Traffic

CPX

PTP

DOWNLOAD KOLEKSI FILM KAMI

Thursday, July 8, 2010

Pertarungan Jelang Lengsernya Presiden

Faksionalisasi di tubuh Partai Demokrat sebenarnya sudah terjadi sejak kongres pertama 2005 silam. Tetapi pertarungan pasca kongres 2010 lalu diperkirakan jauh lebih tajam. Mengapa?

by: Rovy Giovanie
Kantor DPP Partai Demokrat di bilangan Jl Pemuda, Jakarta Timur, belakangan nampak selalu ramai. Hampir setiap hari para elit parpol yang belum lama ini mengumumkan susunan pengurus baru hasil kongres di Bandung, 21-23 Mei 2010, itu menggelar rapat.
Entah rapat apa yang mereka bahas. Para petinggi partai bintang mercy yang dijumpai di kantor itu kompak tutup mulut. Kalaupun ada yang mau bicara, selalu dialihkan ke masalah lain yang tidak esensial.
Padahal rapat estafet yang dipimpin langsung oleh ketua umum, Anas Urbaningrum (AU), itu kabarnya berkaitan erat dengan resistensi susunan pengurus baru yang telah diumumkan 17 Juni 2010 lalu. Ironisnya, karena resistensi itu pula Ketua Dewan Pembina, SBY, mengulur-ulur waktu pelantikan.
Menurut sumber Mimbar Politik, tingkat resistensi terhadap ‘Kabinet Anas’ memang sangat tinggi, tidak hanya di mata publik, tetapi juga di internal Demokrat sendiri. Bahkan ada sebagian kelompok sakit hati yang mengancam melakukan aksi perlawanan.
Jadi, kalaupun kemudian para pengurus yang dilantik tidak mengalami perubahan, itu sama sekali bukan berarti semua faksi mau menerima. “Ini dilakukan hanya untuk menjaga nama SBY. Karena bagaimanapun nama-nama itu sudah terlanjur diumumkan, sedangkan SBY sebagai Ketua Dewan Pembina sudah menyetujuinya,” ujar sumber tadi di Jakarta, Selasa (6/7).
Toh soal penggantian mereka yang dianggap bermasalah itu bisa dilakukan belakangan, ketika perhatian publik tak lagi mengarah ke Demokrat. Tetapi bila langkah ini dilakukan, maka sama dengan membuka peluang membesarnya konflik internal. Pasalnya persaingan antar faksi pasca kongres kedua kali ini jauh lebih terbuka ketimbang periode sebelumnya.
Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Survey Indonesia (LSI), Burhanuddin Muhtadi, kongres II di Bandung jauh lebih kuat karena Demokrat telah menjelma menjadi partai pemenang Pemilu. Selain itu SBY sudah tidak bisa mencalonkan lagi menjadi presiden untuk yang ketiga kalinya. “Jadi betul-betul memiliki kedigdayaan politik yang jauh lebih kuat ketimbang hasil kongres pertama,” jelasnya kepada Mimbar Politik, Rabu (7/7).
Akibatnya pertarungan kandidat di kongres II jauh lebih keras ketimbang kongres sebelumnya. Pada saat yang sama, sebagai partai besar, Demokrat mulai membuka pintu buat lahirnya generasi kedua, yakni mereka yang tidak ikut dari awal proses berdirinya partai. “Jadi potensi konfliknya jauh lebih terbuka,” jelasnya.
Faksionalisasi yang akan terjadi juga kemungkinan besar tak hanya melibatkan tiga kubu yang bersaing dalam kongres di Bandung, yakni kubu Anas Urbaningrum (AU), Marzuki Alie (MA) dan Andi Mallarangeng (AM). Faksi-faksi kecil yang semula bergabung dengan ketiga faksi itu diperkirakan bakal kembali berjalan sendiri-sendiri.
Tak terkecuali dengan keluarga Ciekas. Bila semula berada di belakang Andi Mallarangeng, maka pasca kongres kali ini akan bermai sendiri. Sementara keluarga Cikeas sendiri juga tidak satu. Ada kubu yang berasal dari keluarga inti SBY, kubu non keluarga tetapi memiliki kedekatan secara emosional dengan SBY, dan kubu keluarga Cikeas yang tersisih dari keluarga inti sang presiden.
Meski demikian, pakar politik Universitas Indonesia, Wawan Ichwanuddin, meyakini konflik ini tidak akan mengarah pada perpecahan selama SBY masih berkuasa. “Faktor SBY masih menjadi pemersatu,” tegasnya.
