Traffic

CPX

PTP

DOWNLOAD KOLEKSI FILM KAMI

Wednesday, May 20, 2009

Meragukan Kualitas Legislator Hasil Pemilu 2009

Oleh: Rovy Giovanie

Perhatian media massa belakangan cenderung terfokus pada isu koalisi partai yang memang sedang memanas. Padahal sebenarnya cukup banyak isu seputar hajat Pemilu yang tidak kalah pentingnya bagi kepentingan bangsa.

Salah satu diantaranya adalah produk Pemilu Legislatif (Pileg) yang sudah saatnya dikritisi. Bukan hanya soal Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan pelanggaran-pelanggaran Pemilu yang telah banyak terekspose, melainkan produk Pileg itu sendiri, yakni kualitas calon legislator terpilih. Meskipun proses penghitungan suara oleh KPU sedang berlangsung, namun prediksi siapa-siapa yang bakal duduk di kursi legislative sudah bisa diketahui.

Mengapa harus mengkritisi kualitas caleg terpilih? Karena mereka itulah yang selama lima tahun ke depan akan menentukan jalannya pembangunan bersama-sama pemerintah. Ironisnya, kecenderungan yang terlihat saat ini adalah kuatnya indikasi akan merosotnya kualitas legislator, baik di tingkat DPR, DPRD Privinsi maupun DPRD Kabupaten/ Kota. Wacana ini telah mengemuka sejak jauh hari sebelum pelaksanaan pencontrengan. Saat itu banyak kalangan mengkritisi tampilnya wajah-wajah baru dalam bursa caleg yang bukan hanya tidak memiliki latarbelakang sebagai politisi, melainkan kapabilitasnya juga sangat diragukan.

Bagaimana tidak. Cukup banyak, atau bahkan mungkin malah sebagian besar, caleg di seluruh tanah air yang tampil dengan modal nekad dan coba-coba. Apalagi setelah keluarnya keputusan MK yang menentukan pemenang Pemilu adalah caleg peraih suara terbanyak, dan bukannya nomor urut caleg. Keputusan MK ini secara terbuka dan transparan menegaskan bahwa seluruh caleg memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk merebut kursi DPR/DPRD. Keputusan ini berdampak sangat signifikan bagi pandangan masyarakat terhadap kursi legislatif. Pandangan yang semula mengangap kursi legislatif sebagai jabatan eksklusif yang hanya bisa diraih oleh para elit politik atau politisi karir, kini berubah bahwa kursi legislatif adalah jabatan terbuka yang bisa diduduki siapa saja yang memiliki dukungan suaradari rakyat.

Tak heran bila kemudian bermunculan caleg-caleg di luar elit politik dan politisi karir. Mereka umumnya adalah masyarakat yang ‘merasa’ tokoh di lingkungannya, misalnya saja keluarga kiai yang memiliki ribuan santri, pemilik usaha dengan ribuan karyawan, dan sebagainya. Ada juga yang bermodal popularitas, seperti artis atau public figure lainnya. Tak sedikit juga yang bermodal nekad, dengan mengandalkan kemampuan meraih suara melalui cara-cara politik uang (money politics), mencari simpati, dan sebagainya.

Singkatnya, titik penekanan dalam peraihan kursi legislatif seolah-olah bergeser dengan menafikan kualitas dan kapabilitas caleg. Yang penting hanyalah kemampuan meraih dukungan suara sebanyak-banyaknya. Kondisi ini diperparah dengan realitas pada sebagian besar parpol yang ternyata kekurangan kader untuk didudukkan sebagai caleg. Akibatnya mereka mengisinya dengan sembarangan caleg sekedar untuk memenuhi kuota yang ditetapkan oleh KPU.

Fenomena inilah yang sempat mencemaskan sejumlah pemerhati politik tanah air beberapa waktu sebelum pelaksanaan pencoblosan. Dan kini, setelah hasil Pemilu telah diketahui, kekhawatiran itu ternyata semakin besar dan bahkan bisa jadi mendekati kenyataan. Beberapa indikasi pasca pelaksanaan Pemilu Legislatif menunjukkan potret semacam itu. Tetapi setidaknya ada dua hal menonjol yang patut disimak.

Pertama, kondisi psikologis dan kebatinan pasca pemilihan legislatif (Pileg) secara kasat mata menunjukkan betapa rendahnya moralitas para caleg. Banyaknya kasus-kasus menggelikan yang dilakukan atau menimpa para caleg gagal adalah contoh yang tak terbantahkan. Bayangkan, banyak caleg gagal yang meminta kembali sumbangannya yang telah diberikan kepada majlis ta’lim, rumah ibadah dan sebagainya. Tak sedikit juga diantaranya yang menebar teror dan melakukan pengrusakan akibat minimnya suara yang didapat. Bahkan yang cukup ramai dipublikasikan adalah tingginya angka gangguan jiwa menimpa para caleg gagal. Hal ini jelas-jelas menunjukkan betapa naifnya niat dan motovasi mereka yang semata-mata berburu kursi legislatif untuk tujuan materi. Bisa dibayangkan, apa jadinya lembaga wakil rakyat yang terhormat itu ketika sebagian besar anggotanya hanya sibuk memikirkan pendapatan.

Kedua, tampilnya wajah-wajah baru yang kemungkinan akan mendominasi komposisi legislatif mendatang, baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/ kota. Meskipun hasil resmi belum diumumkan oleh KPU, namun gambaran umum di berbagai daerah menunjukkan bahwa popularitas dan ketokohan lebih mendominasi pemenang Pileg. Di tingkat pusat, misalnya, deretan nama artis kabarnya berhasil memenuhi angka BPP untuk duduk sebagai legislator. Sedangkan di tingkat daerah, para tokoh-tokoh tradisional atau mungkin juga keluarganya –mulai dari kiai, tokoh adat, dan sebagainya-- yang berhasil menyingkirkan caleg berkualitas. Singkatnya, mereka yang pada era Orde Baru dulu hanya diwakili beberapa wakil saja dalam Fraksi Utusan Golongan, kini ramai-ramai tampil. Bahkan bisa dibilan cukup mendominasi di sejumlah daerah. Tanpa bermaksud merendahkan mereka, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa mereka memiliki keterbatasan kemampuan dan keahlian dalam menjalankan fungsi-fungsi DPR.

Soal kejujuran dan kesungguhannya dalam melakukan fungsi pengawasan serta perjuangan terhadap aspirasi rakyat mungkin bisa diandalkan. Tetapi untuk dua fungsi lainnya, yakni legislasi dan budgeting, takcukup hanya mengandalkan kejujuran dan kesungguhan. Lebih dari itu yang dibutuhkan adalah keahlian. Memang, kerap terdengar pembelaan di berbagai media massa, bahwa keahlian itu bisa dipelajari. Tetapi berapa waktu yang terbuang sekedar untuk belajar, padahal pekerjaan legislator sudah menunggu. Selain itu, apa yang bisa diharapkan dari sebuah kursus kilat?

Selain dua hal diatas, kiranya masih banyak indikator-indikator lain tentang betapa meragukannya kualitas legialator hasil Pemilu 2009 ini, mulai soal moralitas dan mentalitas hingga komitmen kebangsaan. Tetapi yang pasti, realitas ini sangat kontradiktif dengan tantangan kedepan yang membutuhkan sosok-sosok legislator berkualitas.

Tidak berlebihan bila banyak kalangan meragukan kinerja legislatif periode mendatang. Jangankan meningkat dari legislatif periode 2004-2009 yang sebenarnya sangat rendah, menyamai saja sudah bagus. (*)