Traffic

CPX

PTP

DOWNLOAD KOLEKSI FILM KAMI

Friday, June 12, 2009

Fundamentalis, Kemana Engkau Lari?

Oleh: Rovy Giovanie/ Syarov D Imfath

Redupnya parpol-parpol Islam menyisakan pertanyaan, kemanakah larinya kaum muslim fundamentalis? Setiakah mereka dengan afiliasi parpolnya selama ini ataukah menyebar ke berbagai parpol lain?
‘’Tegakkan syariat Islam sampai kapanpun. Allahu Akbar !’’ Demikian salah satu ciri khas slogan kelompok fundamentalis Islam di Indonesia. Jumlahnya kecil, tetapi gaungnya luar biasa menggema. Bahkan dunia internasional tak henti-hentinya mengintip aktivitas mereka.
Sejauh ini tidak ada yang tahu pasti berapa jumlah mereka. Tetapi para pengamat dalam dan luar negeri memperkirakan tak lebih dari 2% penduduk muslim Indonesia. Karena itu, suara mereka sebenarnya tidak signifikan dalam mempengaruhi konstelasi politik di tanah air. Namun cukup disegani di panggung internasional.
Bila dilihat dari jejaring dan orientasi gerakannya, mereka terbagi menjadi dua kelompok: yang berorientasi internasional dan lokal. Mereka yang berorientasi internasional di antaranya Jama’ah Islamiah (JI) dan Majelis Mujahidin Indonesia dengan tokohnya Abu Bakar Ba’asyir, Ikhwanul Muslimin Indonesia dengan tokohnya Habib Hussein Al Habsy, serta Hizbut Tahrir Indonesia pimpinan Haris Abu Ulya. Sedangkan ormas Islam lokal yang cukup fenomenal adalah Front Pembela Islam (FPI) dengan tokohnya Habib Rizieq. Ada juga yang memasukkan Dewan Dakwah Islamiah (DDI) ke dalam kelompok ini. Selain itu juga terdapat organisasi Islam fundamentalis yang cenderung bergerak di bawah tanah, seperti NII dan beragam aliran lainnya.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, fundamentalis berjejaring internasional lazimnya tak memiliki orientasi yang jelas dalam perpolitikan nasional. Bagi mereka, tidak ada parpol di Indonesia yang layak dipilih. Kalaupun kemudian ada anggotanya yang berpartisipasi dalam Pemilu, arah pilihannya adalah partai-partai Islam yang memperjuangkan syariat Islam, seperti Partai Bulan Bintang (PBB) yang pada Pemilu 2009 ini tak mampu mencapai Parliementary Treshold.
Contoh nyata tak berafiliasinya kelompok fundamentalis terhadap parpol tertentu adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Organisasi ini bahkan menganggap dirinya sebagai partai politik dengan Islam sebagai ideologinya dan kebangkitan Islam sebagai tujuan. Alasannya, gerakan pemikiran Islam ini merupakan kelompok yang berdiri berdasarkan Islam sebagai sebuah ideologi yang ingin diwujudkan secara praktis di dunia Islam. “Hal itu tidak akan bisa direalisasikan kecuali jika Hizbut Tahrir merupakan partai politik. Yaitu kelompok yang memelihara urusan-urusan masyarakat melalui pemikirannya,” demikian isi salah satu pernyataan resmi HTI.
HTI merupakan bagian dari jaringan internasional Hizbut Tahrir yang didirikan pada 1953 di Yerussalem. Pendirinya adalah Taqiyuddin Al-Nabhani bersama para koleganya yang merupakan sempalan dari organisasi Ikhwanul Muslimin yang berpusat di Mesir.
Sistem keanggotaan merupakan ciri khas dari organisasi ini. Untuk mencapai tujuannya, para pemimpin organisasi ini mengambil bahan-bahan ideologis, yang mengikat anggotanya. Pada pelajar sekolah menengah, mahasiswa, serta para sarjana mendominasi latar belakang anggota HTI. Namun tahun-tahun belakangan, organisasi ini telah menyebarkan target rekrutmen anggota ke masyarakat umum, khususnya pedesaan, termasuk kepada anggota dan warga Nahdlatul Ulama’.
Modus penyebaran dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan pengenalan, penyebaran dan pembai’atan (indoktrinasi) ide-ide dan pemikiran HTI kepada masyarakat umum. Untuk menyebarkan itu, mereka giat mencetak dan menyebarkan media informasi yang dibagikan secara gratis dan berkala sebagaimana Buletin Dakwah Al-Islam yang disebarkan ke masjid-masjid, organisasi keagamaan dan tokoh-tokoh masyarakat. Mereka juga mengadakan kajian (halaqah) di masjid-masjid yang sudah berhasil ‘dikuasai’ dengan menampilkan tema-tema yang sekilas luhur sebagamana Khilafah Islamiyah, Penjajahan Bangsa Melalui Perempuan, dan sebagainya.
Cara penggalangan massa yang mrip dengan PKS inilah yang kemudian banyak kalangan menuding HTI berada di belakang PKS. Sebagaimana diketahui bahwa modus penggalangan massa PKS dilakukan secara sistemik dan teroganisir secara rapi dengan sistem keanggotaan. Ruang geraknya juga kalangan kampus, dan belakangan mulai melebar ke masyarakat umum.
