Traffic

CPX

PTP

DOWNLOAD KOLEKSI FILM KAMI

Friday, July 16, 2010

Burhanudin Muhtadi: Faksi di Demokrat Sudah Ada Sejak Kongres Pertama

Faksionalisasi di tubuh Partai Demokrat sebenarnya bukan hal baru. Meski para petinggi partai itu selalu membantah, namun faktanya faksi di Demokrat sudah ada sejak kongres pertama partai ini digelar pada 2004. Saat itu sejumlah politisi Demokrat yang merasa kecewa dan sakit hati kemudian memilih keluar. Begitu pun yang terjadi pasca kongres kedua di Bandung, 21-23 Mei 2010 lalu, faksionalisasi juga tak terhindarkan. Bagaimanakah peta faksionalisasi di Partai Demokrat saat ini? Direktur Eksekutif Lembaga Survey Indonesia (LSI), Burhanuddin Muhtadi, memaparkan analisisnya secara tajam dan panjang lebar kepada wartawan Kabar Politik, Alfonsus Takota. Berikut wawancara lengkap yang dilangsungkan di sebuah rumah makan di kawasan Ciputat, Banten, Rabu (7/7).

Kongres Partai Demokrat yang lalu rupanya menyisakan faksionalisasi yang kian terbuka. Bagaimana menurut Anda?
Faksionalisasi di tubuh partai politik sebenarnya sesuatu yang wajar dan lumrah. Faksi-faksi ini biasanya didasarkan patronase politik dan siapa yang menjadi partron besarnya dan ada gerbong yang mengikuti sang patron. Nah sebelum bicara lebih khusus ke dalam Partai Demokrat, faksi-faksi ini bisa berfungsi positif dalam pengertian dapat menjadi pendinamisir partai. Tetapi faksi juga bisa menjadi potensi negatif. Berpotensi positif jika faksi-faksi ini dapat menciptakan iklim kompetisi yang sehat di internal partai dan ada mekanisme penyelesaian secara terbuka bisa disetujui semua faksi. Jadi kalau dalam istilah teknisnya ada sistemness, atau ada kesisteman di internal partai dimana faksi-faksi tadi berpegang pada rule of the game yang sama atau konstitusi partai atau ADRT partai. Tetapi ketika ADRT atau sistemnes itu belum terbentuk di internal partai, maka sering kali faksi-faksi tadi tidak menyelesaikan perbedaan-perbedaan maupun conflict of interest di antara mereka melalui mekanisme yang bisa di share bersama. Tetapi justru malahan mereka sering menggunakan mekanisme lain. Nah jika itu yang terjadi, maka itu bisa negatif.

Lantas bagaimana yang terjadi di Demokrat?
Kecenderungan di Partai Demokrat sistemness itu belum terbentuk. Jadi sistemnes itu persilangan antara internal dan struktural. Sistemness dalam partai politik ada dua mekanisme. Satu mekanisme internal-eksternal, kedua, mekanisme struktural-kultural. Nah persilangan antara mekanisme internal-struktural akan melahirkan systemness. Yaitu seberapa jauh partai memiliki satu konstitusi atau satu plat form atau manifesto atau ADRT yang bisa menjadi pegangan bersama bagi setiap faksi yang berkompetisi di dalam sebuah partai.

Mengapa begitu?
Ini terjadi karena kuatnya simbol SBY. Jadi SBY memiliki satu kesejarahan berbeda. Saya sebut SBY memiliki peran yang sangat sentral di Demokrat. Pertama, dari faktor kesejarahan, Demokrat berdiri waktu itu semata-mata untuk menciptakan kendaraan politik bagi SBY agar terpilih menjadi presiden pada 2004. Kedua, factor electoral, Demokrat ini sangat bergantung pada electoral SBY. Jika electoral SBY naik, maka Democrat akan naik, jika electoral SBY turun maka Demokrat juga akan turun. Bahkan elektabilitas Demokrat hanya sepertiga dari elektabilitas SBY.

Mengenai faksi-faksi tadi bagaimana di Demokrat?
Faksi-faksi dalam Demokrat memang ada. Faksi-faksi itu sebenarnya justru muncul sejak kongres pertama di Bali lima tahun yang lalu.

Kira-kira pemetaannya bagaimana, bisa dijelaskan?
Waktu itu ada banyak calon yang maju untuk menggantikan posisi Pak Subur, Ketua Umum Demokrat pertama, dan pak Subur sendiri sangat berminat untuk menjadi Ketum yang kedua kalinya. Dari calon yang maju waktu itu, misalnya Pak Taufik Effendi, dan beberapa nama lainnya termasuk Pak Surato Siswodihardjo. Surato konon mendapat dukungan SBY, tetapi Pak Subur yang merasa cenderung tidak mendapat dukungan SBY ini masih ingin maju. Subur berpikir dialah yang telah banyak berbuat, sehingga SBY menjadi presiden. Dia akhirnya kecewa. Dan anehnya detik-detik terakhir SBY melepas dukungannya, seperti kasus kongres yang kedua di Bandung. Jadi Pak Surato dibiarkan lepas. Ini disebabkan mertua SBY mendukung Hadi Utomo. Nah, Pak Surato kecewa lagi karena dia merasa sudah mendapat dukungan dari SBY tetapi tiba-tiba dilepas dalam kongres yang pertama itu. Tapi melepaskan segalanya, setidaknya membuktikan telah muncul faksional di internal Demokrat. Itu pertama kali muncul faksi-faksi yang merasa kecewa dengan SBY, dan dipelopori Pak Subur.

