terhadap tentaranya jika betul hal itu terjadi," kata Yusron Ihza Mahendra, Wakil Ketua Komisi I DPR RI.
Awal pekan lalu, Yusron memimpin delegasi menemui sejumlah wakil pemerintahan Malaysia. Diplomasi lapis kedua ini menyertakakan sejumlah anggota Komisi I DPR lainnya, diantaranya Djoko Susilo, Shidqi Wahab, Andreas H Pareira, dan Happy Bone Zulkarnaen. Sebelumnya, Minggu dua pekan lalu (7/6), tiga orang lainnya telah berangkat duluan menemui Menhan Malaysia, Ahmad Zahid Hamidi, guna memuluskan jalannya diplomasi. Mereka adalah Effendy Chorie, Ade Nasution, dan Ali Mochtar Ngabalin.
Keseriusan wakil rakyat RI ini rupanya membuat gentar para pejabat penting Malaysia. Mereka pun menegaskan keengganannya berperang melawan Indonesia. Rupanya pemerintah Malaysia berpikir bahwa Indonesia kini tidak main-main. Apalagi suhu politik sedang memanas menjelang Pemilihan Presiden 8 Juli mendatang, sehingga berbagai kemungkinan bisa saja terjadi. Selain itu, pemerintah Indonesia juga telah melayangkan nota protes secara resmi. Nota protes ini tercatat ke-36 kalinya sejak tahun 2003. "Nota itu sebagai pembuktian registrasi protes kita yang sebelumnya sudah 35 kali menyampaikan nota protes," kata Juru Bicara Deplu, Teuku Faizasyah.
Secara tradisional sejak puluhan tahun lalu, Malaysia memang selalu segan dengan kekuatan militer Indonesia. Hal ini tak lepas dari posisi Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, yang diidentikkan juga dengan besarnya kekuatan militer kita. Bahkan Australia saja, dalam hal kekuatan militer kita itu, juga kerap menyampaikan kekhawatirannya.
Membuktikan keseriusannya, Rabu pekan lalu (10/6), Jendral Abdul Aziz langsung terbang ke Jakarta menemui Menhan Juwono Sudarsono untuk meredakan situasi. “Malaysia tidak pernah punya maksud untuk melukai Indonesia. Kami hanya melakukan patroli untuk keamanan maritim dan tidak ada maksud untuk menguasai wilayah laut Indonesia,” ujar Aziz.
Juwono menyarankan supaya Indonesia dan Malaysia membuat suatu joint maritim border patrol. Kedua negara melakukan patroli tidak melewati laut teritorial di atas 12 Nautical mile atau suatu lintasan yang disepakati tidak akan dilanggar. Menurut ketentuan, ada wilayah kedaulatan dari pantai sampai 12 Nautical mile, ada zona tambahan 12-24 Nautical mile, ada wilayah ZEE lepas dari 24 Nautical mile yang merupakan wilayah hak daulat, bukan wilayah kedaulatan. "Tapi justru yang di tengah-tengah itu yang sensitif, karena terjadi perselisihan paham tentang apa batas-batas itu. Karena di laut lepas agak sulit untuk sepakat tentang batas-batas laut teritorial," papar Juwono.
Mengenai sengketa Ambalat sendiri akan dibicarakan dalam perundingan babak ke-14 bulan Juli nanti di Kuala Lumpur. Lamanya perundingan hingga ke babak 14 ini akibat sikap Malaysia yang ngotot bahwa Ambalat adalah miliknya.
Blok Ambalat dengan luas 15.235 kilometer persegi, ditengarai mengandung kandungan minyak dan gas yang dapat dimanfaatkan hingga 30 tahun. Malaysia merasa berhak atas wilayah eksplorasi minyak itu setelah memenangi sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan lewat Mahkamah Internasional pada 2002. Tiga tahun kemudian negara tetangga itu memberikan konsesi kepada Shell, perusahaan Inggris-Belanda, untuk mengeksplorasi minyak di Blok Ambalat. Klaim Malaysia ditunjukkan pula dengan seringnya mengirim kapal perang dan pesawat militer ke wilayah ini. Aksi tersebut dibalas pula dengan pengerahan kapal perang dan pesawat tempur oleh Tentara Nasional Indonesia di sana.
Tentu saja, provokasi Malaysia perlu dihadapi dengan hati-hati. Sebab, baik secara faktual maupun yuridis posisi Indonesia sesungguhnya amat kuat. Dunia telah menerima konsep negara kepulauan yang berprinsip bahwa tak ada perairan lepas di antara pulau-pulau di negara jenis ini. Indonesia boleh menentukan batas wilayah kedaulatan dan zona ekonomi eksklusif dengan menarik garis pangkal dari pulau-pulau terluar. Prinsip ini telah diterima dalam Konvensi Hukum Laut Internasional 1982. Dengan dasar inilah, jelas Blok Ambalat masuk wilayah Indonesia.
Walaupun Pulau Sipadan dan Ligitan telah jatuh ke tangan Malaysia, bukan berarti Blok Ambalat bisa dikuasai oleh negara itu. Indonesia masih bisa menarik garis dari Karang Unarang, yang terletak di tenggara Pulau Sebatik, sebagai pengganti garis pangkal di Pulau Sipadan dan Ligitan. Lagi pula Malaysia bukanlah negara kepulauan. Cara mengukur perairan yang menjadi kekuasaannya bukan dari pulau terluar, melainkan tetap dari daratan Sabah.
Secara faktual, Indonesia juga telah memberikan konsesi eksplorasi di Ambalat kepada ENI, perusahaan Italia, pada 1999. Adapun Blok Ambalat Timur diberikan kepada Chevron, perusahaan Amerika Serikat, pada 2004. Bahkan, jauh sebelumnya, sejak 1961 Indonesia sudah mengeksplorasi blok ini. Selama itu pula Malaysia tidak pernah menyampaikan protes.
Kendati begitu, harus diakui selama ini Indonesia kurang serius mengurus perairan yang begitu luas. Undang-Undang No. 6/1996 tentang Perairan Indonesia pun tidak memuat batas wilayah yang jelas sesuai dengan ketentuan Konvensi Hukum Laut Internasional. Pemerintah juga belum menyelesaikan perundingan dengan negara-negara tetangga untuk menentukan batas perairan yang masih abu-abu. Dan, saat ini sekitar 12 pulau di wilayah Indonesia memiliki masalah-masalah perbatasan. Di perbatasan Malaysia, potensi masalah ada di sekitar Ambalat, Pulau Berhala dan Pulau Rondo.