Traffic

CPX

PTP

DOWNLOAD KOLEKSI FILM KAMI

Wednesday, July 7, 2010

Ada Apa dengan ‘Tikus’ Golkar

Polemik soal Setgab dan Dana Aspirasi belum juga mereda, kini Partai Golkar kembali melontar kontroversi anyar. Bukan hanya soal usulan parliamentary threshold 7 persen, tetapi juga ajakan Ical menjadi ‘tikus’.

by:Rovy Giovanie
Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) Partai Golkar di Hotel Ritz Carlton, Mega Kuningan, Jakarta, Minggu (4/7), menebar polemik. Bukan karena penyelenggaraan acaranya yang tidak beres, tetapi wacana yang keluar dari forum itu mengundang kontroversi.
Pertemuan yang dibuka oleh Ketua Umum DPP Partai Golkar, Aburizal Bakrie alias Ical, itu mengusulkan parliamentary threshold (PT) dinaikkan menjadi tujuh persen Pemilu 2014. Kenaikan PT sebesar itu selaras dengan target perolehan suara yang hendak dicapai Golkar, yakni 30 persen.
Namun, usulan ini menimbulkan reaksi keras dari sejumlah parpol. Jangankan 7 persen, kenaikan menjadi 5 persen yang selama ini diwacanakan saja banyak mendapat perlawanan. Diantara penentang itu adalah PAN yang belakangan terlibat ‘konflik’ dengan Partai Golkar. “Persoalannya bukan PT harus 5, 7 atau 10 persen, tapi apakah PT 7 persen sebagaimana yang diusulkan Ical membawa manfaat atau mudharat bagi bangsa ini," tegas Ketua DPP PAN, Putra Jaya Husain, di Jakarta, Minggu (4/7).
Jika memang, usulan Ical dimaksudkan untuk membentuk pemerintahan yang kuat berdasarkan sistem presidensial, menurutnya, maka yang harus dilakukan adalah meningkatkan perolehan suara partai, bukan meningkatkan angka PT. "Apa hubungannya PT dengan pemerintahan presidensial yang kuat. Kalau mau kuat, ya Golkar harus 50 persen atau 70 persen seperti jaman Orba. Bukan angka PT yang dinaikkan secara ekstrim," jelas mantan Wakil Ketua Komisi V DPR RI ini.
Penolakan serupa datang dari parpol papan tengah dan partai kecil lainnya. Mereka menuding Golkar berusaha memberangus parpol-parpol kecil, sehingga suaranya akan masuk ke parpol besar. “Itu hanya akal-akalan Golkar saja,” ujar politisi Gerindra, Akbar Faisal di Jakarta, pekan lalu.
Ada dugaan bahwa hal ini dilakukan Partai Golkar untuk membuat sensasi agar mendapat perhatian publik. Kesan ini nampak lebih nyata bila menyimak pernyataan Ical dalam forum Rakornis itu juga. Saat itu Ical menyampaikan filosofi yang sangat mengejutkan. "Kita politisi bekerja keras, main taktis. Jangan kemudian kita dalam permainan itu menggigit terus. Golkar harus berprinsip seperti tikus, ngendus, baru gigit. Jangan langsung menggigit. Nanti kalau dipukul bisa mati," kata Ical dalam sambutannya di hadapan peserta Rakornis Wilayah Jawa-Bali-NTB itu.
Pernyataan Ical ini kontan mengundang reaksi dari berbagai kalangan. Nyaris semuanya mengecam. Semua parpol yang tergabung dalam Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi menilai Ical tak pantas mengajak menerapkan filosofi tikus dalam berpolitik. Bahkan PKS meminta Ical segera meralat ucapannya. "Saya rasa contohnya kurang pas, apa tidak ada contoh lain selain 'tikus'? Politisi tak harus seperti tikus, itu analogi yang kurang tepat, karena tidak seluruhnya kegiatan politik itu 'menggigit'. Intinya saya kurang
sependapat dengan analogi seperti itu," ujar anggota Fraksi PKS Nasir Djamil di Jakarta, Selasa (6/7).
