Traffic

CPX

PTP

DOWNLOAD KOLEKSI FILM KAMI

Saturday, June 20, 2009

Netralitas di Tengah Geliat Elit

Oleh: Rovy Giovanie
Keterlibatan dan keberpihakan para elit NU dalam politik praktis mau tak mau menyeret ormas terbesar ini ke gelanggang politik praktis. Ironisnya deretan catatan kegagalan tak juga membuat jera. Menurunkan wibawa NU?

Wajah Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi belakangan kerap nongol di TV. Dengan gaya khasnya, dia memuji-muji capres Jusuf Kalla yang bakal maju dalam Pilpres 2009 bersama cawapres Wiranto. Bagi Hasyim, JK adalah kader NU dan sosok yang baik untuk memimpin negeri ini.
Ya. Pemimpin tertinggi di kelembagaan PBNU ini memang tampil dalam salah satu iklan kampanye JK-Win. Pria kelahiran Tuban, Jawa Timur ini, nampaknya ingin memberi sokongan penuh guna menyukseskan JK-Win dalam Pemilihan Presiden mendatang. “Alhamdulillah, akhirnya ada warga NU yang menjadi capres setelah sebelumnya hanya menjadi cawapres (calon wakil presiden),” kata Hasyim di kantor PBNU.
Tak cukup hanya melalui iklan, para kiyai NU pun digerakkannya. Dalam doa pembukaan Musyawarah Kerja Wilayah I PWNU Jawa Timur, beberapa waktu lalu misalnya, pengasuh Pondok Pesantren Besuk, Pasuruan, Kiai Mas Ahmad Subadar mendoakan agar JK menjadi Presiden RI yang menjaga akidah ahlussunah wal jamaah.
Arah dukungan elit NU ke JK-Win memang terang benderang. Ketua Tanfidziyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur KH Hasan Mutawakkil Alallah bahkan memberanikan diri menyebut bahwa sebagian besar kiai pengasuh pondok pesantren NU di Jatim siap menyukseskan pasangan kandidat Presiden dari Golkar dan Hanura itu. Kalau para kyai sepuh pada turun berarti kepengurusan tim sukses juga diambil dari pengurus pondok pesantren, sehingga efektif dalam mendulang suara. “Saya benar-benar kagum, para kiyai sepuh kini kompak mendukung JK-Win. Ini berbeda dengan Pilgub Jatim lalu yang sempat terpecah belah,” tegasnya.
JK-Win memang menggarap basis massa NU dengan sangat serius. Sejumlah pasukan khusus yang beranggotakan para tokoh pesantren telah dibentuk. Untuk menunjang efektivitas kerja mereka, JK pun membuka hotline khusus. Bahkan para kyai yang ingin bertemu JK cukup hanya dengan mengirimkan pesan singkat melalui SMS.
"Setelah kirim SMS, berangkat ke Jakarta dan setelah itu pasti ketemu. Prosedurnya dibuat sangat mudah," jelas pimpinan Pondok Tebuireng Jombang, KH Solahuddin Wahid alias Gus Solah.
JK tahu betul kelebihannya dalam menggarap massa NU. Di antara ketiga capres, dia memang paling dekat hubungan emosionalnya dengan NU. Saat ini JK tercatat sebagai Ketua Mustasyar NU wilayah Sulawesi Selatan. Ayah JK, Hadji Kalla sejak dulu sudah dikenal sebagai bendahara NU Sulsel. Belum lagi dengan dukungan Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) – pecahan PKB, yang juga sebagian besar tokoh-tokohnya berasal dari NU. Pada Pemilihan Anggota Legislatif lalu, PKNU bahkan mampu ‘mencuri’ suara yang cukup signifikan di daerah-daerah yang semula merupakan basis massa PKB.