Perkembangan selanjutnya bagaimana?
Kemudian generasi awal Demokrat seperti SyS NS yang membentuk Partai NKRI, dia kecewa karena tidak mendapatkan balas budi yang layak. Dia memiliki andil membesarkan Demokrat yang akhirnya membuat SBY menjadi presiden. Dan saat itu pula orang seperti Pak Jasin, mulai melihat, meskipun dia bukan orang Demokrat tapi di sekitar SBY ada poros Demokrat, ada poros militer, poros sipil biasanya para intelektual yang dekat dengan SBY, seperti ama Denny JA yang merasa punya keringat. Poros sipil ini yang secara bersama-sama menggolkan SBY menjadi presiden. Sebagian di tarik untuk mendapatkan kue (menteri) atau jabatan-jabatan struktural di pemerintahan, seperti ketua BPN dsb. Di poros militer juga di tarik juga seperti Pak Sudi dan Muhamad Ma’ruf (Mendagri) yang kemudian mengundurkan diri karena sakit. Ketika Ma’ruf mengundurkan diri, SBY justru mengangkat Mardianto menjadi Mendagri, padahal Mardianto adalah pendukung Megawati, sehingga Pak Yasin yang telah merasa bekerja keras untuk SBY kecewa, lalu mendirikan partai Pakar Pangan. Jadi mulai muncul faksionalisasi yang sejak awal, karena mereka tidak mempunyai akses ke SBY yang ujung-ujung mendapatkan kue kekuasaan dari perjuangan mereka untuk menyukseskan SBY menjadi presiden pada 2004. Pak Subur sendiri tidak sampai keluar dari partai, tetapi setidaknya dia mempunyai gerbong yang merasa senasib dan seperjuangan.

Bagaimana dengan faksi-faksi yang muncul pasca kongres Bandung?
Faksionalisasi pasca kongres Bandung jauh lebih tampil ke permukaan jika dibandingkan dengan yang terjadi pasca kongres Bali. Kongres pertama, Demokrat masih sebatas partai menengah dan hanya mendapatkan 7,4%, hanya sekadar bisa mencalonkan SBY menjadi presiden. Ketua Umum hasil kongres Bali juga tidak sekuat ketua umum partai pada umumnya. Karena masih dibawa bayang-bayang SBY yang masih bisa mencalonkan menjadi presiden di 2009. Tetapi kongres II di Bandung, jauh lebih kuat, karena Demokrat telah menjelma menjadi partai pemenang Pemilu. Kedua, SBY sudah tidak bisa mencalonkan lagi menjadi presiden untuk yang ketiga kalinya. Jadi betul-betul memiliki kedigdayaan politik yang jauh lebih kuat ketimbang hasil kongres pertama. Akibatnya pertarungan kandidat di kongres II jauh lebih keras ketimbang kongres sebelumnya karena posisi politik Demokrat yang jauh lebih tinggi. Pada saat yang sama, sebagai partai besar, Demokrat mulai membuka pintu buat lahirnya generasi kedua, yakni mereka yang tidak ikut dari awal proses berdirinya partai. Orang seperti Anas Urbaningrum, Andi Malarangeng dan Ibas adalah generasi kedua. Sedangkan Marzuki itu generasi pertama.

Jadi nuansa konflik yang terjadi antara Anas, Marzuki dan Andi ini memang karena faksi?
Itu justru akibat dari kongres II. Pengkubuan itu sebenarnya sudah dimulai sejak beberapa bulan sebelum kongres. Jadi makin menguat usaha untuk menjadi orang nomor satu di Demokrat. Tetapi karena Partai Demokrat systemness-nya belum kuat, maka masing-masing calon mencoba mencari restu dari SBY. Dan itu dimungkinkan karena SBY adalah pemegang saham terbesar di Demokrat. Setidaknya kalau dilihat, faksionalisasi berdasarkan siapa calon yang maju menjadi Ketum Demokrat maka memang ada tiga faksi. Tetapi sebenarnya ada faksi lain diluar ketiga faksi itu yang siap bertarung. Karena mereka sadar, karena kemungkinan untuk terpilih kecil karena itu mereka ikut dalam salah satu gerbong ng dari tiga faksi itu. Yakni ke kelompoknya Andi. Menurut saya kubu di Andi ini lebih cair. Karena kubuh Andi ikut mengakomodasi faksi-faksi di luar tiga calon yang maju.
Jadi mereka semuanya mempunyai gerbong panjang. Orang seperti Radityo Gambiro, Ketua DPP periode Pak Hadi Utomo, Agus Hermanto itu kuat sekali, orang-orang Cikeas (keluarganya bu Ani). Tapi mereka ini sebenarnya mempunyai Gerbong sendiri. Namun karena menjelang kongres, SBY memberi dukungan ke Andi, maka mereka merapat ke Andi. Dan ketika Andi kalah, tidak menutup kemungkinan mereka akan menjaga jarak dengan ketiga kubu ini. Kubu Andi sangat cair, karena ikatannya lunak. Ikatan yang membuat mereka lebih memilih Andi karena SBY yang sebelumnya memberi sign dukungan kepada Andi.