Nasir khawatir bila pernyataan Ical itu dipersepsi publik bahwa parpol lain yang tergabung di Setgab juga seperti Golkar. Karenanya, dia menyarankan agar pernyataan itu diralat. "Ical harus meralat ucapannya. Sama seperti mas Priyo dulu saat Century bilang cooling down akhirnya diralat. Sebab Ini bisa gawat, apalagi kalau kebanyakan pendapat nantinya. Mudah-mudahan saja itu hanya perumpamaan," jelas Nasir.
Reaksi keras juga meluncur dari politisi parpol anggota Setgab lainnya. "Saya tidak tahu Ical paham atau tidak, tikus indentik dengan koruptor," ujar Ketua DPP PAN Bima Arya Sugiarto di Jakarta, Senin (5/7/2010).
Lebih dari itu Bima menyayangkan sikap Golkar yang tergolong kasar ini. Politisi yang harusnya taktis dalam strategi disamakan dengan tikus. "Kami meyayangkan pemimpin partai besar harusnya lebih memilki pemahaman subtantis terhadap pekerjaan politikus. Profesi politikus sangat taktis kalau kita berpolitik tidak memiliki value kita akan tersesat, ini salah," keluh Bima.
Penolakan serupa datang dari PPP. Ketua Fraksi PPP Hasrul Aswar keberatan jika politisi disamakan dengan tikus. "Enggak, kami enggak mengenal itu. Itu mungkin style-nya Golkar saja, biarkanlah itu menjadi style dan prilaku politiknya Golkar. Biarlah dia mengendus lalu menggigit," ujar Hasrul Aswar.
Politisi Partai Demokrat Didi Irawadi malah khawatir bila Golkar benar-benar mengadopsi keseluruhan pola hidup tikus. Kalau Golkar terus menggunakan politik menjebak, berarti pola politik Golkar hanya untuk egoisme semata. "Tidak boleh ada jebakan-jebakan itu kami tidak sependapat, itu hanya untuk kepentingan pribadi," keluh Didi.
Toh Golkar tak cemas dengan berbagai kecaman itu. Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar Agung Laksono malah memuji pernyataan Ical. Alasannya, pesan dibalik pernyataan itu justru sangat baik, yakni mengajak berpolitik dengan etika. “Misalnya kalau mengkritik tidak sampai sakit hati orangnya, kalaupun memberi saran tidak menggurui, kalaupun mengoreksi tidak dengan cara-cara tidak santun atau dengan halus, berpikir posistif thingking saja, jangan begitu tikus mencuri," tutur Agung di Jakarta, Selasa (6/7).
Apapun bantahan Agung, namun penggunaan filosofi tikus tidak lah tepat bagi seorang politisi. Sastrawan yang juga penulis naskah lakon 'Republik Reptil', Radhar Panca Dahana, menilai pemilihan kata oleh seseorang menggambarkan, discourse, lingkungan, imajinasi, cara berbuat dan juga tujuan seseorang. "Pemimpin mengatakan tikus, sementara tikus itu perlambang sebuah kebusukan, kemunafikan, kelicikan dan simbolisasi sebagai koruptor. Betapa pemimpin itu pendek imajinasinya, kering imajinasinya, kotor kepala dan pikirannya. Bahkan sampai mengimbau," kata Radhar saat dihubungi, Selasa (6/7).
Radhar menilai tikus bukanlah bintang yang dalam dunia fabel mewakili derajat kemuliaan. Karenanya, tidak pantas untuk menggambarkan realitas kehidupan manusia dengan tikus. "Ini menunjukkan rendahnya apresiasi kita terhadap manusia, rendahnya kemanusiaan manusia menunjukkan merosotnya keadaban publik kita," kata Radhar.
Lantas, benarkah Ical hanya kepelset lidah dalam menggulirkan filofi tikus itu? Ataukah sebuah kesengajaan? Bisa saja Ical memang kepeleset lidah, karena penggunaan filosofi tikus sama artinya dengan pengakuan bahwa selama ini dirinya dan juga Partai Golkar dipenuhi para koruptor.
Tetapi bisa juga sebuah kesengajaan, dengan maksud mencuri perhatian publik laiknya promosi artis dengan mengumbar gossip tak sedap? Dampak pernyataan Ical itu memang jelas tak bagus di mata publik, tetapi nama Golkar jadi semakin melekat di benak rakyat. Toh Pemilu jug