Namun tudingan ini dibantah. Para petinggi PKS secara tandas mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk mendudukkannya sebagai partai fundamentalis. “PKS merupakan partai terbuka. Jadi sama sekali tidak ada alasan untuk menyebut kami sebagai kaum fundamentalis,” ujar Ketua Umum DPP PKS, Tiffatul Sembiring.
Lantas bagaimana dengan cikal bakal PKS, yakni Partai Partai Keadilan yang secara nyata-nyata berlandaskan Islam dan memperjuangkan syariat Islam? Menurut Sekjen PKS, Annis Matta, semua itu adalah masa lalu.
Terlepas dari debat kusir semacam itu, yang jelas bahwa PKS memang memiliki massa militan dengan basis massa yang bisa dikatakan tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada HTI. Apapun sebutannya, apakah fundamentalis ataukah militan, yang pasti mereka inilah yang kabarnya berhasil memposisikan PKS sebagai salah satu dari sedikit partai yang berhasil mempertahankan suaranya pada Pemilu 2009 silam.
Lantas bagaimana dengan program ekspansinya yang begitu gencar diarahkan ke ‘pasar bebas’? Publik mungkin masih ingat betapa kreatifnya PKS dalam slogan-slogan kampanyenya yang berusaha mencuri suara dari partai-partai lain. Gagal total kah?
Analisa sementara menyebutkan bahwa upaya ini tak bisa dikatakan sepenuhnya gagal. Buktinya tingkat penyebaran perolehan suara PKS juga mengalami perubahan, meskipun tak signifikan. Ini bisa dilihat dari meningkatnya perolehan kursi PKS meskipun prosentase suaranya menurun. Bila pada Pemilu 2004 meraih 45 kursi, maka pada Pemilu 2009 yang lalu menghasilkan 59 kursi. Ini berarti partai bernomor urut delapan ini berhasil meraup suara tambahan di daerah-daerah yang harga kursinya lebih murah.
Namun bila melihat angka real perolehan suaranya, PKS memang mengalami penurunan. Pemilu 2004 lalu meraup 8.325.020 suara, sedangkan Pemilu 2009 turun tipis menjadi 8.206.955. Berdasarkan data perolehan suara per daerah, sejumlah petinggi PKS menenggarai bahwa mereka yang keluar adalah para pemilih kagetan alias bukan massa militan.
Sebagaimana diketahui, PKS melesat tajam pada Pemilu 2004. Dari semula hanya berhasil meraih 7 kursi DPRI melonjak lima kali lipat menjadi 45 kursi. Keberhasilannya membangun image sebagai partai jujur dan bersih mampu menarik suara mengambang dalam jumlah yang luar biasa. Mereka inilah yang bisa dipastikan sebagai penyebab menurunnya perolehan suara PKS.
Bagaimana dengan fundamentalis tradisional, misalnya massa FPI dan sejenisnya, yang selama ini banyak ‘bermukim’ di PPP dan PBB? Bila melihat perolehan suara PPP dan PBB yang menurun drastis pada Pemilu 2009 --dari 9.248.764 suara menjadi 5.533.214 untuk PPP dan dari 2.970.487 suara menjadi 1.864.752 suara— bukanlah semata-mata akibat faktor hengkangnya pemilih fundamentalis.
Tak bisa dibantah bahwa Pemilu 2009 diwarnai dengan konflik internal yang cukup intens di dalam tubuh PPP. Hal ini mengakibatkan tidak maksimalnya kerja mesin partai. Tetapi juga tak bisa dipungkiri bahwa tak sedikit massa fundamentalis PPP yang lebih memilih partai baru, seperti Partai Hanura dan Partai Gerindra.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Hanura yang merupakan representasi Wiranto memiliki kedekatan dengan sejumlah tokoh dan kelompok Islam eksklusif. Contoh kongkritnya adalah Pesantren Al-Zaitun yang kerap diidentikkan dengan gerakan NII adalah pendukung setia Wiranto. Pun demikian dengan Prabowo dengan Gerindra-nya, memiliki kedekatan khusus dengan sejumlah tokoh dan organisasi Islam militan. Sebut saja di antaranya, Ahmad Soemargono dkk. Kisah kemunculan tokoh Partai Bulan Bintang ini bahkan sangat erat kaitannya dengan Prabowo.
Dari sini sudah bisa dibaca kemana larinya suara Islam militan tradisional. Kalaupun ada yang mengarah pada parpol-parpol lain, termasuk Demokrat, angkanya tak signifikan. Pasalnya kelompok Islam militan tradisional saat ini justru cenderung menentang SBY yang dianggap banyak merugikan perjuangan mereka. Kasus penahanan Ketua FPI Habib Rizieq merupakan salah satu contoh yang tak bisa dilupakan oleh massa pendukungnya. Limpahan ke arah Demokrat lebih banyak berasal dari para simpatisan parpol non ideologis.