Menurut Ahmad Bagdja, salah seorang Ketua PBNU, kecocokan para kyai Jatim dengan JK juga diperkuat dengan terpenuhinya syarat-syarat Presiden yang diajukan oleh para ulama NU. Setidaknya ada tiga kriteria Presiden yang selama ini disosialisasikan para kyai kepada santrinya. Pertama, tidak memandang agama sekedar hak dan kebutuhan individual sebagaimana pemahaman kamum sekuralis. NU menghendaki agar agama benar-benar dijadikan sebagai ruh yang mewarnai segala aktivitas kenegaraan. Kedua, pemimpin yang memberi perhatian besar terhadap pendidikan kaum nahdliyin yang sebagian besar merupakan masyarakat akar rumput. Dengan demikian kaum nahdliyin mampu meningkatkan kualitas sumber dayanya. Ketiga, harus berani memihak ekonomi rakyat kecil. Misalnya dengan cara menganggarkan secara nyata dan jelas berbagai bentuk program pemberdayaan rakyat miskin dalam APBN. Juga kebijakan-kebijakan pemerintah yang berpihak dan melindungi rakyat tak mampu. “Karena kecocokan itu, sehingga para kyai merasa klop dan memiliki beban moral untuk mendukung sesama warga NU,” ungkap Bagdja.
Meski demikian semua petinggi NU mengelak bila hal ini disebut dukungan formal atau bersifat kelembagaan. “Secara organisasi, baik vertikal maupun horisontal, NU tidak boleh berpihak kepada salah satu capres-cawapres,” tegas Bagja. Secara vertikal artinya dari tingkat pusat hingga ke cabang dan ranting. Sedangkan secara horisontal mencakup 10 organisasi otonom, 14 lembaga, dan dua lajnah yang dinaungi PBNU. “Menggunakan atribut NU saja tidak boleh, apalagi dukungan resmi. Ini sesuai dengan khittah, kode etik, dan AD/ART NU,” tambah Bagja.
Sejak Muktamar Situbondo 1984, secara organisatoris NU memang kembali ke khittahnya tahun 1926. Artinya, NU tidak lagi menjadi organisasi keagamaan yang berafiliasi ke salah satu partai politik atau menjadi partai politik seperti pada Pemilu 1955. Keterlibatan secara politik sesuai dengan khitah sebatas keterlibatan individu. Namun, dalam pelaksanaannya, ternyata tak berjalan mulus. Langkah-langkah yang dilakukan para elitnya cenderung nyerempet pelanggaran khittah. Mulai dari keterlibatan dan pemihakan terhadap salah satu calon dalam Pilbup, Pilgub hingga Pilpres seperti sekarang ini.
Menurut Guru Besar Sosiologi dan Rektor IAIN Sunan Ampel Prof Dr Nur Syam MSi, sangatlah sulit dihindarkan terseretnya gerbong organisasi NU ketika elitnya memasuki percaturan politik praktis. “Memang agak rumit menjustifikasi keterlibatan seseorang di dalam dunia politik, apakah atas nama individu atau organisasi. Namun, jangan dilupakan bahwa ketika seorang pimpinan organisasi memasuki kawasan tersebut, maka secara langsung atau tidak akan menyeret institusinya,” ujar Nur Syam.
Sebagai contoh adalah era NU semasa Orde Baru. Keterlibatan NU dalam politik kala itu mengakibatkan hampir seluruh akses NU dalam pengembangan masyarakat menjadi bermasalah. Banyak lembaga pendidikan NU yang tidak dapat mengakses kemajuan. Demikian pula institusi ekonomi, kesehatan, dan sebagainya. “Medan politik merupakan medan paling rawan. Dari medan ini, segala benang ruwet NU tidak mampu diurai, bahkan bisa saja masalahnya menjadi semakin krusial,” tambahnya.
Barangkali karena itulah Gus Sholah belakangan ini merasa gelisah. Keterlibatan NU yang terlalu dalam pada Pemilu Presiden 2009 ini dikhawatirkan akan membuat organisasi ini kian tercabik-cabik. Cucu pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari, mengungkapkan sejumlah fakta bahwa keterlibatan NU dalam politik praktis selama ini ---pilpres, pilgub, pilbub, dan sebagainya-- ternyata justru menjadikan NU terkerangkeng di dalam sebuah permainan politik yang tidak menyenangkan. Karena itu, menurutnya, dalam menghadapi Pilpres 2009 ini NU harus mampu menyikapinya secara cerdas.
Gus Sholah sendiri pernah mengalami sendiri ketika maju sebagai cawapres mendampingi Wiranto pada Pilpres 2004 lalu. Berbeda dengan Hasyim yang tak mengundurkan diri – hanya nonaktif dari jabatan Ketua Umum PBNU -- meski maju sebagai cawapres mendampingi Megawati, Gus Sholah mengundurkan diri secara resmi sebagai Ketua PBNU. Toh kedua pentolan NU ini mengalahkan pasangan SBY-JK untuk melengang ke istana. Artinya, nahdliyin ternyata tidak serta merta memilih capres-cawapres dari NU, meskipun yang tampil itu pimpinannya sendiri.
