Traffic

CPX

PTP

DOWNLOAD KOLEKSI FILM KAMI

Monday, June 1, 2009

Ekonomi: Rakyat ’Jenderal Konglomerat’ vs Rakyat ‘ Ekonom Santun’


Oleh: Rovy Giovanie
Banyak pengamat mengatakan bahwa Pemilu Presiden (Pilpres) 2009 merupakan pertarungan antar cawapres. Tidak salah memang, karena para capres memang sama-sama stock lama. Hanya cawapresnya yang menghadirkan wajah baru, kecuali wiranto yang juga stock lama.
Karena itu kiranya pertarungan cawapres akan lebih menonjol terjadi pada sosok Boediono dan Prabowo.
Kebetulan keduanya memang sengaja dipasang dengan tugas utama untuk menangani bidang ekonomi. Beda dengan Wiranto yang kemungkinan besar tidak akan menjadi tumpuan bidang ekonomi, karena justru capres Jusuf Kalla yang menjual kelihaian ekonominya.
Bicara soal ekonomi, semua kandidat mengusung ekonomi kerakyatan. Apalagi Prabowo Subianto, sejak jauh hari sudah mengkampanyekan ekonomi kerakyatan. Melalui kendaraannya sebagai ketua umum HKTI dan Asosiasi Pedagang Pasar Indonesia, putra ekonom Prof Sumitro Djojohadikusumo merasa absah seratus persen untuk melabeli diri sebagai pejuang ekonomi kerakyatan. Tak tanggung-tanggung, dia bahkan menjamin tercapainya pertumbuhan ekonomi dua digit bila konsep ekonomi kerakyatannya diterapkan.
Tentu saja bukan tanpa alas an kalau jenderal yang kini menjadi konglomerat itu meyakini konsep dan strategi ekonominya. Dalam berbagai wawancara, dia membeber sejumlah data utang luar negeri, subsidi, ekspor impor, dan sebagaianya yang dinilai penuh ketidakberesan. Atas dasar itulah dia menyebut sistem ekonomi yang dijalankan pemerintahan SBY sebagai ekonomi liberal yang dinilai telah gagal. “Jadi, kalau saya menargetkan pertumbuhan ekonomi dua digit itu sama sekali bukan hanya untuk memberi angina segar. Tetapi benar-benar nyata bisa diwujudkan,” tandas Prabowo sebuah acara di sebuah stasiun TV swasta, awal pekan ini.
Untuk memperkuat branding-nya sebagai pengusung ekonomi kerakyatan, semua gerak langkahnya pun selalu diwarnai dengan simbol-simbol atau ceremony ala rakyat jelata. Deklarasi pasangan Mega-Pro, misalnya, dihelat di tempat kumuh dan bau tak sedap: Tempat Pembuangan Akhir Bantar Gebang. Kesannya memang sangat merakyat, meskipun secara hitung-hitungan sebenarnya membutuhkan biaya yang tak kalah mahalnya dibandingkan dengan perhelatan anggun ala pasangan SBY-Boediono di Sabuga Bandung.
Pun ketika menghadiri acara pengambilan undian nomor urut di KPU, pasangan ini berusaha mengesankan image ‘miskin’ dengan naik bus, diiringi para tokoh bidang pertanian dan usaha rakyat lainnya. Poinnya, Prabowo berusaha untuk menunjukkan konsistensinya sebagai pengusung ekonomi kerakyatan, satu akata antara ucapan dan perbuatan, meskipun baru sebatas simbol dan seremonial.
Sementara pihak Cawapres Boediono membantah semua tudingan yang menyebutnya sebagai neolib. Dalam berbagai kesempatan dia sama sekali tak kesulitan untuk mementahkan semua tudingan yang dinilai tendensius dan politis itu. Dari fakta-fakta yang telah dijalankan pemerintahan SBY saat ini saja sudah cukup untuk membungkam tudingan itu. Misalnya program-program kerakyatan yang dijalankan SBY selama ini, diantaranya Bantuan Langsung Tunai (BLT), PNPM Mandiri, Kredit Usaha Rakyat (KUR), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan sebagainya. Semua program itu memang jelas dan nyata berpihak kepada rakyat kecil. “Bukan sekedar wacana dan teori.”
Fakta lain yang bisa mementahkan adalah realitas politik ketika Megawati menjabat presiden. Waktu itu Boediono yang menjabat sebagai Kepala Bappenas dan Menteri Keuangan justru banyak mewarnai perekonomian pemerintahan Mega yang mengaku pro rakyat kecil. Poinnya, bahwa Boediono sama sekali tidak kesulitan untuk membantah tudingan-tudingan yang menyebutnya sebagai neolib.
