Traffic

CPX

PTP

DOWNLOAD KOLEKSI FILM KAMI

Wednesday, August 4, 2010

Redupnya Pamor Sang Presiden

Kritikan tajam dan kejadian ‘memalukan’ tak henti-hentinya menimpa lingkungan Istana Negara dalam beberapa bulan terakhir. Sejumlah kalangan pun menganggapnya sebagai pertanda awal kejatuhan Sang Presiden. Benarkah?

Naskah: Rovy Giovanie
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikan kekacauan Lomba Cipta Seni Pelajar Tingkat Nasional di Istana Tampak Siring, Gianyar, Bali, Senin (26/7). Saat itu, panitia acara salah ketika mengumumkan pemenang lomba, sehingga seorang murid SMPN 1 Wonosari, Gunung Kidul, bernama Agustina Eka, yang terlanjur disebut sebagai pemanang harus berurai air mata di depan Presiden. Ibu Negara Ani Yudhoyono pun terpaksa harus menghibur sang anak yang sudah terlanjur naik ke podium itu.
Meski ini jelas-jelas bukan kesalahan SBY, tapi insiden memalukan ini jelas mempengaruhi wibawa presiden. Apalagi pengunjung acara itu kompak berteriak ‘huuuu’ –tanpa mempedulikan keberadaan Presiden SBY di panggung kehormatan-- ketika panitia meralat pemenang lomba.
Kejadian ini melengkapi kejadian memalukan lainnya yang juga disangkutpautkan dengan Presiden. Pada peringatan Hari Anak Nasional di Taman Mini Indonesia, Jumat (23/7), seorang bocah peserta operet dilaporkan telah menjadi korban penoyoran. Kabarnya pelakunya adalah paspampres. "Ada seorang anak kecil namanya C, 9 tahun, peserta operet, sehabis salaman dengan Pak SBY tadi, kemudian tidak tahu bagaimana dia `ditoyor`," kata Ketua Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi, di Jakarta, Jumat (23/7).
Belakangan, Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha membantah bahwa pelaku penoyoran adalah Paspampres. Dari hasil investigasi yang telah dilakukan Paspampres, menurut Julian, tidak ada satu pun anggota Paspampres yang melakukan penoyoran.
Terlepas dari benar-tidaknya bantahan Julian, yang jelas menurut Sekjen Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, bahwa kejadian itu telah mencoreng citra presiden. "Ini merupakan blunder yang menggambarkan lemahnya pengamanan terhadap Presiden sekaligus merusak citra Presiden Yudhoyono," ungkapnya.
Itu baru dua kejadian yang waktunya sangat berdekatan. Masih ada lagi yang tak kalah menghebohkan, yakni kedatangan korban ledakan tabung gas LPG ke Istana Negara. Pihak Istana Negara sempat dikabarkan menolak menemui korban ledagan tabung gas, Susi Haryani (29) dan anaknya, Ridho Januar (4,5). Saat itu, Senin (19/7), keduanya mendatangi Gedung Sekretariat Negara untuk meminta pertolongan Presiden karena tidak memiliki biaya berobat.
Namun, lagi-lagi, kabar penolakan Istana itu langsung dibantah Julian Pasha. Meski menyarankan agar korban ditangani oleh Pemerintah Daerah terlebih dahulu, namun menurut Julian, Presiden sama sekali tak keberatan jika masyarakat mendatangi Istana untuk mengeluhkan nasibnya. "Bapak Presiden mengingatkan, setiap ada hal-hal yang sifatnya mungkin apakah itu korban seperti korban tabung gas agar ditangani dengan baik di level yang lebih dekat. Kalau di Jawa Timur ya mungkin Pemda setempat, sehingga tidak serta merta datang, ini sangat memprihatinkan," ujarnya.
Meski korban ledakan itu akhirnya mendapat penanganan Menteri Kesehatan, namun isu ini sempat menjadi komoditas untuk menyudutkan Presiden yang dianggap kurang tanggap terhadap rakyatnya sendiri. Berbagai komentar miring pun mengemuka dari para pengamat dan tokoh. Maklum, beberapa hari sebelumnya, Istana juga dihebohkan oleh Surat Pembaca Hendra tentang kesewenang-wenangan Patwal Presiden.
Surat yang dimuat di sebuah harian ternama ibukota itu menceritakan kejadian yang menimpa Hendra yang tak lain juga warga Cikeas dimana SBY Tinggal bersama keluarganya. Ia mengaku trauma akibat kejadian yang menimpanya pada Jumat (9/7). Saat itu petugas Patwal menghajar kap mesin mobilnya dan memukul spion kanan sambil mencaci dan mengancamnya. “Pak SBY yang kami hormati, mohon pindah ke Istana Negara sebagai tempat kediaman resmi presiden. Betapa kami saban hari sengsara setiap Anda dan keluarga keluar dari rumah di Cikeas. Cibubur hanya lancar buat Presiden dan keluarga, tidak untuk kebanyakan warga,” demikian Hendra dalam suratnya.
