Traffic

CPX

PTP

DOWNLOAD KOLEKSI FILM KAMI

Thursday, July 29, 2010

Pertarungan Trah Cendana vs Tanoesoedibjo

Pada era Orde Baru, tak pernah terbayangkan orang sekaliber Hary Tanoesoedibjo berani 'melawan' anggota keluarga Cendana. Jangankan melawan, memperlakukan tak sopan saja tidak mungkin berani.

Naskah: Rovy Giovanie
Kala itu semua anggota keluarga Cendana memiliki ‘kesaktian’ luar biasa. Tidak hanya dihormati, tetapi segala keinginannya pasti akan bisa terpenuhi dengan mudah.
Sementara Hary Tanoe yang keberhasilannya sebagai pengusaha terjadi pasca-Soeharto, tidak melihat Tutut sebagai sosok yang harus terus menerus dihormati. Apalagi trah Tanoesoedibjo kini masuk dalam jajaran papan atas. Meskipun tergolong orang kaya baru (OKB), namun kelasnya sudah sejajar dengan keluarga Cendana yang sedang terpuruk.
Sekarang, dalam menghadapi sengketa kepemilikan TPI, kedua pihak menempuh jalur hukum. Artinya mereka ingin dilihat sebagai warga negara yang taat hukum.Tetapi kalau ditanya apa yang ada di lubuk hati mereka berdua yang paling dalam, selain jalur hukum dua-duanya sebetulnya sudah siap menempuh jalur apa saja.
Sebetulnya jalan damai, penyelesaian secara kekelurgaan, kata orang bijak, merupakan resep yang paling patut. Tetapi yang menjadi pertanyaan, siapa yang bisa mengajak Tutut dan Hary Tanoe untuk berdamai?
Juru damai yang dipilih Tutut belum tentu diterima Hary Tanoe. Begitu sebaliknya. Soalnya Tutut dan Hary Tanoe sama-sama punya banyak teman dan banyak musuh. Sulit membedakan siapa kawan ataupun musuh sejati mereka. Ini jelas nampak dari orang-orang penting yang mengitari keduanya. Meski keduanya sudah membuat garis demarkasi, tapi sejatinya demarkasi itu tidak ada, tidak eksis. Soalnya satu sama lain saling terkait, pernah terkait dalam ikatan kepentingan. Di kubu Hary Tanoe, ada Letjen (Purn) Suwisma, yang ketika ayah Tutut menjabat Presiden, putera asal Bali ini sempat menjadi seorang Pangdam. Ia pun sempat disebut-sebut memiliki kedekatan dengan keluarga Cendana.
Di kubu Tutut juga ada mantan Kepala BAIS, Letjen (Purn) Syamsir Siregar. Bagaimana mungkin memisahkan Siregar dan Suwisma –dua jenderal yang sama-sama berasal dari satu korps TNI (Angkatan Darat).
Hal yang tidak disadari Tutut dan Hary Tanoe dalam sengketa kepemilikan TPI ini adalah siapapun yang akan menjadi pemilik sah, akan tetap menghadapi kesulitan membuat TPI sebagai stasiun unggulan. Kenapa? Karena media merupakan bisnis sensitif.
TPI yang seharusnya memberi ‘pendidikan’ kepada audiensnya pada akhirnya berdusta pada dirinya. Komunitas bisnis, pemasang iklan khususnya akan berpikir seribu kali untuk menjadikan TPI sebagai medium pilihan promosinya. Jika sudah begitu, target menjadikan TPI sebagai ‘ATM’ tidak akan tercapai. Akhirnya dalam sisi bisnis, yang kalah dan menang dalam sengketa ini sama-sama tidak bisa memetik keuntungan.
Lantas mengapa pertarungan keduanya begitu menghebohkan? Bahkan menyeret sejumlah nama pejabat dan tokoh penting? Bahkan kakak kandung Hary, Hartono Tanoesoedibjo, sudah berstatus tersangka, dan siap-siap menghuni sel berterali besi.