Bagaimana dengan kubu Anas?
Setelah hasil kongres menunjukan kemenangan Anas, memang Anas berada pada posisi sulit. Karena dia tidak sendirian memutuskan kepengurusan di DPP. Dia bukan formatur tunggal. Sebagai pemenang kongres, Anas dihadapkan pada pilihan dimana formaturnya ada banyak pihak. Pertama, SBY sendiri sebagai ketua Dewan Pembina, kemudian ada Hadi Utomo sebagai mantan Ketum, ada Ibas sebagai ketua SC (steering committe) kongres Bandung, lima orang peserta kongres sebagai perwakilan dari lima zona wilayah di seluruh Indonesia. Tetapi dari semua orang itu yang menentukan adalah SBY sendiri. Jadi prinsip akomodasi dari faksi-faksi yang bertarung dalam kongres menjadi prioritas utama dalam penyusunan kepengurusan. Sementara prinsip representasi dan meritokrasi politik yang menekankan pada kemampuan, prinsip the right men on the right place justru menjadi prioritas kesekian setelah akomodasi tadi.
Jadi kalau kita lihat dari kepengurusan Anas sekarang, ya praktis dominasi akomodasi kubu-kubuan jadi lebih kental. Kalau kita lihat nama Andi Nurpati, Ulil Absar Abdalla, Ramadhan Pohan, Rachlan Nasidik, itu jelas kubu dari Andi Malarangen. Dari kubu Anas sendiri ada, Angelina Sondakh, Adji Masaid, Jhony Allen Marbun. Sementara di kubu Marzuki Ali ada, Max Sopacua, Sofatilla. Disini terlihat sekali prinsip akomodasi sangat kuat. Dalam penyusunan kepengurusan ini secara sekilas sangat menunjukan kebesaran hati Anas untuk mengakomodasi faksi-faksi yang ada di Demokrat. Tapi bukan berarti setelah itu, faksi-faksi ini selesai. Tidak. Faksi-faksi itu masih ada dan belum selesai.

Dari pengalaman di partai lain, faksi bisa menimbulkan perpecahan?
Bagi saya, sejauh masih ada SBY, saya pikir itu tidak akan terjadi. Karena faktor SBY sebagai pemersatu tadi. Memang pasca kongres ada pihak-pihak yang sakit hati. Tapi itu wajar saja. Tetapi tidak akan menjurus pada perpecahan partai yang serius.

Kabarnya tertunda-tundanya waktu pelantikan pengurus baru Demokrat karena konflik antar faksi itu?
Saya tidak tau persis. Anas yang lebih tahu hal itu. Tapi ada banyak pertanyaan di benak publik, mengapa Demokrat terlalu lama launching kepengurusan. Dan terus terang ini agak mengurangi kepercayaan publik. Tidak ada partai yang kepengurusannya ditunggu-tunggu publik kecuali Demokrat. Itu terkait dengan ekspektasi yang begitu besar dari public kepada Anas sebagai ketua umum termuda. Dari kepengurusan yang telah ditunjuk beberapa waktu lalu sebenarnya ekspektasi publik itu sudah mulai berkurang. Karena kepengurusan yang ada sekarang telah banyak menimbulkan beberapa pertanyaan. Pertama dari sisi timing agak lama, kedua dari beberapa nama yang menurut saya termasuk orang yang kurang layak untuk ditampilkan di posisi puncak kepengurusan. Jonny Allen Marbun misalnya sedang tersandung kasus korupsi, Andi Nurpati, Jufry mantan Wali Kota Bukitinggi adalah tersangka kasus korupsi. Disisi lain Anas juga mengambil kepengurusan dari luar partai. Ini memang ada baiknya karena soal kualitas, tetapi sarat konflik internal. Karena kader partai yang merasa layak akan kecewa.

Bagiamana dengan pengaruh HMI Connection dalam kepengurusan Anas?
Saya pikir hal yang wajar jika Anas dekat dengan HMI. Apalagi dia dibesarkan dari sana. Anas juga dekat dengan tokoh-tokoh dari organisasi atau aktivis lain. Orang-orang dibelakang Anas beragam. Misalnya disana ada Beny K Harman, Ruhut Sitompul dan sebagainya. Yang dekat dengan HMI tidak hanya Anas, tetapi Andi Mallarangeng juga mantan HMI. Saya pikir itu tidak ada masalah.