Itulah sebabnya faksionalisasi yang terjadi saat ini lebih tepat dikatakan sebagai persiapan menghadapi persaingan terbuka menyusul lengsernya SBY nanti. Meski tak sampai menimbulkan perpecahan, tetapi bukan berarti faksi-faksi yang ada akan cenderung diam seperti periode lalu. Apalagi kepemimpinan Anas Urbaningrum kali ini berusaha mewujudkan cita-cita menjadi partai modern, yang benar-benar mampu eksis tanpa harus menggantungkan diri pada sosok SBY. “Ini tantangan yang harus diwujudkan oleh Anas,” ujar Burhanuddin.
Tentu saja bukan pekerjaan mudah. Masalahnya bukan hanya pada kemampuan untuk menciptakan sistem dan nilai-nilai yang mampu mempersatukan semua unsure partai, tertapi juga harus berhadapan dengan keluarga Cikeas yang belum sepenuhnya legowo melepas Demokrat.
Kesan ketidaklegowoan Cikeas ini nampak nyata sejak menjelang kongres lalu. Meski SBY tidak memberi dukungan secara terbuka, namun istrinya, Ani Yudhoyono, begitu telanjang mencalonkan Andi Mallarangeng. Bahkan putranya, Edhie Baskoro (Ibas), tak sungkan-sungkan menyebut bapaknya juga menginginkan Meneg Pemuda dan Olahraga itu sebagai pemegang tampuk kekuasaan Partai Demokrat. Pun demikian dengan Ani sendiri, mengerahkan para personal Staf Khusus Presiden untuk memback up penuh Andi.
Sebaliknya, terhadap Anas, Ani justru menolaknya terang-terangan. SMS berisi kecaman Ani terhadap para pendukung Anas yang bersurat kepada SBY –untuk menuntut netralitas sikap Ketua Dewan Pembina—sempat beredar di kalangan terbatas. Kejadian ini kabarnya kian menambah kebencian Ani kepada Anas. Mantan ketua umum PB HMI itu dianggap bisa membahayakan kans politik Cikeas.
Pilihan terhadap Andi tentu bukan tanpa alasan. Selain karena Andi memiliki kedekatan emosional dengan keluarga Cikeas, mantan Juru Bicara Kepresidenan ini juga tak memiliki basis massa, sehingga lebih mudah diarahkan. Dalam kampanyenya kalai itu, kubu Andi begitu gencar menolak gagasan Anas yang hendak menyapih Demokrat dari SBY.
Dari situ nampak jelas betapa besar ambisi Cikeas untuk melanjutkan karir politik SBY. Pasalnya selepas SBY turun tahta, tidak ada jaminan keamanan bagi kelanjutan kekuasaan Cikeas. Karena alasan itulah kemudian Ibas ‘dipaksakan’ duduk di kursi Sekjen. Harapannya tentu agar sang Putra Mahkota itu bisa lebih cepat siap menggantikan sang ayah.
Tetapi banyak pengamat menyangsikan kemampuan Ibas mengambil posisi itu. Bahkan Ani Yudhono –yang selama ini digadang-gadang sebagai capres mendatang-- saja gagal menarik dukungan pada saat kongres yang lalu. Realitas politik inilah yang kabarnya mendorong Cikeas mengubah strategi. Konon, SBY sendiri kali ini turun langsung menata barisan Cikeas di Demokrat. Intervensi ini pula yang menyebabkan begitu banyak posisi strategis di DPP ditempati kader setia Cikeas --meskipun sejatinya pengaruh SBY masih sangat dominan di Dewan Pembina dan Majelis Tinggi.
Dalam konteks saat ini, ketika SBY masih menjabat, memang kecil kemungkinannya ada yang berani melakukan perlawanan frontal, tak terkecuali dengan Anas yang seolah tersandera. Tetapi sangat terbuka kemungkinan perlawanan itu akan terjadi secara terbuka setelah SBY lengser dari jabatan nanti. Terlepas dari berhasil atau tidaknya perlawanan itu menggeser dominasi Cikeas, yang jelas Partai Demokrat nantinya akan ramai konflik. Kasus PDIP adalah contoh nyatanya. Aksi perlawanan terhadap Megawati tak ada habisnya dari masa ke massa. Selain selalu berakhir dengan hengkangnya kader-kader potensial, juga mengkerdilkan partai karena selalu disibukkan dengan konflik internal.