Setelah kekalahan itu terjadi memang sempat muncul berbagai apologi. Ada yang mengatakan kekalahan Mega-Hasyim pada Pilpres putaran kedua tahun 2004 itu disebabkan penolakan nahdliyin memiliki presiden wanita. Ada juga yang berpendapat bahwa hal itu terjadi lantaran Hasyim dan Gus Sholah hanya duduk sebagai cawapres.
Toh, apapun alasannya, fakta politik tak bisa dibantah: Pilihan nahdliyin ternyata sama sekali tidak identik dengan pilihan para elitnya. Bahkan ketundukan santri terhadap pilihan kyai pun belakangan kian memudar seiring dengan meningkatnya kesadalan politik rakyat. Terlalu banyak contoh untuk bisa disebutkan, termasuk dalam pelaksanaan Pemilu Legislatif 2009.
Begitu pun dengan pelaksanaan Pemilihan Presiden 2009 ini, suara NU sama sekali jauh dari kata bulat. Meski pucuk pimpinan NU mengimbau pengikutya untuk memilih JK-Win, namun berbagai survei menunjukkan keunggulan pasangan SBY-Boediono yang terpaut cukup jauh dibandingkan dengan JK-Win dan Mega–Pro. Bahkan survei yang dilakukan secara khusus oleh LP3ES terhadap warga nahdliyin, ternyata menunjukkan sekitar 39,2% di antaranya memilih pasangan SBY-Boediono. Ini artinya pasangan incumbent tetap leading dibandingkan dua pesaingnya.
Nahdliyin memang tak mungkin dikangkangi hanya oleh salah satu pasangan calon. Tingginya jumlah mereka yang kabarnya mencapai sekitar 50 hingga 80 juta jiwa itu menjadi magnet tersendiri bagi setiap pasangan kandidat. Apalagi semua pasangan capres-cawapres –termasuk parpol pengusungnya—memiliki kader yang berlatarbelakang NU tulen. Mereka inilah yang bergerilya dengan berbagai cara untuk merebut hati kaum bersarung ini.
Pasangan SBY-Boediono, misalnya, malah berkeyakinan mampu menggaet dukungan suara maksimal dari basis massa NU. Ketua Umum DPP KPB Muhaimin Iskandar yang merupakan salah satu anggota koalisi pengusungnya sejak jauh-jauh hari telah bergerilya ke pesantren-pesantren kampung. Dia menjanjikan sekitar 10 juta suara untuk SBY dalam Pilpres nanti.
SBY sendiri juga tak mau kalah dengan JK. Di saat Hasyim Muzadi menggadang-gadang JK, awal Juni lalu, capres incumbent ini langsung menemui Rois Aam Syuriah PBNU, KH Sahal Mahfudl. Ia dating khusus ke kediamannya di kompleks Ponpes Maslakul Huda, Kajen, Pati, Jawa Tengah. Dan, seperti kita tahu, dalam struktur kepengurusan NU, Rois Aam Syuriah memang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dibanding Ketua Umum Dewan Tanfidliyah. Selain itu, Kyai Sahal juga dikenal sebagai kyai sepuh yang paling disegani di Indonesia.
Sejauh ini memang tidak terungkap apa sebenarnya hasil pembicaraan SBY dengan Kyai Sahal. Hanya, menurut Ketua DPP PKB Marwan Ja'far yang memfasilitasi pertemuan tersebut, SBY diterima dengan sangat baik oleh Kyai Sahal. Pada kesempatan itu, SBY bahkan memberikan sambutan dalam grand opening Sekolah Tinggi Agama Islam Matholi'ul Falah (STAIMAFA), milik Ponpes Mbah Sahal. "Ini bukti bahwa Pak SBY memang diterima para kyai yang selama ini mengurusi umat dan punya massa. Tentu ini akan memudahkan bagi PKB yang memang dari awal bermitra dengan para kiyai untuk menjamin pemenangan SBY-Boediono," papar Marwan.
Untuk menggarap massa NU, pasangan SBY-Boediono langsung menyasar ke akar rumput, yakni para santri dan kyai kampung. Sejumlah kyai berpengaruh ikut dikerahkan. PKB mendapat jatah garapan di wilayah Jawa, sedangkan PPP wilayah luar Jawa dan daerah perkotaan.
