Traffic

CPX

PTP

DOWNLOAD KOLEKSI FILM KAMI

Sunday, January 31, 2010

Poros Sumatera di Pertemuan Bogor

oleh: Rovy Giovanie
Pertemuan Istana Bogor ramai diributkan. Siapa sebenarnya berada di belakang pertemuan yang dituding sebagai upaya melindungi Presiden dari ancaman impeachment itu?
Kontroversi Pertemuan Istana Bogor mengusik ketenangan Presiden SBY. Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat ini menampik anggapan miring yang menyebut pertemuan di Istana Bogor, Kamis (21/1), itu sebagai bentuk ketakutannya atas upaya pemakzulan yang kemungkinan terjadi akibat guliran kasus Bank Century di Pansus Angket Century DPR.
Menurut SBY, prakarsa pertemuan itu berasal dari para pimpinan lembaga negara. "Beliau-beliau ini berkumpul duhulu dan kemudian menghubungi saya, apakah kita bisa berkomunikasi tanpa mengintervensi dan mencampuri wewenang masing-masing yang diatur dalam UU," kata SBY saat ketika membuka Rapimnas TNI 2010 di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Senin (24/1).
Terhadap permintaan pertemuan komunikasi dan silahturahim tersebut, Presiden SBY menyambut positif. Sesuai dengan kapasitasnya sebagai Kepala Negara, maka pertemuan yang dihadiri Ketua MA Harifin Tumpa, Ketua Komisi Yudisial M Busyro Muqoddas, Ketua DPR Marzuki Alie, Ketua MPR Taufiq Kiemas, Ketua DPD Irman Gusman, Ketua BPK Hadi Purnomo, Wapres Boediono, dan beberapa orang menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II itu, lalu SBY pimpin.
Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan yang merupakan penegasan atas wewenang dan tugas masing-masing sesuai aturan dalam UU. Salah satunya adalah meski dinamika politik bisa memanas, tapi bagaimanapun juga stabilitas politik, sosial, hukum dan keamanan nasional tetap harus dijaga. "Mengapa? Agar semua program pembangunan bisa tetap dijalankan dan rakyat tidak cemas," jelas SBY.
Upaya untuk menjaga stabilitas politik, sosial, hukum dan keamanan nasional dilakukan masing-masing lembaga tinggi negara sesuai wewenangnya. Tidak saling mencampuri peyelanggaraan kewajiban dan tugas yang sebenarnya telah ditetapkan di dalam UU.
Bila ada masalah politik, sosial, hukum dan keamanan yang dihadapi, kiranya dapat diselesaikan dengan kerangka yag telah ditetapkan. Rujukannya adalah UU dan aturan yang berlaku sehingga hasil putusannya jernih, kontekstual dan tidak menimbulkan komplikasi yang tidak perlu. "Itu cara pandang kami semua, para pemimpin lembaga negara yang telah diatur dalam konstitusi kita," papar SBY.
Penjelasan ini merupakan kesekian kalinya terlontar dari Istana Negara. Sebelumnya, klarifikasi serupa juga disampaikan Juru Bicara Kperesidenan Julian Aldrin Pasha, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, dan beberapa anggota Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II lainnya.
Sejumlah sumber Mimbar Politik yang mengetahui persis awal pertemuan itu memang tak menyebut SBY sebagai pemrakarsanya. Adalah Ketua MPR Taufik Kiemas disebut sebagai orang pertama yang mengupayakan pertemuan ini. Tetapi Kiemas tak sendirian. Ia bersama Ketua DPR Marzuki Alie. “Kalau nggak salah bermula dari obrolan ringan diantara mereka berdua. Khan sama-sama dari Palembang, jadi gampang nyambung,” tutur sumber tadi kepada Mimbar Politik di Jakarta, Senin (24/1).
Marzuki Alie tak menampik adanya peran Kiemas, meski tak menyebut perannya dalam pertemuan itu. “Idenya memang dari Pak TK (Taufik Kiemas),” ujarnya di Jakarta, Jumat (22/1).
Pembicaraan Kiemas dan Marzuki, menurut sumber tadi, lantas nyambung dengan Ketua DPD, Irman Gusman. Kebetulan Irman juga sesame tokoh asal Sumatera. Hasil pembicaraan ini, menurut sumber tadi, lantas disampaikan kepada Menteri Perekonomian Hatta Rajasa yang dikenal memiliki hubungan pribadi sangat dengan SBY. “Jadi ya, ini pekerjaan dari teman-teman Sumatera yang sekarang menguasai DPR/MPR,” paparnya.
Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas malah nyebutkan, bahwa semula tak ada rencana melibatkan presiden. Waktu itu, Ketua DPD Irman Gusman, katanya, mengundang pimpinan lembaga negara ke Gedung MPR untuk membicarkan masalah persoalan negara, khususnya kasus Century. Kiemas dan Irman memandang persoalan kasus century ini perlu menjadi fenomena yang harus dipahami bersama para lembaga negara. "Saat itu petemuan pun berlangsung. Tapi waktu itu ada usulan bagaimana kalau lembaga negara kepresidenan juga dilibatkan dalam masalah ini. Akhirnya semuanya pun sepakat dan jadilah pertemuan Istana Bogor ini dilaksanakan," bebernya.
Terlepas ada atau tidaknya peran presiden, tapi tak bisa dipungkiri bahwa pertemuan itu memang erat kaitannya dengan isu impeachment. Lagi-lagi, Kiemas lah dalam Pertemuan Bogor itu yang mengawali topik pemakzulan. Suami Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri itu menjelaskan bahwa berdasarkan ketentuan UUD 1945, sesama lembaga negara tidak bisa saling menjatuhkan. "Secara pribada saya tidak menginginkan adanya pemakzulan itu. Saya ini merasakan bentang sejarah tentang pemakzulan itu. Semua kejadian tersebut membuat hubungan menjadi tidak baik," tuturnya.
Pengalaman sejarah Indonesia menunjukkan, pemakzulan sudah terjadi 4 kali, yaitu pada zaman Soekarno, Soeharto, Habibie, dan Gus Dur. Sebagai Ketua MPR, Kiemas memang memiliki peran penting dalam proses pemakzulan, karena MPR lah yang akhirnya memutuskan lolos atau tidaknya impeachment.
Sebagian pakar menduga, peran aktif Kiemas untuk melindungi Presiden ini tak lepas dari hutang budinya pada saat pemilihan Ketua MPR, tahun 2009 lalu. Tanpa dukungan SBY, memang kecil kemungkinan Ketua Deperpu PDIP ini duduk di kursi empuk Ketua MPR. Ada juga yang mengaitkan pembelaan Kiemas ini bakal tak lepas dari iming-iming ‘bonus’ jabatan di sejumlah BUMN. Bahkan tak tertutup kemungkinan juga di kabinet bila terjadi reshuffle nantinya.