Surat pembaca ini ternyata mendapat sambutan luar biasa dari berbagai kalangan. Hampir semua media lokal dan nasional pun mengangkat insiden Patwal ini sebagai berita utama selama beberapa hari. Seolah memanfaatkan kesempatan, para politisi Senayan pun serempak mengkritisi Presiden. Sekjen PDIP, Tjahjo Kumolo, misalnya mengecam keras perilaku Patwal. “Masyarakat bukan teroris yang harus diwaspadai yang mengancam nyawa presiden," kata Tjahjo.
Wakil Ketua Komisi Pertahanan DPR, TB Hasanuddin, pun menyarankan agar SBY meniru almarhum Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) ketika menjabat presiden yang kala itu memutuskan tinggal di Istana Negara. "Diharapkan mobilitas Presiden tidak mengganggu kepentingan publik," tegasnya.
Berbagai komentar memang terus bermunculan menyikapi kasus Patwal ini. Sampai-sampai para politisi Demokrat berang. Juru Bicara Partai Demokrat, Ruhut Sitompul, pun menuding sejumlah parpol dibalik berbagai pemberitaan negatif tentang presiden, termasuk kasus Hendra. “Saya menduga ini adalah ulah dari partai besar yang nggak siap kalah. Sudahlah nggak perlu pakai trik-trik, tunggu saja 2014 nanti,” ujar Ruhut di Jakarta, pekan lalu.
Dugaan Ruhut ini diperkuat dengan fakta bahwa kejadian dan berita miring tentang SBY ini terjadi begitu beruntun. Padahal sebelumnya tidak pernah ada kejadian demikian. Karena itu politisi nyentrik ini menduga ada pihak-pihak yang sengaja merekayasa untuk menjatuhkan nama presiden.
Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Ahmad Mubarok, juga tak menampik kemungkinan adanya lawan-lawan SBY yang berusaha memanfaatkan situasi. Ini semua terkait dengan kepeningan Pemilu 2014. “Bayangkan pada tahun pertama pemeritahan SBY kedua ini, orang sudah berpikir tahun 2014, kan konyol sekali,” tegasnya kepada Kabar Politik di Jakarta, pekan lalu.
Indikasi adanya pihak yang memainkan berbagai kejadian yang menimpa Presiden itu nampak dari hal-hal yang dianggapnya tidak masuk akal. Mubarok mencontohkan kasus ledakan tabung gas yang menimpa Susi dan anaknya, Ridho. Kalaupun ada yang bersalah dibalik ledakan tabung gas itu, menurutnya adalah Pertamina. “Pertamina dari dulu kan seperti itu, belum bisa bagus-bagus kinerjanya. Jadi itu tidak bisa dikaitkan langsung kesalahan itu dengan SBY. Terlalu jauh,” jelasnya.
Tetapi tidak demikian halnya bagi pakar politik LIPI, Ikrar Nusa Bhakti. Menurutnya, berbagai kritik dan pemberitaan miring terhadap SBY belakangan ini adalah murni dari rakyat yang telah mengerti demokrasi. “Bagaimanapun ini merupakan sebuah negara demokrasi, dan kritik terhadap presiden merupakan bagian dari sikap kritis warga negara terhadap seorang presiden. Surat Hendra kemarin itu misalnya, jangan dianggap mengkerdilkan wibawa presiden,” ujarnya kepada Kabar Politik.
Bila memang benar bahwa semua insiden beruntun yang mempermalukan presiden itu alami, bisa jadi benar pernyataan politisi yang juga paranormal, Permadi SH, beberapa waktu lalu. Bahwa semua itu adalah tanda-tanda awal dari alam akan runtuhnya kekuasaan SBY. “Ketika rakyat sudah tidak segan terhadap presiden, itu adalah pertanda nyata akan jatuhnya presiden,” kata Permadi.
Desas-desus soal runtuhnya pamor Istana juga sempat menghebohkan arena Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) di Makassar, awal Mei 2010 lalu. Saat itu Presiden SBY melakukan pembukaan muktamar dengan menabuh beduk. Anehnya, jambul penabuh beduk itu jatuh saat dipergunakan SBY menabuh beduk. Sontak para muktamirin yang dikenal kental dengan tradisi itu pun mengaitkan dengan kepercayaan dan klenik. Mereka percaya bahwa rontoknya jambul tabuh beduk itu sebagai pertanda jatuhnya wibawa presiden.