Konon pertarungan dua trah keluarga berpengaruh ini terjadi lantaran dendam keluarga Cendana. Sejak jatuhnya Soeharto, bisnis keluarga Cendana memang terpuruk. Konglomerasi bisnis yang semula dibangun putra-putri Cendana, satu per satu lepas. Termasuk diantaranya PT Bimantara Citra milik Bambang Trihatmojo, yang kala itu terbilang paling bersinar diantara perusahaan milik Cendana. Pun demikian dengan lima stasiun televisi swasta yang kala itu dibangun untuk membentengi kepentingan Cendana, juga lepas satu per satu. Padahal kala itu melalui Media Nusantara Citra dari Bimantara Citra Tbk., Cendana berniat memperkukuh cengkeramannya di dunia media.
Bimantara sendiri didirikan di Jakarta pada 1981 dengan motor trio Bambang Triatmodjo, beserta dua rekan sekolahnya, Rosano Barack dan M. Tachril Sapi'ie. Namun seiring lengsernya Soeharto, pelahan kepemilikan saham Bambang Tri tergerus. Sampai tahun 2001, Bambang Tri masih jadi pemegang saham mayoritas dengan 31,49 persen. Dia masuk lewat PT Asriland. Namun, pada tahun 2002, Hary Tanoe masuk dan langsung menggerus saham milik Bambang Tri. Bos MNC ini langsung kuasai 24,94 persen lewat Bhakti Investama. Saham Asriland susut tinggal 12,37 persen.
Harry memang dikenal piawai main saham. Harga saham Bimantara di lantai bursa pun terus bergairah merangkak naik sejak saat itu. Tahun-tahun berikutnya ditandai pasang-surut. Asriland sempat menambah pundit-pundi sahamnya jadi 14,20 persen, dan Bhakti Investama bertambah jadi 37,33 persen. Pada 2004, Bhakti Investama jadi 39,60 persen, dan Asriland mengalami antiklimaks. Turun jadi 11,39 persen. Sisanya dimiliki oleh Almington Asset Limited (10,89 persen), Astroria Development Limited (5,59 persen), PT Sinarmas Sekuritas (5,41 persen), PT Rizki Bukit Abadi (4,15 persen), dan PT Matra Teguh Abadi (0,78 persen). Selebihnya dimiliki masyarakat dan koperasi sebesar 22,19 persen.
Menurut rumor, keluarga Cendana tidak legowo dengan Hary Tanoe yang merasa memanfaatkan kelemahannya kala itu. Apalagi ‘keserakahan’ Hary ini dipertontonkan lagi dalam kasus TPI. Hal inilah, menurut sumber Mimbar Politik, yang mengakibatkan Tutut dan saudara-saudaranya bertekad melakukan perlawanan. Kebetulan momentumnya juga tepat, ketika publik sudah melupakan dosa-dosa Soeharto, dan bahkan peran politik keluarga Cendana juga mulai terbuka lagi.
Tapi Hary Tanoe dengan kekuatan uangnya juga tak bisa disepelekan. Dalam kondisi Indonesia yang masih carut marut seperti sekarang, kekuatan uang sangat luar biasa. Buktinya deretan nama-nama kuat kini juga berada di sekitar Hary Tanoe. Sebut saja misalnya Agum Gumelar yang duduk sebagai Honorary Chairman MNC. Dan tentu saja masih banyak nama-nama lain. Mungkin juga termasuk Yusril yang kini ikut terseret-seret namanya gara-gara ‘ulah’ Tutut.
Dengan karakter keluarga Cendana yang cenderung nekad, terbuka lebar peluang berkembangnya konflik ini kemana-mana. Apalagi kalau sudah ditunggangi kepentingan politik, bisa saja pertarungan ini dibelokkan kemana saja, termasuk ke dalam isu SARA. Kebetulan Hary Tanoe memang keturunan Tionghoa, meskipun berpendidikan Barat. Sedangkan semasa berkuasa, rejim Orde Baru dikenal piawai bermain dengan isu SARA.
Tetapi, lagi-lagi, Hari Tanoe tidak sendirian. Bukan hanya karena berada di barisan yang sama dengan Yusril yang dikenal nekad, tetapi juga kabarnya memiliki kedekatan dengan Istana. Dalam politik segalanya bisa saja terjadi kalau sudah menyangkut kepentingan dan kekuasaan.