Terlepas dari apapun itu, yang lebih penting dalam sebuah pemerintahan bukanlah wacana, teori atau angan-angan setinggi langit, tetapi fakta di lapangan. Boediono memiliki kredibilitas yang sama sekali tidak meragukan sebagai seorang ekonom. Sepanjang karirnya memang konsisten di jalur ekonomi. Gelar S1 diraih dari University of Western Australia, dilanjutkan S2 di Monash University, Melbourne, Australia, dan doktoralnya dari Wharton School University of Pennsylvania.
Karirnya juga tak pernah melenceng dari bidang yang satu ini. Sebelum melangkah ke dalam lingkar pemerintahan, dia dikenal sebagai dosen yang berdedikasi tinggi di Fakultas Ekonomi UGM. Tak heran bila setumpuk prestasi ditorehkan ekonom bertangan dingin ini dalam membenahi perekonomian Indonesia. Yang cukup menonjol adalah keberhasilannya membenahi sektor moneter, termasuk menstabilkan kurs rupiah pada kisaran Rp 9000-an per dolar AS begitu menjabat Gubernur Bank Indonesia.
Tak bisa dipungkiri bahwa lelaki santun dan sederhana kelahiran Blitar, Jawa Timur, 25 Februari 1943 ini memang punya kelemahan. Yakni, tidak suka banyak bicara. Baginya, yang penting adalah bekerja dan berprestasi dalam membangun negeri. Alasan ini kiranya yang membuat SBY jatuh hati. Karena yang dibutuhkan seorang wapres bukanlah banyak bicara, tetapi banyak kerja.
Coba bandingkan sama Prabowo. Tak bisa dipungkiri bahwa dia juga salah seorang putra terbaik bangsa. Segudang prestasi dan pengabdian telah dilakukan bagi bangsa Indonesia. Tetapi dari catatan menunjukkan bahwa prestasi gemilang lelaki kelahiran Jakarta, 17 Oktober 1951 ini terjadi selama karir aktifnya sebagai militer. Maklum, pendidikan kemiliterannya memang komplet. Tak heran bila pos-pos militer strategis berhasil didudukinya dalam usianya yang masih sangat muda. Lulusan Counter Terorist Course Gsg-9 Germany dan Special Forces Officer Course, Ft. Benning U.S.A ini memiliki karir yang meroket dari jenjang bawah hingga tinggi. Posisi terakhir yang dijabat adalah Komandan Sekolah Staf Dan Komando ABRI tahun 1998.
Menyusul hiruk-pikuk kerusuhan 1998 yang mengakibatkan pemecatan dirinya, Prabowo terbang ke Inggris. Tak lama kemudian, lelaki berpembawaan meledak-ledak ini bermukim di Yordania. Saat itulah dia mulai bergumul dengan dunia bisnis yang akhirnya mengantarkannya sebagai seorang ‘konglomerat’, pemilik sejumlah perusahaan besar dan memiliki kekayaan sekitar Rp 1,7 triliun. Diantara perusahaannya adalah Perusahaan Migas Karazanbasmunai di Kazakhstan, PT Tidar Kerinci Agung (Perusahaan Produksi Minyak Kelapa Sawit), PT Nusantara Energy (Migas, Pertambangan, Pertanian, Kehutanan Dan Pulp), PT Jaladri Nusantara (Perusahaan Perikanan).
Menjelang Pilpres Tahun 2004, mantan Danjen Kopassus ini pulang kampong. Dia sempat mengikuti konvensi capres Partai Golkar namun kalah dengan Wiranto. Selanjutnya, dia memutuskan untuk aktif di keorganisasian petani sesuai dengan bidang bisnis yang digeluti. Hingga akhirnya dia terpilih sebagai Ketua HKTI periode 2004-2009. Di tengah gelimang harta, kemewahan serta gaya hidup mahalnya, dia merangkul para petani miskin.
Melalui kendaraan HKTI inilah kemudian Prabowo menggelorakan ekonomi kerakyatan untuk merangkul basis massa. Kombinasi pengalaman militer dan kisah suksesnya berbisnis meyakinkan dirinya untuk menyandang sebagai pejuang ekonomi kerakyatan. “Untuk membangun ekonomi tidak hanya membutuhkan ilmu ekonomi, tetapi pengalaman militer juga sangat penting,” tandas Prabowo.
So, sekarang silakan saja menilai sendiri, mana yang lebih merakyat, jenderal yang konglomerat ataukah ekonom sederhana dan pendiam. (*)