Itu hanyalah kepercayaan yang belum tentu kebenarannya. Tetapi bagi Koordinator Petisi 28, Hary Rusli Moti yang tidak percaya klenik, kekuasaan Presiden SBY memang dalam kondisi darurat. “Situasi kenegaraan dan situasi rakyat sekarang ini sudah masuk dalam kategori bukan krisis lagi tetapi sudah masuk fase darurat,” tegasnya kepada Kabar Politik di Jakarta, Jumat (23/7).
Hary tentunya bukan asal bicara dengan pernyataannya itu. Ia menunjuk carut-marutnya berbagai kasus dan kondisi ketatanegaraan kita. Menurutnya, saat ini tengah terjadi konflik dan benturan vertikal dan horizontal diantara lembaga negara. Contoh benturan horizontal itu diantaranya konflik antara KPK dengan Kejagung, KPK dengan Polti, DPR dengan DPD, BPK dan Depkeu dan sebagainya. “Sementara benturan vertikal misanya ada Gubernur tidak mau jalankan perintah Presiden karena dia menganggap bahwa dirinya juga dipilih oleh rakyat. Bupati juga begitu dengan Gubernur. Ini benar-benar satu negara tanpa organisasi pemerintahan yang solid,” ujarnya.
Kondisi ini diperparah lagi dengan potensi konflik dan kerusuhan yang sedemikian besar di daerah-daerah. Bukan hanya konflik akibat Pilkada, tetapi juga potensi rusuh akibat ketidakpuasan serta melebarnya jurang kemiskinan di rakyat bawah. Ketua Umum Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, Jenderal TNI (Purn) Tyasno Sudarto sempat mencemaskan potensi kerusuhan itu. Pasalnya, menurut mantan Kasad itu, potensi rusuh itu hanya tinggal menunggu penyulut saja. Berbagai contoh kasus sudah banyak terjadi, termasuk di Jakarta sendiri. Misalnya kerusuhan di Koja, Tanjung Priok, April 2010 lalu. Juga kerusuhan di Batam pada bulan yang sama, kerusuhan di Mojokerto, Jawa Timur pada Mei 2010, dan beberapa lainnya. “Kondisinya sudah cukup mencemaskan,” kata Tyasno kepada Mimbar Politik, beberapa waktu lalu.
Di mata dukun politik, Prof Dr Suhardiman SE, meletusnya kerusuhan missal itu bukan yang mustahil dalam waktu setahun dua tahun ke depan. Menurut prediksi pendiri SOKSI ini, pemerintahan SBY memang tidak akan bertahan sampai akhir masa jabatan pada 2014. “Naluri saya sebagai senior sejak semula sudah mengatakan masa kepemimpinan SBY tidak sampai 2014. SBY memimpin hanya sampai 2012, dua tahun leih cepat dari masa jabatannya,” kata Suhardiman kepada Kabar Politik di kantor SOKSI Jakarta, Senin (26/7).
Lagi-lagi ini hanya ramalan. Tetapi sebagai dukun politik, Suhardiman dikenal cukup akurat pada masa Orde Baru yang lalu. Apalagi tokoh Sekber Golkar ini juga tak melandaskan ramalannya pada klenik atau hal-hal gaib lainnya, tetapi lebih pada fakta dan kejadian yang ada di tengah masyarakat. Tentu saja diperkuat dengan ketajaman nalurinya sebagai politisi senior.
Salah satu isu yang menurutnya berpotensi berkembang menjadi besar dan akhirnya menjatuhkan SBY adalah skandal Bank Century. Meski kasus ini belakangan terkesan meredup, namun menurut Suhardiman, skandal yang merugikan uang negara sekitar 6,7 triliun ini masih potensial meledak lagi. Salah satu indikasinya adalah penolakan sebagian besar anggota DPR untuk menutup kasus ini, meskipun sebagian besar parpol tergabung dalam Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi. Bahkan dalam pemilihan Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution yang lalu, DPR masih memberi catatan khusus, bahwa bila nantinya Darmin ternyata menjadi tersangka kasus Bank Century, maka dia harus mengundurkan diri.
Yang jelas, menurut Suhardiman, potensi letupan skandal Century ini masih cukup besar. Apalagi seiring dengan makin dekatnya 2014 dimana semua parpol akan bersaing ketat, tak terkecuali diantara parpol anggota Setgab sendiri. Kondisi ini diperparah dengan keadaan rakyat yang masih serba kesulitan. “Kondisi ini akhirnya akan meluapkan kemarahan-kemarahan masyarakat. Mungkin saja akan bersamaan dengan masalah Century,” katanya.
Benar atau tidaknya prediksi itu memang sulit dipastikan. Yang jelas, pamor SBY belakangan ini memang cenderung meredup. Meski pihak Istana dan kalangan dekat Presiden membantah, namun faktanya kepercayaan publik trehadap SBY memang menurun. Apakah ke depannya akan kian merosot ataukah justru kembali meningkat, kita tunggu saja.