Aktivitas pengajian dan istighsah juga digalakkan, baik di perkotaan maupun di pedesaan. KH Noer Mohammad Iskandar SQ, misalnya, beberapa waktu lalu menggelar istighosah di Senayan untuk mendoakan agar SBY-Boediono menang dalam satu putaran. "Mereka berharap duet SBY-Boediono menang dalam satu putaran. Alasanya demi penghematan dana pemilu dan tak mau repot-repot memilih capres baru karena belum tentu lebih baik," kata Ketua Umum Majelis Silaturahmi Kiai dan Pengasuh Ponpes se-Indonesia ini.
Sementara kubu Mega-Prao, meskipun kurang popular di kalangan NU, namun tak berarti nihil dukungan. Sejumlah nama tokoh ormas Islam ini masuk dalam tim sukses pasangan ini, baik resmi maupun tak resmi. Sebut saja di antaranya, Wakil Sekjen GP Anshor Maskut Chandranegara dan Yeny Wahid. Melalui Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi), mereka menargetkan raihan suara NU sekitar 2,5 juta pemilih.
Bila dibandingkan dengan dua kandidat lainnya, Mega-Pro memang jauh lebih miskin dukungan kyai. Pada acara silaturrahmi dan doa bersama yang digelar oleh para kyai di Malang, Jatim, akhir pekan lalu, misalnya, tak banyak undangan yang hadir. Mereka yang datang di antaranya KH Abdul Azis, Gus Salim, dan KH Muhammad Ridwan.
Apapun itu, yang jelas keinginan untuk membulatkan suara NU untuk mendukung salah satu capres hanyalah sebuah impian. Karena itu, kekhawatiran Gus Sholah akan tercabik-cabiknya NU akibat tidak bijaknya sikap para elit dalam Pilpres kali ini, kiranya patut untuk direnungkan. Terlalu mahal kalau nama besar NU tercoreng gara-gara ‘ambisi’ pribadi sejumlah elit NU sendiri. Apalagi, menurut Pengasuh Ponpes Rodhotul Tholibin Rembang KH Musthofa Bisri (Gus Mus), sebagian besar orang NU tidak mengerti dan tidak siap berkuasa. Ia mencontohkan kasus Pemilu Legislatif yang lalu ketika ada yang mendirikan partai. Meski menurut perhitungan partai itu tidak bisa besar, pengurus partai yang orang NU tersebut menyatakan tidak apa-apa partainya kecil asal baik. ''Jawaban seperti itu jelas menunjukkan orang NU tersebut tidak tahu soal politik praktis sehingga tidak siap berkuasa. Lha wong, politik praktis itu tujuannya kekuasaan kok malah bikin partai kecil. Yang benar seharusnya bikin partai yang besar agar bisa berkuasa,'' tegas Mustasyar PBNU ini.
Bagi Gus Mus, orang NU yang siap berkuasa adalah Gus Dur. Tetapi, sayangnya, ketika berkuasa Gus Dur kesulitan mencari orang NU yang siap berkuasa untuk mendampinginya saat menjadi presiden dulu.
Berdasarkan pengalaman panjang yang tak mengenakkan itu, Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, menyarankan para pimpinan NU mampu mengerem diri. “Bila NU terjun ikut bargaining politik, maka wibawa sebagai lembaga moral dan intelektual akan turun,” katanya.
NU memiliki kelebihan historis dan moral, terutama karena terlahir sebelum Indonesia merdeka dan ikut berinisiatif melahirkan negara. Karena itu, NU seharusnya tetap berada di atas semua dan melahirkan putra-putra terbaiknya untuk memajukan bangsa dan negara. “Kalau ternyata putra terbaik itu kemudian jelek, tarik, panggil ke induknya. Ya menjadi pengawas semacam Mahkamah Konstitusi begitulah kira-kira,” terang Komaruddin.
Tetapi sayang harapan itu nampaknya sulit terwujud. Meski de jure NU berusaha menjalankan khittah. Namun de facto-nya, para pucuk pimpinannya justru berusaha menarik gerbong NU untuk memenuhi kepentingannya masing-masing. Rupanya mereka belum kapok juga meski telah berkali-kali jatuh di lubang yang sama.